Film G30S/PKI; Dari Silet Hingga Clurit

Poster Film Pengkhiatan G30S/PKI (sumber; lihat.co.id)
Poster Film Pengkhiatan G30S/PKI (sumber; lihat.co.id)

Mereka yang kecil di tahun 80an sampai awal 90an pasti pernah mengalami masa di mana ketika malam tanggal 30 September berada di depan televisi dan siap menonton film Pengkhiatan G30S/PKI. Saya salah satunya.

Tidak ada film yang lebih legendaris dari film Pengkhianatan G30S/PKI karya sutradara (alm) Arifin C. Noer dan diproduksi oleh Pusat Produksi Film Negara (PPFN). Dibilang legendaris karena sejak 1984 hingga 1998 film ini rajin menyambangi warga negara Indonesia setiap tanggal 30 September. Mungkin tidak ada film yang diputar sesering film ini. Itu belum termasuk pemutaran di bioskop yang dipadati penonton secara sukarela atau secara terpaksa.

Dengan biaya sekitar Rp. 800 juta di tahun 1984, film ini jadi film pertama yang mencapai penonton sebanyak 699.282 orang di tahun 1984 (sumber: Tempo.co). Rekor ini bertahan sampai tahun 1995.

Saya lupa kapan pertama kali menonton film ini, jelasnya sekisar tahun-tahun 1980an ketika saya masih berseragam putih merah. Saya hanya ingat kalau film ini pertama saya tonton di layar kaca yang waktu itu masih dikuasai satu stasiun televisi, TVRI. Banyaknya adegan yang menggambarkan proses penembakan dan penyiksaan para jenderal dan korban lainnya membuat film ini terasa sangat menyeramkan.

Masih lekat di ingatan saya bagaimana kengerian yang selalu timbul ketika adegan-adegan penyiksaan oleh anggota PKI itu tampil di layar kaca. Suasana film yang suram serta didukung oleh musik latar yang mencekam benar-benar pas untuk menghadirkan mimpi buruk bagi anak SD. Iya, saya ingat kalau saya bahkan pernah bermimpi buruk gara-gara film ini.

Butuh waktu bertahun-tahun sampai saya benar-benar bisa menonton film ini sampai selesai. Alasan pertama tentu karena kadar seramnya yang tinggi untuk anak SD. Alasan kedua karena film berdurasi 220 menit ini diputar menjelang tengah malam, waktu yang kurang pas untuk anak SD.

Sebenarnya bukan hanya di televisi, film Pengkhiatan G30S/PKI juga pernah kami nikmati di layar bioskop bersama teman-teman sekolah yang lain. Kalau tidak salah waktu itu saya kelas 6 SD dan entah atas instruksi dari siapa tiba-tiba saja sekolah kami membuat acara nonton bareng film Pengkhianatan G30S/PKI di bioskop. Karena instruksi yang berlabel harus maka tidak ada pilihan lain, berangkatlah kami menuju salah satu bioskop di kota Makassar yang sekarang sudah jadi almarhum. Rupaya bukan hanya sekolah kami yang jadi objek karena di sana sudah ada ratusan anak dari sekolah yang lain.

Jadilah hari itu menjadi hari nonton bareng film Pengkhianatan G30S/PKI. Luar biasa! Saya masih ingat bagaimana suasana mencekam di dalam gedung bioskop bersama teman-teman. Ini akhirnya jadi kali pertama saya bisa menyelesaikan menonton film Pengkhianatan G30S/PKI!

Setelah Reformasi.

Bertahun-tahun film Pengkhiatan G30S/PKI masih tetap setia hadir di layar kaca kita meski saat itu perlahan TVRI mulai kehilangan pamor ketika stasiun TV swasta hadir satu persatu. Usia yang beranjak makin dewasa juga membuat saya jadi mulai paham kalau film ini sebenarnya adalah bagian dari propaganda rezim Orde Baru. Hingga akhirnya tahun 1998 pemerintah lewat Menteri Penerangan Yunus Yosfiah (kala itu) mengeluarkan keputusan untuk menghentikan pemutaran dan peredaran film Pengkhiatan G30S/PKI.

Sekarang 29 tahun setelah film Pengkhiatan G30S/PKI dibuat, warga sudah banyak yang paham kalau film itu lebih banyak bohongnya daripada jujurnya. Film tersebut memang sengaja dibuat untuk mendiskreditkan satu golongan dan mengkultuskan golongan yang lain. Tapi jujur, propaganda selama puluhan tahun lewat film tersebut juga bisa dibilang berhasil.

Dalam alam bawah sadar saya, kata PKI dan komunis selalu identik dengan clurit, peluru, silet dan darah. Saya yakin itu salah satunya karena selama bertahun-tahun tanggal 30 September malam saya habiskan dengan adegan-adegan dalam film Pengkhiatan G30S/PKI. Butuh bacaan yang banyak untuk bisa menghilangkan bayangan itu.

Satu lagi, setiap mendengar kata JENDERAL kadang pikiran saya juga terbawa ke adegan para jenderal yang diikat di kursi dan bersiap menghadapi penyiksaan. Mungkin ini gara-gara kalimat, “Darah itu merah jenderal!” yang jadi salah satu kalimat paling memorable di film Pengkhiatan G30S/PKI. Jangan lupa juga silet yang dipegang anggota PKI itu.

Ah, film ini memang luar biasa. Atau mungkin filmnya biasa, tapi karena kepala kita dijejali film ini terus menerus maka tanpa sadar kita harus mengakuinya kalau film ini luar biasa. Suka atau tidak, film ini jadi bagian dari sejarah Indonesia dengan semau kebaikan dan keburukannya. Bagaimana dengan Anda? Punya cerita tentang film ini? [dG]