Duh, Ada Komunitas Malam Syuro!

Komunitas Malam Syuro!
Komunitas Malam Syuro!

Percaya atau tidak, di Makassar ada Komunitas Malam Syuro! Setidaknya itu menurut wartawan salah satu koran lokal terbesar di Makassar.

Hari ini saya bangun siang, gara-garanya saya baru tidur selepas laga semifinal UCL yang selesai menjelang waktu sholat subuh. Begitu mata terbuka seperti biasa yang pertama kali saya cari adalah handphone dan tentu saja langsung melongok ragam notifikasi yang ada. Saya masuk ke grup chat Line, menyimak pembicaraan di sana dan dengan segera menemukan sebuah foto yang menarik perhatian.

Malam sebelumnya (23/4) komunitas Anging Mammiri menggelar Tudang Sipulung yang jadi acara bulanan kami, kali ini temanya Berkumpul di Halaman Buku karena waktunya yang bertepatan dengan hari buku sedunia. Ada banyak ragam acara malam itu, berbagi tentang buku kesayangan, ngobrol tentang proses pencetakan buku hingga berbagi dengan beberapa komunitas yang akrab dengan buku. Malam itu ditutup dengan pembacaan puisi dari teman-teman komunitas Malam Sureq.

Komunitas Malam Sureq ini berisi anak-anak muda yang menggandrungi puisi. Dua minggu sekali mereka berkumpul membaca puisi, di kota lain komunitas dan kegiatannya diberi nama Malam Puisi. Dalam bahasa Bugis Makassar, sureq berarti syair yang memang lekat dengan puisi. Mungkin kedengarannya agak asing dan nama sureq inilah yang jadi pangkal cerita dari foto yang saya temukan di grup chat Line tadi.

Foto itu berisi berita dari sebuah koran lokal besar yang menurunkan berita acara Tudang Sipulung malam sebelumnya. Beritanya menarik, hanya saja ada sesuatu yang menggelikan. Salah satu judulnya: Puisi Dari Komunitas Malam Syuro. Iya, malam syuro! Alih-alih Malam Sureq.

Saya tiba-tiba membayangkan sebuah komunitas yang rajin berkumpul di setiap malam syuro, memakan melati, mengobrol tentang hal-hal mistis dan mengangkat Alm. Suzanna dan H. Bokir sebagai penasehatnya. Jauh dari bayangan tentang komunitas yang akrab dengan sastra dan puisi.

****

Ada suatu masa ketika saya pernah bermimpi menjadi seorang wartawan. Wartawan yang ada di kepala saya seperti sosok TinTin yang sudah saya gandrungi sejak kecil. Wartawan yang punya insting tajam, berjuta pertanyaan di kepala dan kekerasan hati untuk mencari tahu apa yang tidak atau belum diketahui orang. Wartawan dalam bayangan saya ketika itu adalah orang dengan kemauan kuat untuk mengabarkan kebenaran dan hanya punya sedikit ruang untuk kesalahan, tentu karena tanggung jawabnya ke publik yang sangat besar.

Tapi bayangan saya itu berangsur-angsur mengabur ketika melihat tingkah beberapa wartawan belakangan ini, utamanya wartawan lokal.

Sejak beberapa tahun belakangan ini saya mulai jarang membaca koran lokal. Dulu alasannya karena koran lokal isinya kebanyakan cerita seremonial pejabat saja atau berita-berita tentang pesohor yang sudah cukup banyak beredar di televisi. Sisanya adalah berita yang bisa dikonsumsi di media daring. Belakangan saya merasa kualitas koran lokal yang bahkan mengklaim diri sebagai koran terbesar di Indonesia Timurpun mulai menurun dengan drastis. Makin malaslah saya mengkonsumsi koran lokal.

Foto di atas jadi salah satu bukti. Bagaimana mungkin mereka bisa menerbitkan tulisan dengan kesalahan seperti itu? Awalnya saya mengira itu hanya kesalahan ketik, tapi membaca badan berita ternyata kesalahan itu berulang, komunitas malam sureq ditulis berkali-kali sebagai komunitas malam syuro. Jelas ini bukan kesalahan ketik.

Saya jadi bertanya-tanya, tidakkah sang wartawan merasa aneh dengan nama itu? Kalau iyya harusnya dia berusaha mencari tahu atau melakukan cross check, benarkah nama komunitasnya seaneh atau seunik itu? Jaman sekarang mencari informasi sudah sangat mudah bukan? Apalagi berkaitan dengan komunitas yang isinya kebanyakan anak muda, tinggal meluangkan waktu menengok media sosial maka informasi itu pasti bisa kita temukan. Lagipula kalau menyimak tulisan dan fotonya maka sepertinya sang wartawan ada di lokasi acara, jadi tentu tidak sulit untuk melakukan cross check karena ada banyak narasumber di sana.

Sependek pengetahuan saya koran juga punya yang namanya editor, dan sependek pengetahuan saya juga yang namanya editor harusnya punya insting yang tajam dengan mempertanyakan sebuah berita yang ditulis wartawannya. Nama Komunitas Malam Syuro tentu sangat menarik perhatian dan harusnya mengundang pertanyaan: ini komunitas apa? Kegiatannya apa? Apa hubungannya dengan malam syuro? Dan semacamnya. Kalau sang editor memang punya insting tajam, dia harusnya mencecar sang wartawan tentang nama Komunitas Malam Syuro yang ditulisnya berkali-kali.

Tapi mari berbaik sangka, mungkin saja sang editor sudah cukup sibuk dengan banyaknya tulisan yang harus dia pelototi satu-satu, pun mungkin saja dia sudah dikejar tenggat sebelum beritanya naik cetak. Makanya sang editor tidak sempat lagi mempertanyakan nama yang agak unik itu, atau mungkin bagi dia nama itu sangat biasa dan tidak ada uniknya sama sekali sehingga tidak perlu dipertanyakan lagi. Percayalah apa yang dituliskan wartawan!

Kesalahan ini membuat saya jadi bertanya-tanya, bagaimana kualitas wartawan kita sebenarnya? Kalau koran yang mengaku sebagai salah satu koran terbesar di Indonesia Timur saja bisa melakukan kesalahan fatal seperti itu, bagaimana dengan koran lain yang tidak sebesar mereka? Atau, mungkin kesalahan seperti ini hanyalah kesalahan kecil yang sangat biasa dan tidak perlu dibahas?

Entahlah, sekarang saya mau mencari tahu tentang Komunitas Malam Syuro dulu. Siapa tahu saya bisa bergabung dengan mereka dan siapa tahu saya bisa mencari cara untuk menambah pundi-pundi rupiah dengan cara pesugihan.

“Bang, satenya bang. Dua ratus tusuk!” [dG]