Tiga Tahun SAFENET
Ancaman terhadap kebebasan berekspresi di internet masih membayangi netizen Indonesia.
“Itu benar-benar bikin capek. Saya sampai gak bisa tidur karena mikirin kasus itu,” ujar Damar Juniarto, pria tambun yang buat saya seperti hidup dengan baterei Energizer. Nyaris tidak kenal capek.
Tahun 2013 mas Damar –begitu kami menyapanya, tersandung kasus. Postingannya yang mengkritik klaim Andrea Hirata yang mengaku tulisannya sebagai tulisan orang Indonesia pertama yang berhasil best seller di beberapa negara lain, berujung pada pelaporan polisi. Penulis “Laskar Pelangi” itu tidak terima dan menganggap mas Damar mencemarkan nama baiknya.
Karena kritikan itu di tulis di laman Kompasiana, maka pelaporan didasarkan pada UU ITE. Undang-undang yang mengatur tentang interaksi dunia maya, termasuk memuat beragam daftar hukuman bagi mereka yang dianggap melanggar. Ancaman hukuman bagi pencemar nama baik tidak tanggung-tanggung, 6 tahun penjara atau denda Rp. 1 miliar.
Pantas saja kalau laporan Andrea Hirata itu cukup membuat mas Damar gelisah.
Kasus itu memang tidak berlanjut hingga ke pengadilan, tapi kesan yang ditinggalkannya membekas sangat dalam buat mas Damar. Di tahun yang sama, dia bertemu dengan beberapa orang blogger, aktivis dan pengacara. Obrolan demi obrolan kemudian membuat mereka sepakat untuk membentuk sebuah jaringan yang fokus pada pembelaan kebebasan berekspresi, utamanya di dunia maya.
Jaringan itu diberi nama SAFENET, singkatan dari Southeast Asia Freedom of Expression Network. Digagas di Bali dalam rangkaian Internet Governence Forum (IGF). Sebagian besar pencetus SAFENET kebetulan memang sedang berada di kota yang sama waktu itu. Sebagai jaringan dari para penjaga kemerdekaan berekspresi di negara-negara Asia Tenggara, tugas utama SAFENET adalah mendorong dan menjaga kemerdekaan berekspresi, khususnya di dunia online.
Kekurangan tenaga dan dasar kerja yang sukarela membuat SAFENET memang tidak bisa terlalu banyak bergerak. Apalagi sebagaian besar pegiat adalah para profesional yang juga sibuk dengan pekerjaan utama mereka.
Hal paling logis yang bisa dilakukan SAFENET adalah melakukan monitoring terhadap beragam kasus-kasus pemidanaan pada kebebasan berekspresi, utamanya yang terjadi di dunia maya dan menggunakan UU ITE sebagai jeratnya. Sampai Juni 2016, sudah ada 132 kasus yang dicatat oleh SAFENET (sebenarnya total 178 kasus, masih ada 46 kasus yang belum dicatat). Kasus-kasus itu menggunakan UU ITE sebagai jeratnya (utamanya pasal 27 ayat 3), korbannya sebagian besar adalah warga biasa yang bermasalah dengan sesama warga atau dengan para pembesar pemegang kuasa di suatu daerah.
Baca Juga: Benahi UU ITE, Sebuah Catatan dari FDD
Di luar 132 kasus itu, SAFENET meyakini masih sangat banyak lagi kasus lain yang tidak sempat terendus media dan tercatat oleh SAFENET.
Sebagai jaringan SAFENET memang tidak bisa terlalu jauh mencampuri urusan hukum, apalagi menjadi pendamping hukum. Di beberapa kasus, SAFENET hanya mendampingi korban untuk memberi dukungan moril dan tekanan publik. Tidak sampai menjadi penasehat hukum. Untuk urusan hukum, SAFENET menyerahkan semuanya pada yang lebih berkompeten.
SAFENET juga tidak bisa berdiri sendiri. Beberapa jaringan lainnya dibangun, apalagi karena kebetulan ada banyak juga lembaga atau pribadi yang punya keprihatinan yang sama. Termasuk beberapa lembaga yang lebih mengerti tentang hukum seperti LBH.
*****
Dalam mencapai tujuannya SAFENET memang belum benar-benar optimal. Tantangan sumber daya manusia dan geografis masih jadi kendala utama. Sebagai salah seorang yang tercatat berada dalam SAFENET, saya masih merasa hanya memberi kontribusi yang sangat sedikit. Nyaris tidak ada apa-apanya.
Syukurlah karena beberapa korban memberikan apresiasi yang besar pada kehadiran SAFENET. Meski tidak langsung membantu di sisi hukum, namun kehadiran personil SAFENET yang menemani mereka sepanjang kasus dirasa cukup mampu memberi ketenangan dan tentu saja semangat untuk terus bertahan.
Saya ingat ketika mendampingi Arsyad dua tahun lalu dan melihat langsung proses persidangan Fadhli Rahim setahun lalu. Meski hanya berstatus mendampingi dan menonton, saya bisa merasakan sendiri betapa berat proses yang mereka harus lalui. Tekanan mental yang menjadi beban terbesar, berhadapan dengan ancaman kehilangan kebebasan. Padahal apa yang mereka lakukan belum tentu sebuah kejahatan, hanya sebuah kritikan yang terlontar spontan dari hati yang tak puas.
Baca Juga: Karena LINE, Fadhli Dibui
Mungkin tekanan itu pula yang membuat seorang Damar Juniarto lalu bertekad mendedikasikan waktu dan tenaganya untuk menolong mereka yang terjerat pasal pemberangusan kebebasan berekspresi. Tak heran kalau selama tiga tahun ini, mas Damar bisa dibilang motor utama penggerak SAFENET. Meski dia sendiri tidak pernah mau mengakuinya.
Tantangan di depan masih panjang. Pemerintah sendiri belum sadar akan pentingnya penghapusan Pasal 27 ayat 3 UU ITE. Berbagai tekanan-tekanan pada kebebasan berekspresi masih akan terus datang. Semoga saja SAFENET masih terus punya bahan bakar untuk mengawal, memonitor dan mungkin mendampingi para korban.
Selamat ulang tahun SAFENET! [dG]