Cara Banal Cekal Begal
Begal bikin resah, lalu tentara turun tangan membantu polisi. Rasa aman datang, tapi apakah sesederhana itu?
“Saya setuju sekali jika polisi tembak mati para kelompok begal ini,” kata seorang mahasiswi yang katanya cantik. Saya bilang katanya karena ucapan itu saya kutip dari sebuah laman berita daring.
Si mahasiswi itu sepertinya ditemui seorang wartawan di salah satu warung makan. Mungkin mereka sudah kenal sebelumnya, lalu si wartawan berinisiatif untuk meminta pendapatnya tentang fenomena begal yang sedang marak di Makassar belakangan ini. Lalu si mahasiswi yang katanya cantik itu setuju, dan kutipannya dimuat di laman berita.
Tapi ini bukan tentang si mahasiswi yang katanya cantik itu. Ini tentang begal.
Si mahasiswi cantik itu hanya satu dari sekian banyak warga Makassar yang punya pikiran sama; tembak mati para begal. Di laman media sosial Facebook saya sering sekali menemukan kata-kata serupa, biasanya ditulis di bawah foto-foto para begal yang tertangkap dengan muka bonyok atau kaki berdarah, bekas timah panas.
Warga sepertinya sudah sampai ke titik kekesalan tertingginya. Tidak lagi mau peduli pada rasa kasihan, pokoknya kalau dia begal langsung tembak saja. Tidak perlu ditangkap atau disidang-sidang lagi. Dor! Biar mampus!
Kekesalan itu pastilah ada penyebabnya. Apalagi kalau bukan tingkah para begal itu yang memang sadis. Mereka tidak segan-segan melakukan kekerasan pada korbannya. Bukan hanya memaksa, tapi sampai menyakiti. Ada korban yang jarinya putus, ada yang pada tubuhnya tertancap anak panah, bahkan tidak sedikit yang meregang nyawa.
Korban terakhir yang meninggal dunia terjadi 19 Juni 2016 silam. Konon almarhum menjadi korban aksi pembegalan di Jl. Rappocini Raya, Makassar dua minggu sebelumnya. Akibat pengeroyokan para begal, terjadi pendarahan dahsyat dalam tubuhnya yang mengakibatkan nyawanya tidak tertolong lagi.
Turut bersimpati pada keluarga korban.
*****
“Aksi begal ini tidak sederhana. Ada sesuatu di belakangnya,” kata pria itu. Dia adalah pimpinan tertinggi institusi kepolisian di Sulawesi Selatan. Kami kebetulan bertemu di sebuah warung kopi hampir setahun yang lalu. Kala itu fenomena kekerasan di jalan raya yang dilakukan para begal sedang marak. Bukan hanya di Makassar, tapi di beberapa kota lain di Indonesia di waktu yang hampir bersamaan.
“Coba perhatikan polanya, kejadiannya kan hampir seragam dan bersamaan,” lanjutnya lagi sambil tersenyum. Senyum yang penuh arti.
Karena jabatannya sebagai pimpinan institusi kepolisian, dia tentu tidak bisa seenaknya bicara. Kalimat yang diucapkannya memang mengandung banyak arti. Tersirat, multi tafsir. Makanya saya hanya mengangguk-angguk saja, mencoba membuat penafsiran sendiri.
Januari 2016, secara resmi kepolisian Sulawesi Selatan dan Barat (Sulselbar) serta kota Makassar melansir dugaan adanya kekuatan besar yang mendukung para begal di kota Makassar. Polisi menduga ada pemodal besar yang menjadi pendukung utama para begal yang beraksi di kota Makassar. Mereka ini yang mendorong aksi dan menjadi penadah barang-barang sitaan para begal.
Berarti apa yang dikatakan bapak pimpinan polisi beberapa bulan sebelum rilis itu keluar ada benarnya. Begal memang tidak sendirian dalam melakukan aksinya, ada pihak yang menjadi pendukungnya. Entah pengusaha, entah penguasa.
Lalu, aksi begal makin meningkat menjelang datangnya bulan Ramadan tahun 2016 ini. Masyarakat kembali dicekam ketakutan, utamanya di jalanan di malam hari. Begal-begal yang rata-rata masih berusia muda itu siap mengintai korbannya. Menghadang, merebut harta benda bahkan kadang sampai melukai korbannya.
Gubernur SulSel Syahrul Yasin Limpo jadi berang melihat tingkah para begal. Saya kutip dari sebuah laman daring, beliau berucap, “Saya akan mengumpulkan para intelijen polda dan unit kerja di daerah untuk menangani kasus ini secara khusus. Saya mau begal ditumpas habis dalam Ramadhan ini.”
Lalu dia meminta para begal yang bertatto agar ditembak saja kakinya. Menurutnya mereka inilah –para begal yang bertatto- yang sok jagoan dan memang pantas kakinya ditembak. Wow! Sang bos marah besar rupanya, padahal setahun lalu ketika aksi begal lebih mencekam dari ini dia malah merasa tidak ada apa-apa, semua baik-baik saja. Rupanya butuh waktu setahun sebelum beliau benar-benar marah dan lalu mengancam untuk menembak para begal yang bertatto. Catat; begal bertatto!
Permintaan pak gubernur direspon oleh Pangdam VII Wirabuana. Pria tegap suami Bella Saphira itu segera membentuk tim khusus yang akan turun ke jalan-jalan kota Makassar. Tugasnya adalah memonitor keadaan jalanan dan tentu saja mencegah-tangkal (cekal) aksi para begal.
Warga bersorak riang, kehadiran bapak tentara di samping bapak polisi dirasa solusi paling tepat. Berturut-turut beberapa pelaku begal mengaduh kesakitan. Ada yang mukanya bonyok bekas tonjok, ada juga yang kakinya dibebat setelah tertembus pelor.
Melihat aksi-aksi penyelamatan heroik pak polisi dan pak tentara itu, beberapa begal langsung gemetar pusarnya. Dengan sukarela mereka menyerahkan diri ke pihak berwajib, takut nasib mereka berakhir di ujung pelor. Sungguh efek jeri yang luar biasa dari aksi pak polisi dan pak tentara itu.
Di benak warga juga tertancap sudah imaji bahwa tentara dan militer adalah jaminan nomor satu hadirnya rasa aman. Begitu mereka bergerak, rasa aman langsung mendekap. Militer adalah jawaban atas segala kegalauan. Hanya pada militer kita bisa sandarkan rasa harapan akan hadirnya rasa aman yang permanen. Persis seperti jaman Orde Baru dulu.
*****
Tapi, pernahkah kita bertanya-tanya, apa sesungguhnya yang membuat aksi-aksi pembegalan makin marak? Benarkah itu semua adalah aksi spontan yang semata-mata hanya karena ingin menguasai harta? Tidak adakah sesuatu yang lebih besar dari sekadar merebut harta benda orang?
Masak iya bapak polisi yang punya intel banyak dan sanggup mengendus keberadaan terduga teroris itu tidak berdaya mengendus keberadaan para begal? Ataukah para begal itu punya keahlian tinggi melebihi para terduga teroris? Atau mungkin memang harus menunggu militer turun tangan dan menancapkan pengaruhnya lagi?
Seperti kata bapak polisi yang saya temui hampir setahun yang lalu, “Aksi begal ini tidak sederhana”. Mungkin memang seperti itu, aksi-aksi begal ini tidak seperti warung makan Padang, kita tinggal datang, pilih dan makan. Sederhana.
Lalu tiba-tiba saya ingat lirik lagu Iwan Fals;
Lihat di sana, antrian pencuri yang timbul karena nasinya dicuri.
Dan kita hanya peduli pada cara banal menangkal begal. [dG]