JOMO, Lawannya FOMO

Tahu FOMO kan? Nah istilah ini ternyata sekarang ada “lawannya”. Namanya JOMO, joy of missing out.

SEMALAM SAYA TERTUMBUK pada satu artikel di Tirto. Judulnya “Eksis di Media Sosial Tak Selalu Menguntungkan”. Artikel ini berkisah tentang bagaimana beberapa orang mulai meninggalkan ketergantungan pada media sosial, bahkan total berhenti menggunakan media sosial. Dari Sarah Sechan hingga bintang Hollywood seperti Goorge Clooney, Kristen Stewart, Scarlett Johansson dan lain-lain.

Alasan Sarah Sechan – mantan VJ MTV dan aktif sebagai presenter – ini adalah karena dia ingin fokus pada setiap detail kehidupannya, termasuk dalam hal berpakaian dan menikmati makanan.

Keputusan Sarah Sechan ini memang agak terlihat seperti melawan arus. Ketika begitu banyak orang yang membiarkan dirinya menikmati media sosial, Sarah justru menjauhinya. Ketika banyak orang memilih untuk eksis setiap saat di media sosial, memposting apa saja yang dia kenakan dan apa yang dia makan, atau sedang berada di mana dia, Sarah justru memilih menepi.

Sarah Sechan ternyata tidak sendirian. Di dunia sedang ada tren yang sedang mulai meningkat. Namanya Joy Of Missing Out, disingkat JOMO. JOMO ini adalah kebalikan dari Fear Of Missing Out atau FOMO, gejala ketika orang (utamanya pengguna media sosial) begitu takut ketinggalan tren sehingga terus menerus memantau media sosial, ikut dalam arus tren dan takut kehilangan eksistensi.

Gejala FOMO ini memang begitu meroket dalam beberapa tahun belakangan ini, mengikuti arus media sosial yang semakin deras. Banyak orang yang kemudian merasa perlu untuk menggunakan topeng agar bisa diterima dalam lingkaran tertentu.

Sebagai contoh, beberapa bulan lalu ada selentingan kabar tentang seorang pengguna instagram yang terlilit utang cukup besar untuk membiayai eksistensinya di media sosial. Dengan uang utangan itu dia selalu bisa tampil dengan #OOTD terbaik atau nongkrong di tempat mahal lengkap dengan unggahan di media sosial. Bahkan konon dengan uang utangan itu pula dia membiayai perjalanan menonton konser Coldplay di luar negeri bersama pacarnya.

Contoh lain, seorang kawan mendapati foto konser Coldplay yang dia unggah di Instagram ternyata dibajak orang lain. Diunggah ke akun Instagram si orang itu dan diberi keterangan seolah-olah dia ada di lokasi. Memang ada kemungkinan kedua foto itu diambil di tempat yang sama, di waktu yang sama dan di sudut yang sama. Tapi kalau melihat kedua foto tersebut, kemungkinan itu sangat kecil. Sudut dan ekspresi orang-orang yang ada di dalam foto persis sama.

Dua contoh di atas mungkin hanya sebagian kecil dari begitu banyak orang yang memaksakan diri untuk eksis di media sosial. Segala hal dibagikan, bahkan usaha keras dikeluarkan demi terlihat eksis dan diterima dalam lingkaran tertentu.

Bisa dibayangkan bagaimana lelahnya mereka secara mental. Fokus dalam kehidupan jadi berubah, tidak lagi menghargai hal-hal kecil yang ada dalam kehidupannya namun justru menganggap hal di luar sana itu sebagai satu-satunya hal yang penting.

*****

HAMPIR DUA TAHUN BELAKANGAN ini saya mulai mengurangi aktivitas di media sosial. Bahkan beberapa bulan yang lalu saya sudah meng-uninstall aplikasi Path di HP. Alasannya; saya tidak butuh Path. Terlalu banyak media sosial yang saya sendiri bingung mau mengunggah apa. Setidaknya saya hanya menggunakan tiga aplikasi media sosial saja; Facebook, Twitter dan Instagram.

Facebook adalah aplikasi yang paling sering saya gunakan. Alasannya mungkin karena faktor romantisme saja. Facebook adalah media sosial lama yang masih bertahan dan saya gunakan sejak 2008. Meski kata orang sebaran hoax dan kebencian paling banyak beredar di Facebook, tapi toh saya masih merasa betah di sana. Bahkan ujaran kebencian dan berita hoax itu saya gunakan untuk menguji kewarasan sendiri. Kalau saya terseret ke sana maka berarti saya mulai tak waras.

Meski masih aktif di Facebook, tapi memperbaharui status juga paling banyak dua atau tiga kali sehari. Itupun lebih banyak menyebar tautan dari berita atau video yang menarik.

Twitter sudah mulai jarang saya pakai. Kalaupun saya ramai di Twitter, itu biasanya kalau ada pertandingan sepakbola saja. Sisanya saya lebih banyak bengong melihat linikala, menggulung ke atas dan ke bawah lalu bingung; mau nge-tweet apa?

Lalu Instagram. Kadangkala ada waktu ketika saya lupa kalau saya punya akun Instagram. Mengunggah foto di sana hanya saya lakukan sesekali. Kadang sekali sehari kalau sedang ada banyak bahan, tapi sisanya lebih banyak dibiarkan begitu saja. Kecuali ketika sedang berjalan atau ikut salah satu event. Twitter juga begitu.

Saya tidak bilang kalau saya FOMO. Kadang saya malah bingung apa yang harus saya unggah ke media sosial? Masak semua hal tentang saya harus saya unggah dan diketahui orang lain?

Kalaupun ada sesuatu yang mengganggu pikiran, kadang itu saya tuangkan saja ke dalam satu tulisan panjang di blog. Saya lebih senang bercerita di blog daripada di media sosial lain. Meski begitu saya juga harus mengakui kalau media sosial adalah penyumbang ide terbesar untuk bahan tulisan di blog ini. Langsung maupun tidak langsung.

Media sosial memang membuai banyak orang, mengubah banyak hal dalam kehidupan mereka. Namun, ketika media sosial dirasakan mulai mendesak terlalu jauh dalam kehidupan kita, maka sepertinya itu saat yang tepat untuk berhenti. Mungkin tidak harus berhenti total, minimal membatasi. Karena kehidupan di dunia nyata lebih penting dari kehidupan di dunia maya.

Yes, I can say that I am JOMO [dG]