Jalan Panjang Ekonomi Digital Indonesia

Internet Indonesia berkembang pesat, namun pertumbuhan ekonomi digital belum tumbuh seimbang. Kenapa?

SAAT ITU KAMI DALAM PERJALANAN ke Takabonerate, salah satu wilayah di Kabupaten Kepulauan Selayar, Sulawesi Selatan. Atas undangan dari pemerintah daerah, kami bisa menghadiri acara Takabonerate Island Festival, sebuah acara tahunan yang bermaksud memamerkan keindahan alam dan potensi wisata Takabonerate.

Kami (saya dan beberapa teman bloger) duduk di sebuah kapal kayu besar yang membawa rombongan dari kota Benteng, ibukota Kabupaten Kepulauan Selayar ke pulau di wilayah Takabonerate. Kapal itu lumayan penuh, diisi oleh puluhan pegawai negeri sipil dari berbagai SKPD. Ibu wakil bupati juga ada di perahu yang akan menempuh perjalanan tujuh jam melintasi laut lepas.

“Dari SKPD mana ki?” Seorang ibu tiba-tiba bertanya ke seorang kawan. Mereka sama-sama duduk di buritan, beratapkan langit biru yang perlahan dipenuhi warna jingga di ujung petang.

“Oh bukan dari SKPD bu. Dari blogger,” jawab kawan saya dengan sopan.

“Oh,” si Ibu mengangguk, kemudian melanjutkan. “Itu dari Dinas Pariwisata ya?”

Si kawan terlihat kebingungan. Jelas dia kesulitan untuk menjelaskan apa itu bloger pada orang yang sepertinya tidak akrab dengan internet dan dunia blog. Saya membuang muka, menahan tawa melihat kebingungan di wajah si kawan.

Sejurus kemudian dia menjawab, “Bukan bu, blogger itu anu…yang biasa menulis di internet,”

Kembali kalimat “Oh,” keluar dari bibir si ibu. Dia mengangguk lalu memalingkan wajah. Entah karena dia mengerti atau karena dia berpikir, “Terserah!”.

Saya benar-benar berusaha menahan tawa.

Pertumbuhan Internet yang Semakin Pesat.

Kejadian itu terjadi di tahun 2011, hampir enam tahun lalu. Pertumbuhan internet di Indonesia waktu itu memang belum sepesat sekarang. Di ibukota Selayar saja, jaringan internet nirkabel dan selular masih sulit ditemukan. Ada beberapa daerah yang benar-benar tidak memberi kami kesempatan untuk sekadar memeriksa linikala Twitter atau Facebook. Tidak ada sinyal selular sama sekali.

Tapi kita tahu kalau perlahan perkembangan internet di Indonesia semakin cepat dan pesat. Di tahun 2015 data statistik menunjukkan kalau Indonesia berada di urutan keempat negara di Asia dalam jumlah pengguna internet. Waktu itu jumlahnya 78 juta, jumlah yang setahun kemudian dipercaya menembus angka 132 juta pengguna intenet. Bayangkan, dalam waktu setahun saja jumlahnya bisa hampir dua kali lipat.

Data pengguna internet di Asia

Lalu, seperti seharusnya sebuah pisau, internet juga ternyata bermata dua. Di satu sisi, internet digunakan untuk keperluan yang kadang seperti menghina akal sehat. Beragam berita bohong yang bisa memancing keributan dan pertikaian horisontal disebarkan di internet. Begitu juga dengan tindakan-tindakan lain yang justru membuat banyak orang awam jadi memusuhi internet.

“Ededeh, berenti mako itu main internet. Banyak sekali anu salah-salah di sana,”

Ibu seorang kawan meminta anaknya menjauhi internet. Rupanya dia kuatir mendengar beragam berita banyaknya penyalahgunaan internet. Dari material pornografi, peculikan anak di bawah umur hingga penipuan. Tidak heran kalau internet terdengar membahayakan bagi orang awam.

Tapi sekali lagi, seperti sebuah pisau internet juga punya sisi lain yang bisa bermanfaat jika digunakan dengan baik.

Kita sederhanakan saja dengan cerita bagaimana orang-orang menggunakan internet untuk menunjang kehidupan mereka. Ekonomi digital kata orang-orang.

Semakin hari semakin banyak juga orang yang berhasil menggunakan internet sebagai ladang mencari nafkah, mengembangkan kemampuan dan potensi diri mereka. Ada yang berdagang hasil pekerjaan tangan sendiri dari barang kerajinan hingga kuliner, ada pula yang menjual jasa memanfaatkan internet, hingga sekadar memanfaatkan kemampuan menjual barang dan menjadi semacam makelar dengan menggunakan internet.

“Bapaknya si Anu kerjanya apa sih? Gak pernah kelihatan keluar rumah, kadang seharian cuma koloran dan singletan, tapi duitnya banyak. Jangan-jangan dia pelihara tuyul!”

Hayo, kalian pasti pernah mendengar cerita seperti itu bukan? Ada orang-orang yang tak pernah terlihat keluar rumah sambil berpakaian rapi dan menenteng tas layaknya orang kantoran, tapi toh dia tetap bisa hidup, bahkan mampu membeli barang-barang yang terlihat mewah.

Sebagian besar pelaku ekonomi digital yang memanfaatkan internet memang seperti itu. Tidak terlihat seperti pekerja pada umumnya. Kalaupun mereka punya kantor, kantor mereka tidak mensyaratkan pegawainya berpakaian rapi dan bersepatu. Penampilan bukan yang utama, karena toh sebagian besar pekerjaan mereka adalah berhubungan dengan internet, dengan klien nun jauh di sana yang tidak membutuhkan tatap muka.

Internet memang membuka peluang-peluang baru yang dulu tak terpikirkan sebelumnya.

Ibu-ibu bisa mengurus jualan mereka tanpa harus meninggalkan si kecil yang masih suka rewel. Bapak-bapak bisa ikut membantu meringankan kerjaan istri di rumah karena seharian ada di rumah. Anak-anak muda bisa memanfaatkan waktu luang mereka dengan menggeluti bisnis di internet tanpa harus banyak bergerak.

Kemudahan-kemudahan itu membuat bisnis digital Indonesia semakin pesat menggeliat. Dari statistik Indonesia yang dirilis oleh Katadata, jumlah transaksi e-commerce di Indonesia mencapai angka Rp.69,8 triliun di tahun 2016. Jumlah ini meningkat dari Rp.42,5 triliun di tahun sebelumnya. Tahun 2017 ini diprediksi pertumbuhannya akan mencapai Rp.108,4 triliun.

Data transaksi e-commerce di Indonesia

Jumlah pelaku transaksi online pun meningkat dari tahun ke tahun. Tahun 2015 pelakunya diperkirakan sebanyak 7,4 juta orang yang meningkat menjadi 8,7 juta di tahun 2016. Meski meningkat, tapi harus diakui kalau jumlah tersebut seperti tidak berbanding lurus dengan jumlah pengguna internet di Indonesia.

Pelaku transaksi online di Indonesia