Dinamika Selepas Revisi UU ITE

Revisi UU ITE
Revisi UU ITE
Ilustrasi

Sepanjang sejarah Indonesia, mungkin hanya UU ITE satu-satunya undang-undang yang paling sering dibicarakan dan didiskusikan.

28 Nopember 2016, UU No.19 tahun 2016 resmi diberlakukan. Undang-undang ini adalah revisi dari UU No.11 tahun 2008 atau yang lebih terkenal sebagai UU ITE. Sejak diberlakukan, UU ITE memang sudah menuai banyak protes dan sorotan dari berbagai kalangan, khususnya para aktivis kebebasan berekspresi dan netizen.

UU ITE awalnya dirancang untuk mengatur tata kelola perdagangan dan transaksi di internet, namun pada akhirnnya justru lebih banyak dipakai untuk memidanakan pengguna internet. Setidaknya ada tiga pasal yang paling sering digunakan untuk menyebarkan jerat pidana bagi para netizen. Pasal itu apalagi kalau bukan pasal 27 ayat 3 tentang pencemaran nama baik, pasal 29 ayat 2 tentang penyebaran kebencian, pasal 27 ayat 1 tentang pornografi dan pasal 29 tentang ancaman.

Yusniar adalah korban UU ITE dengan kuasa yang tidak berimbang. Baca di sini untuk lebih jelasnya

Menjelang akhir tahun 2016 ini, tepatnya 28 Desember 2016, Kementerian Komunikasi dan Informatika (KOMINFO) menggelar sebuah diskusi dengan tema: dinamika pasca revisi UU ITE di kafe Penang Bistro, Jakarta Pusat. Tujuan utamanya adalah mengurai apa yang terjadi di masyarakat setelah revisi UU ITE Nopember tahun ini.

Berikut adalah catatan singkatnya:

Tentang Pasal 27 Ayat 3

Pasal ini menerima perubahan di sisi pengurangan hukuman, dari ancaman 6 tahun penjara menjadi 4 tahun penjara. Denda yang tadinya satu miliar Rupiah juga diturunkan menjadi 750 juta Rupiah. Tambahan lainnya adalah penetapan delik aduan yang berarti pelaporan harus dilakukan langsung oleh mereka yang merasa nama baiknya dilaporkan. Selain itu, diterangkan kalau pasal 27 ayat 3 harus mengacu pada KUHP yang memang sudah mengatur tentang pencemaran nama baik.

Dalam paparannya, TB Hasanuddin-anggota DPR RI Komisi I yang sekaligus ketua kelompok kerja (POKJA) revisi UU ITE-menceritakan kronologi revisi UU ITE yang menurutnya sudah dilakukan sejak dilakukan sejak 2010 namun baru dijadikan pembahasan serius di tahun 2015.

Khusus untuk revisi pasal 27 ayat 3, TB Hasanuddin menceritakan kalau DPR RI khususnya Komisi I mengundang berbagai narasumber yang dianggap layak, termasuk para alim ulama. Para alim ulama dimintai pendapat tentang bagaimana sesungguhnya pencemaran nama baik dari sisi agama. Menurut para alim ulama, pencemaran nama baik dan fitnah memang harusnya mendapatkan hukuman. Dasar itu pula yang dijadikan acuan untuk tidak menghapuskan pasal27 ayat 3 seperti yang diinginkan banyak pihak.

Pemaparan dari TB Hasanuddin dan Arief Muliawan

Hal yang sama juga diungkapkan oleh Arif Muliawan, Kabid Pemeliharaan Aset Negara, Kejaksaan Agung Republik Indonesia. Arif Muliawan dengan tegas menganggap pentingnya pasal 27 ayat 3 UU ITE sebagai alat untuk membatasi kebebasan berekspresi yang kebablasan dan menyakiti orang lain.

Pemaparan dua wakil pemerintah ini dianggap Dhyta Caturani dari FemHack dan juga anggota ID-IGF MAG sebagai pemaparan yang “kinclong” dan sangat ideal. Sayangnya, kenyataan di lapangan tidak seindah itu. Dari data SAFENet, pasal 27 ayat 3 justru rentan digunakan sebagai alat untuk membungkam kebebasan berekspresi dan menakut-nakuti warga yang kritis.

Hal itu diungkapkan oleh Saiful Anam, seorang anggota serikat buruh yang juga pernah bermasalah dengan hukum dan terjerat pasal 27 ayat 3 UU ITE. Menurutnya, pengusaha yang lalim justru menakut-nakuti para buruh dengan ancaman pidana menggunakan pasal 27 ayat 3, ancaman yang kemudian membuat para buruh jadi semakin takut untuk berbicara lantang menuntut hak mereka.

Prita Mulyasari, kasusnya sempat heboh di tahun 2009

“Batasan antara kritik dan penghinaan juga tipis sekali,” kata Prita Mulyasari yang juga hadir sebagai penanggap. Prita sempat menjadi perhatian nasional di tahun 2008-2009 ketika curhatannya tentang pelayanan sebuah rumah sakit menyeretnya ke meja hukum. Prita dianggap mencemarkan nama baik rumah sakit tersebut dan sempat dituntut menggunakan pasal 27 ayat 3 UU ITE. Gerakan “Koin Untuk Prita” berhasil menyeret perhatian publik dan menjadi salah satu gerakan sosial yang luar biasa kala itu.

“Memang masih banyak aparat yang salah menerapkan UU ITE,” kata Samuel Pangerapan, Dirjen APTIKA Kominfo. Kata-kata itu sekaligus membuktikan asumsi kalau di lapisan bawah, aparat penegak hukum memang masih banyak yang gagap mengikuti perkembangan teknologi, akibatnya UU ITE yang seharusnya melindungi warga negara justru jadi alat yang disalahgunakan.

Tentang Penapisan Konten.

Sampai hari ini, mekanisme dan tata kelola penapisan konten di Indonesia memang masih jauh dari kata sempurna. Hal ini diungkapkan oleh Hesti Murti dari Aliansi Jurnalis Independent (AJI). Menurut Hesti, penapisan konten dengan mekanisme yang belum jelas ini justru seperti berusaha untuk membatasi kerja-kerja pers.

Salah satu contoh yang diberikan oleh Hesti Murti adalah kasus penapisan (blokir) terhadap website suarapapua.com. Sampai saat ini masih belum jelas alasan penapisan atas website tersebut meski aparat hukum menuding website itu sebagai penyebar ajakan separatisme. Redaksi suarapapua.com sudah melakukan langkah untuk memulihkan kembali websitenya, namun sampai saat ini langkah tersebut belum berhasil melepaskan blokir.

revisi UU ITE
Suasana diskusi (foto: Donny BU)
Bersama Dhyta Caturani dan Saiful Anam (foto: Donny BU)

Tentang Hak Untuk Dilupakan.

Salah satu tambahan yang masuk dalam revisi UU ITE adalah pasal tentang hak untuk dilupakan atau right to be forgotten (RTBF). Menurut TB Hasanuddin, pasal ini memang masuk belakangan berdasarkan saran dari beberapa pihak. Saran itu hadir karena melihat beberapa negara sudah mulai menerapkan undang-undang tentang RTBF ini.

RTBF dimaksudkan sebagai salah satu cara bagi seorang korban pencemaran nama baik yang ingin agar catatan masa lalunya di internet terhapuskan. Detail tentang RTBF di Indonesia memang belum ada, selepas revisi UU ITE pemerintah baru akan mulai membuat peraturannya. Proses pembuatan aturan ini tentu harus dikawal, jangan sampai aturan detailnya justru hanya menguntungkan satu pihak tertentu.

“RTBF ini seharusnya bisa digunakan oleh para korban kekerasan seksual yang data pribadinya terekspos secara serampangan di internet,” kata Hesti Murti. Senada dengan Hesti, Dhyta juga menginginkan hal yang sama.

Tentang Bukti Digital

Dalam proses persidangan, utamanya yang menggunakan teknologi sebagai medianya, bukti digital tentu saja dibutuhkan. Dalam kasus-kasus yang menggunakan UU ITE, tangkapan gambar (screen capture) adalah yang paling banyak digunakan. Hal ini sebenarnya sangat rentan karena tangkapan layar bisa saja direkayasa, ditambah atau dikurangi. Sebagian besar terlapor memang menghapus bukti asli ketika tahu dirinya akan tersangkut masalah. Satu-satunya yang bisa dijadikan bukti adalah tangkapan layar. Padahal pihak-pihak tertentu bisa saja melakukan rekayasa atau olah digital atas bukti tangkapan layar tersebut.

Lalu bagaimana membuktikan keabsahan bukti digital itu?

Ini yang menjadi masalah, apalagi di daerah luar Jawa. Tidak banyak orang yang punya keahlian untuk bisa membuktikan keabsahan sebuah bukti digital. Menanggapi hal ini, Samuel Pangerapan, Dirjen APTIKA Kominfo memberi peluang bagi mereka yang membutuhkan jasa penyidik dari Kominfo yang bisa membuktikan keabsahan sebuah bukti digital.

“Kami juga akan melakukan semacam training for trainer untuk Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS) di daerah. Mereka nantinya bisa dijadikan saksi ahli khusus untuk membuktikan keabsahan bukti digital,” kata Samuel Pangerapan.

Baca juga catatan akhir tahun dari saya tentang UU ITE di sini

Diskusi akhir tahun yang digelar Kominfo ini memang belum tuntas. Bermacam-macam pertanyaan masih tertinggal, namun setidaknya ini adalah awal yang bagus untuk terus mendiskusikan beragam hal tentang revisi UU ITE. Kemauan Kominfo untuk bertemu dan menampung suara netizen patut diapresiasi. Harapannya, diskusi ini tidak akan berhenti sampai di sini saja. [dG]