Catatan Setelah Path Tutup

Setelah delapan tahun berlayar menemani banyak penggunanya, Path akhirnya tutup. Meski bukan pengguna aktif Path, tapi setidaknya saya punya beberapa catatan tentang Path.


Good bye Path

BEBERAPA HARI LALU ADA KERIUHAN di Twitter yang sempat saya lihat. Beberapa pengguna Twitter seperti bernostalgia mengenang masa-masa aktif di aplikasi Path. Nostalgia ini muncul setelah muncul berita resmi tentang tutupnya Path. Yah, aplikasi tersebut memang akhirnya mengumumkan akan resmi menutup layanannya bulan Oktober 2018 ini setelah beroperasi selama delapan tahun. Keputusan yang tentu saja membuat sebagian besar penggunanya bersedih.

Wajarlah mereka bersedih. Selama bertahun-tahun, Path sudah jadi teman setia mereka. Menemani senang dan sedih, menjadi tempat yang menyenangkan untuk sekadar berbagi apa yang mereka makan, apa yang mereka dengar, bahkan kapan mereka tidur dan bangun. Path juga bersih dari keriuhan politik yang memang kadang menggemaskan itu.

Ketika Path akhirnya akan berhenti menemani mereka, wajar bila mereka bersedih.

*****

SAYA JUGA PENGGUNA PATH, mungkin sejak empat atau lima tahun lalu. Awalnya sama seperti yang lain, saya sangat menikmati momen-momen bersama Path. Aturan yang membatasi jumlah kawan sepertinya jadi salah satu alasan kenapa saya menyukainya. Dengan aturan itu rasanya saya benar-benar terhubung dengan orang dekat, orang yang saya kenal. Bukan sembarang orang.

Path jadi semacam tempat sampah, tempat kita bebas mengunggah apa saja. Dari pikiran, lokasi yang dikunjungi, makanan yang dimakan sampai apa yang didengarkan. Belakangan Path juga jadi tempat mengunggah tautan blog. Semua bisa dilakukan dengan santai tanpa takut ada akun anonim yang akan memberi komentar tidak sedap.

Teman Path yang merupakan teman dekat membuat saya merasa sedang mengobrol dengan kerumuman yang saya kenal. Bebas mengobrol apa saja, tapi tetap punya rasa segan untuk memberikan komentar yang tidak sedap. Mungkin teman-teman Path saya juga merasa seperti itu.

Tapi, entah kenapa lama kelamaan saya mulai merasa Path agak membosankan. Mungkin karena suasananya yang terlalu nyaman? Atau karena orangnya itu-itu saja? Entahlah.

Tahun lalu akhirnya saya mengunggah status terakhir di Path dan lalu diikuti dengan uninstall Path di handphone saya. Tapi saya tidak sadar kalau tautan otomatis dari blog saya masih tersambung ke Path. Akibatnya semua tautan dari blog masih otomatis terpasang di Path dan sebagian masih dikomentari oleh teman-teman saya. Saya hanya berhenti membuat status organik dan berhenti memasang Path di handphone.

Status organik terakhir saya di Path

Saya memutuskan berhenti berinteraksi di Path setelah merasa aplikasi itu tidak memberi sebuah alasan kuat untuk bertahan. Bukan tidak nyaman, hanya saja lebih kepada bosan saja. Apalagi lama kelamaan saya mulai merasakan Path terlalu mengumbar sesuatu yang seharusnya personal. Makan apa, sama siapa, di mana, tidur kapan, bangun kapan. Sesuatu yang hmmm katakanlah bukan sesuatu yang saya suka.

Ibaratnya mengendarai mobil di jalan raya, menggunakan Path serasa jalan raya yang terlalu lapang dan lurus. Membosankan sampai membuat supir sekalipun rasanya ingin tidur saja.

*****

DI TWITTER SAYA SEMPAT MENGUNGGAH status membicarakan soal tutupnya Path ini. Status itu kemudian berujung pada diskusi ringan dengan Helman, sobat bloger saya. Intinya kami mencoba mencari tahu kenapa Path akhirnya tutup? Kenapa dia tidak bisa bertahan seperti dua raksasa media sosial; Facebook dan Twitter.

Karena namanya diskusi ringan, jadi konklusinya juga tentu tidak akurat. Hanya opini yang mungkin bisa dipikirkan juga benar tidaknya.

Menurut Helman, kelemahan utama Path adalah di fitur inner circle-nya yang hanya memberi ruang kita berinteraksi dengan sebagian orang, tidak massal. Situasi seperti ini dengan mudah tergantikan oleh medium lain, dalam opininya Helman menyebut WhatsApp Group (WAG). Di WAG kita juga berinteraksi dengan sedikit orang, sebagian adalah orang-orang yang sudah kita kenal baik. Polanya sama dengan Path. Di WAG (dengan anggota yang sudah kita kenal akrab), kita juga bisa berinteraksi dengan santai, apa adanya dan bahkan terkesan nyampah. Intinya, apa yang ditawarkan Path bisa diakomodir oleh WAG, belum lagi medium chat lainnya seperti Line yang bahkan sudah menyediakan fitur timeline.

Opini itu menarik, setidaknya bisa saya benarkan. Satu hal yang membuat saya bosan di Path adalah lingkaran yang terlalu kecil, padahal bisa saja saya berinteraksi dengan orang-orang di dunia nyata atau di grup-grup percakapan. Ketemu dengan orang yang itu-itu lagi rupanya cepat membuat saya bosan.

Teori lain kenapa Path bisa cepat membosankan adalah karena karakternya yang tidak terlalu kuat. Facebook dan Twitter punya karakter sebagai news feed atau opinion feed, tempat bertukar informasi dan berita atau bahkan tempat bertukar pendapat (bahkan berdebat). Sementara Instagram mencoba berkembang dengan karakter sebagai tempat memamerkan sesuatu. Perjalanan, makanan, bahkan keahlian.

Path tidak punya karakter sekuat itu. Dengan lingkar yang terlalu sempit, Path sulit mengakomodir kebutuhan sebagai tempat bertukar berita dan bertukar opini, apalagi tempat memamerkan sesuatu. Bosan kan kalau bertukar berita atau opini dengan orang yang itu-itu saja? Mau memamerkan apa lagi kalau orang yang melihatnya juga itu-itu saja?

Makanya saya setuju dengan alasan kegagalan Path karena gagalnya mereka mencari karakter yang pas.

Alasan utama kenapa Path akhirnya tutup mungkin tidak akan pernah kita tahu sampai pendirinya benar-benar menceritakannya. Tapi faktanya, Path memang akhirnya menyerah dan menutup layanannya, menyusul produk internet lain yang sudah lebih wafat.

Baca juga: Selamat Beristirahat YM

Di balik kelebihan dan kekurangannya, Path sudah menemani banyak orang melewati hari. Memberikan warna tersendiri dan catatan-catatan tersendiri. Buat saya pun begitu. Meski tidak merasakan ikatan yang terlalu kuat dengan Path, tapi setidaknya saya pernah jadi bagian keluarga besar Path.

Ada pertanyaan menarik dari tutupnya Path ini. Kenapa sampai hari ini belum ada media sosial baru yang mampu bertahan seperti Facebook, Twitter dan Instagram? [dG]