Ramai-ramai di APrIGF 2022

APrIGF 2022

Sebuah pengalaman berkesan, hadir dalam kegiatan forum APrIGF 2022 di Singapura. Mendapat banyak pengalaman dan pengetahuan baru tentang tata kelola internet.

Suasana lantai tiga Grand Hyatt Hotel Singapura ramai sekali hari itu. Ratusan orang dari beragam etnis dan negara berkumpul. Kalimat-kalimat dari bahasa Inggris maupun bahasa lainnya yang tidak saya mengerti menguar di udara, memenuhi ruangan. Ada orang Singapura, orang India, Korea Selatan, Vietnam, Myanmar, Samoa, Papua Nugini, dan banyak lagi. Terselip juga beberapa orang Indonesia, termasuk saya.

“Mungkin begini suasana kantor PBB,” kata saya dalam hati.

Bersama beberapa orang dari Indonesia, saya berkesempatan hadir di gelaran Asia Pasific regional Internet Governance Froum (APrIGF) 2022 yang dihelat di Singapura. Buat yang belum tahu, APrIGF adalah bagian dari rangkaian kegiatan Internet Governance Forum (IGF) global. Forum ini adalah forum diskusi dan sharing tentang tata kelola internet yang dihadiri oleh beragam pihak. Dari wakil pemerintah, pengelola aplikasi, pengelola ISP, sampai komunitas dan organisasi masyarakat yang berkaitan dengan internet.

Delegasi Indonesia di APrIGF Singaopura

APrIGF adalah forum tata kelola internet khusus untuk wilayah regional Asia dan Pasifik, sedangkan untuk wilayah Indonesia namanya menjadi ID-IGF. IGF global sendiri rencananya akan dihelat di Ethiopia bulan November 2022. Hasil diskusi atau komentar dari ajang regional itu yang akan dibawa ke IGF global nanti.

Menangani Hoaks, Disinformasi, dan Misinformasi

Kita kembali ke laptop alias kegiatan APrIGF yang saya hadiri. Forum ini berisi beragam kegiatan yang isinya sebagian besar adalah sharing pengalaman dan pengetahuan terkait tata kelola internet. Ada forum yang berlangsung bergantian, ada yang berlangsung secara paralel, dan ada juga yang merupakan forum gabungan. Temanya beragam, dari literasi digital, penanganan hoaks, keamanan digital, hingga beragam tema yang sangat teknis. Semua forum dibuat secara hybrid, artinya ada kegiatan luring yang digabung dengan daring.

Indonesia sendiri di bawah ICT Watch menggelar dua forum. Pertama bertema, “Lawan Hoaks COVID-19 HIngga Isu Pemilu: Kolaborasi Literasi Digital vs Legislasi dan Sensor?” yang dihelat di hari Senin 12 September 2022. Lalu di hari Selasa ada sesi berjudul, “Kolaborasi Multi Pihak Kembangkan Kampiun Lokal Literasi Digital”.

Di sesi pertama, wakil dari ICT Watch, Indriyatno Banyumurti berkolaborasi di panggung bersama Alice Budisatrijo dari META, Dr. Kyung Sin Park dari Open Net Korea Selatan, dan dua panelis yang hadir secara daring yaitu, Rizky Ika Safitri dari UNICEF Indonesia. Hadir juga Charles Mok dari Stamford Universty dan Gustaff H. Iskandar sebagai moderator.

Sesi pertama tentang hoaks COVID-19

Di sesi ini, keempat narasumber berbagi tentang bagaimana peredaran hoaks COVID-19 selama masa pendemi dan hoaks seputar pemilu serta bagaimana pemerintah atau organisasi masyarakat melawannya.

ICT Watch berbagi tentang bagaimana kegiatan literasi digital yang mereka lakukan dengan maksud untuk membuat masyarakat, pengguna internet di Indonesia lebih paham dan bisa membedakan mana informasi yang benar dan mana yang hoaks. Memang tidak bisa dipungkiri, selama masa pandemi COVID-19 hoaks terkait virus tersebut beredar dengan sangat cepat dan masif. Hal yang sama juga terjadi selama masa pemilihan umum. Padahal kita juga tahu bagaimana bahayanya hoaks yang beredar di dua masa genting itu. Beragam hal yang dilakukan ICT Watch di antaranya adalah road show bekerja sama dengan kampus dan sekolah dalam rangka meningkatkan perhatian akan literasi digital dan membuat film dokumentar berjudul Hoaksinasi yang berisi edukasi tentang hoaks seputar vaksinasi COVID-19.

Alice Budisatrijo dari META Asia Pasific yang berkantor di Singapura berbagi tentang bagaimana META (perusahaan yang menaungi Facebook, WhatsApp, dan Instagram) menangani hoaks. Menurutnya, META – utamanya Facebook – punya kebijakan yang sangat ketat dalam menangani hoaks. Facebook sebagai salah satu media sosial paling besar dan berpengaruh di dunia memang kerap kali diwarnai oleh orang-orang yag menyebarkan hoaks, disinformasi, dan misinformasi.

Menurut Alice, Facebook menggunakan jasa manusia dengan SOP yang ketat untuk menggolongkan sebuah informasi sebagai hoaks, disinformasi, atau misinformasi. Penanganan untuk setiap jenis berbeda-beda. Pada tingkatan paling parah, utamanya pada akun yang terus menerus menyebarkan hoaks atau disinformasi maka ganjarannya adalah penangguhan akun.

Kolaborasi Multi-Pihak

Di hari kedua, sesi lain yang dihelat oleh ICT Watch adalah sesi tentang bagaimana kolaborasi multi-pihak dalam mencari dan mengembangkan kampiun lokal terkait digital literasi. Hadir dalam sesi ini adalah Rizky Ameliah, penanggung jawab SIBER KREASI dari Menkominfo, Muhammad Arif dari APJII, Clair Deevy dari WhatsApp, dan Prof. Pirongrong Ramasoota dari Chulalongkam University Thailand.

Prof. Pirongrong memulai dengan membagikan beberapa kegiatan terkait literasi digital yang dilakukan di beberapa negara Asia. Ada beberapa contoh menarik yang dibagikannya, utamanya tentang kolaborasi antara pemerintah, sektor privat, dan organisasi kemasyarakatan dengan menyasar beragam target termasuk masyarakat umum ataupun pelajar/mahasiswa di Singapura.

Sesi kedua tentang kampiun lokal literasi digital

Muhammad Arif dari APJII membagikan pengalaman APJII sebagai asosiasi penyedia jasa internet di Indonesia terkait bagaimana meningkatkan penetrasi internet di indonesia. Kegiatan mereka tidak hanya terkait teknis, tapi juga melakukan riset atau penelitian tentang perilaku para pengguna internet di Indonesia, termasuk di daerah-daerah terpecil.

Lalu dari Keminfo Indonesia, Rizky Amelia membagikan bagaimana mereka mengembangkan SIBER KREASI sebagai sebuah bagian dari literasi digital. SIBER KREASI masih berlangsung hingga saat ini dengan berbagai jenis kegiatan dan beragam pihak yang digandeng. Mulai dari akademisi, lembaga, hingga influencer yang berpengaruh di Indonesia.

KBGO dan Demokrasi

Selain dua sesi yang digarap oleh ICT Watch itu, ada beberapa sesi lain yang menarik dan saya ikuti. Ada sesi tentang kekerasan seksual berbasis gender online yang salah satunya menghadirkan Ellen Kusuma dari SAFEnet. Di sesi ini, Ellen berbagi tentang inisiasi dan gerakan yang dilakukan SAFEnet bersama pihak lain di Indonesia terkait pengentasan kekerasan berbasis gender onlie (KBGO). Salah satunya adalah dengan menghadirkan laman AwasKBGO dan platform lain yang berguna sebagai pedoman atau pegangan bagi para korban kekerasan berbasis gender online.

Sesi showcase dari Ellen tentang AwasKBGO

Lebih jauh tentang AwasKBGO dijelaskan oleh Ellen di sesi hari Rabu dalam bentuk showcase. Ellen menjelaskan tentang ihwal, tujuan, dan apa saja yang dilakukan oleh inisiatif gerakan AwasKBGO. Menurut Ellen, semua berawal dari empati pada korban kekerasan seksual berbasis gender yang semakin marak di online. Empati itu kemudian menggerakkan Ellen dan beberapa orang lainnya untuk berjejaring dan membuat gerakan AwasKBGO.

AwasKBGO muncul sebagai saluran yang mendukung para korban kekerasan seksual berbasis gender online. Ada website yang berisi informasi dan panduan, ada beberapa buku berisi panduan, dan paling terbaru ada video panduan tentang KBGO yang dilengkapi dengan pengantar bahasa isyarat bagi teman-teman tuli.

Sesi lain yang juga menarik buat saya adalah pemaparan tentang kondisi demokrasi internet di beberapa negara. Salah satunya adalah presentasi dari Darika, wakil dari Thailand yang menjelaskan tentang bagaimana tindakan represif aparat terhadap netizen Thailand yang kritis. Di sesi lain, wakil dari India juga membagikan cerita bagaimana media sosial di sana berperan besar dalam masa pemilu.

Bersama perwakilan SAFEnet dan ICT Watch

Belajar Banyak Hal

Tiga hari kegiatan di APrIGF Singapura ini buat saya memberi kesan yang sangat membekas. Ini pertama kalinya saya ikut rangkaian kegiatan IGF dan berjumpa dengan banyak netizen dari berbagai negara. Banyak perspektif baru tentang bagaimana keadaan internet, netizen, dan media sosial di tempat mereka. Khususnya di bagian literasi digital, demokrasi, dan keamanan digital.

Dari seorang wakil dari Srilanka – saya lupa namanya, karena saya punya masalah dengan mengingat nama – saya juga mendapatkan gambaran bagaimana kondisi netizen kritis di sana yang sudah mulai harus menghadapi ancaman senjata sebagai bayaran untuk kritik mereka. Sebuah gambaran yang membuat saya sedikit bersyukur ada di Indonesia sekaligus menyadarkan pentingnya menjaga demokrasi Indonesia agar tidak sampai menjadi seperti itu.

Saya juga sempat berbincang sejenak dengan perwakilan Kementerian Informasi Papua Nugini tentang bagaimana beratnya tantangan infrastruktur internet di sana. Saya bisa membayangkan karena Papua dan Papua Nugini punya kontur yang sama.

ID card APrIGF 2022

*****

Setiap sesi yang saya ikuti pun sangat menarik. Sayangnya karena memang waktu setiap sesi sangat singkat, hanya satu jam. Sesi satu jam itu sudah termasuk pemaparan dan diskusi. Walhasil, ada banyak pertanyaan yang tidak bisa diajukan dan tidak bisa dijawab. Mungkin memang karena beragamnya tema yang tidak sesuai dengan waktu yang mepet.

Sebuah momen yang sangat berharga dan tentu saja berkesan. Bertemu banyak netizen dari berbagai negara, berbagi pengalaman, dan mendapatkan banyak pelajaran. Tentunya terima kasih sebesar-besarnya harus saya haturkan ke ICT Watch yang sudah mengundang saya hadir di kegiatan ini. Semoga ini bukan undangan terakhir. Ha-ha-ha-ha. [dG]

Video dari sesi 1: Lawan Hoaks COVID-19 HIngga Isu Pemilu: Kolaborasi Literasi Digital vs Legislasi dan Sensor?

Video dari sesi 2: Kolaborasi Multi Pihak Kembangkan Kampiun Lokal Literasi Digital.