Satpam Komplek dan Tukang Bubur

Ilustrasi satpam (foto:Wikipedia)

Sebuah cerita fiksi yang mudah-mudahan bisa menggambarkan situasi dunia internet yang terjadi saat ini di Indonesia.

Alkisah, di sebuah kota terdapat komplek perumahan mewah. Isinya ribuan orang penghuni, dikelola sebuah perusahaan pengembang, dan tentu saja dijaga oleh satpam. Karena banyaknya penghuni yang tinggal di sana, maka tentu saja banyak pedagang yang tertarik untuk masuk. Banyak penghuni berarti banyak peluang mendapatkan cuan. Begitu yang ada di kepala para pedagang bubur, pedagang mie bakso, sayur, ayam, tempe, dan lain-lain. Maka masuklah mereka ke dalam komplek perumahan itu, lengkap dengan dagangan mereka. Para penghuni tentu senang karena kebutuhan mereka mendekat, bukan mereka yang harus keluar mencari.

Suatu hari, satpam kawasan itu mengeluarkan aturan baru: semua pedagang yang akan masuk ke kawasan itu diwajibkan untuk mendaftarkan diri. Kalau tidak, mereka tidak diperbolehkan masuk ke kawasan itu.

Sekilas peraturan itu terasa wajar. Toh itu demi menjaga keamanan kawasan juga, biar terdata siapa yang masuk dan bikin apa mereka di dalam. Takutnya kalau penjahat berkedok pedagang juga ikut masuk. Kan kasihan warga perumahan, bisa jadi target aksi kejahatan. Begitu kata pengelola kawasan itu.

Tapi yang tidak mereka sampaikan secara gamblang adalah pasal-pasal lain dari peraturan itu. Soalnya ada pasal lain yang memungkinkan pengelola kawasan untuk meminta data pembeli dari para pedagang. Khususnya bila ada pembeli yang dirasa “meresahkan” menurut pengelola kawasan. Entah apa parameter “meresahkan”, tidak dijelaskan secara jelas, hanya menggunakan standar perasaan si pengelola kawasan.

Menurut pasal itu, bila ada warga yang dirasa “meresahkan”, satpam berhak untuk meminta data mereka dari pedagang yang melayani si warga. Satpam juga berhak untuk meminta pedagang berhenti melayani si warga yang dianggap “meresahkan” itu.

Peraturan ini membuat beberapa pedagang kebingungan. Bingung antara patuh pada peraturan itu, atau tidak. Patuh berarti dia harus siap-siap ditanya satpam tentang salah satu pelanggannya, harus siap menyerahkan datanya kepada satpam, termasuk data si pelanggan makan apa, bayar berapa, berapa orang di rumah itu, mereka bikin apa saja di rumah itu, dan banyak lagi. Tidak patuh, berarti mereka tidak diperbolehkan masuk ke kawasan itu dan berarti siap kehilangan ribuan pelanggan.

Bingung.

Akhirnya beberapa pedagang memilih patuh pada peraturan itu. Mendaftar supaya diizinkan tetap masuk berjualan di kawasan itu. Soal kalau nanti misalnya data-data pelanggannya diminta, ya sudah itu dilihat nanti saja. Toh itu juga data orang, bukan data mereka sebagai pedagang. Tidak seberapa dibanding cuan yang bisa didapat dari kawasan itu.

Tapi, ada juga pedagang yang tetap memilih untuk bertahan pada idealisme mereka. Ada dua pedagang – satu pedagang bubur, satu pedagang sayur – yang menolak mendaftar karena aturan tentang pendaftaran itu tidak jelas, tidak transparan dan bisa saja berlawanan dengan idealisme mereka sendiri. Akibatnya, mereka dilarang masuk ke kawasan, portal ditutup dan mereka disuruh putar balik. Terus terang si pedagang ini sedih, karena dia sudah merasa membayar retribusi untuk berjualan di dalam kawasan perumahan itu kepada pengelola, tapi satpam tetap saja melarang mereka masuk karena mereka menolak untuk tunduk pada peraturan baru itu.

Ilustrasi tukang bubur

Karena pedagang bubur dan pedagang sayur itu tidak diperbolehkan masuk, warga mulai merasa kehilangan. Mereka yang sudah jadi pelanggan bubur dan sayur dari dua pedagang itu berhari-hari terpaksa melewat hari tanpa sapaan khas kedua pedagang itu, dan tentu saja tanpa sajian berkualitas dari pedagang itu. Bahkan ada warga yang akhirnya kelaparan karena tidak bisa makan bubur kesayangan atau masak sayur favorit mereka. Benar-benar kena mental, kata anak sekarang.

“Anda bisa cari pedagang bubur atau sayur yang lain,” begitu kata kepala satpam ketika warga mulai protes kenapa dua pedagang itu tidak boleh masuk.

Masalahnya, tidak ada pedagang bubur dan sayur sebaik mereka berdua. Mereka sudah terkenal punya bubur paling enak dan sayur paling lengkap. Ada pedagang lain, tapi buburnya benyek, condiment-nya tidak lengkap. Ada pedagang sayur yang lain, tapi sayurnya tidak lengkap dan tidak segar. Jauh dari kualitas kedua pedagang itu.

“Kalau pedagang itu tidak bisa masuk, tidak usah kuatir. Akan ada warga yang berjualan bubur dan jual sayur koq,” kata pengelola kawasan.

Masalahnya, itu bukan hal yang mudah. Belum tentu bubur buatan mereka atau sayur yang dijual kualitasnya sama dengan pedagang yang sudah mereka jadikan langganan itu. Membuka usaha tidak semudah itu bukan? Harus yakin dulu kalau bahan mereka atau jualan mereka memang berkualitas mengingat pelanggan sudah pernah merasakan sajian berkualitas sebelumnya. Belum lagi mereka juga harus yakin kalau ekosistem memang sudah terbentuk, mulai dari penyedia bahan, kemasan, isi dari dagangan, dan tentu saja selera dari pembeli.

Walhasil, sampai saat ini situasi masih kacau balau. Warga mulai protes pada peraturan satpam dan pengelola kawasan yang dianggap lucu itu. Bikin peraturan tapi tidak jelas, ada pasal karetnya, dan ternyata bertabrakan dengan peraturan lain dari kawasan itu.

*****

Cerita di atas tentu saja hanya cerita fiksi untuk menggambarkan situasi dunia internet Indonesia belakangan ini selepas diberlakukannya Permenkominfo No.5/2020 yang mengatur tentang pendaftaran Penyelenggara Sistem Elektronik (PSE). Analogi di atas mungkin tidak tepat, tapi saya mencoba menggunakan analogi yang dibuat oleh seorang selebtweet yang membela Permenkominfo itu.

Sampai sekarang, perdebatan tentang Permenkominfo ini masih terus berlanjut. Warganet Indonesia masih riuh rendah memprotes pemberlakuan Permenkominfo yang dianggap punya banyak kecacatan itu. Permen yang tidak manis, tapi justru pahit. [dG]