Ketika Kamu Berusia Empatpuluhan Tahun


Menjadi manusia yang berusia empatpuluhan tahun harusnya membuat kita jadi lebih baik. Perjalanan waktu harusnya bisa mengubah segalanya, menjadi lebih baik.


Tahun ini alhamdulillah saya kembali bisa berulangtahun. Usia bertambah, atau berkurang – tergantung perspektif mana yang mau diambil. Tapi yang paling jelas adalah tahun ini saya sudah dua kali melewati gerbang empatpuluhan tahun. Angka yang harusnya sudah dianggap cukup matang dan jelas sudah tidak bisa lagi masuk kategori anak muda. Ada banyak perubahan yang terjadi dalam kurun empat puluh tahun lebih kehidupan saya. Perubahan yang seharusnya menjadikan saya pribadi yang lebih matang. Perubahan yang sadar atau tidak sadar membuat saya sudah jauh berubah, apalagi jika dibandingkan dengan saya ketika berumur duapuluhan tahun.

Hal pertama yang paling terasa perubahannya adalah dari sisi fisik tentu saja. Ketika kamu berumur empatpuluhan, fisik dan stamina kamu tidak akan sekuat dulu ketika berusia duapuluhan. Kamu akan gampang capek. Bekerja dari pagi sampai sore saja rasanya sudah cukup menguras tenaga, tidak ada lagi tenaga yang tersisa untuk nongkrong di malam hari. Tidak seperti dulu ketika berumur duapuluhan, ketika rumah adalah tempat terakhir yang dituju. Pokoknya sebanyak mungkin gunakan waktu untuk beraktivitas di luar rumah.

Ketika kamu empatpuluhan tahun, rumah adalah segalanya. Kalau dulu kamu mencari alasan untuk bisa berada di luar rumah, maka ketika berumur empatpuluhan kamu akan mencari alasan untuk bisa tetap di rumah.

Pun begadang menjadi pilihan terakhir. Dulu, saat Piala Dunia 1998 digelar saya masih berusia 21 tahun dan saya bisa menonton seluruh pertandingan yang disiarkan tanpa ketinggalan satupun (kecuali pertandingan yang digelar bersamaan). Padahal sebagian besar pertandingan itu digelar dini hari. Saya bisa begadang nonton bola dan tidur sedikit di pagi hari lalu beraktivitas seperti biasa sebelum malam berikutnya mengulang aktivitas yang sama. Begadang sampai dini hari.

Itu dulu, waktu masih berumur duapuluhan tahun. Sekarang? Begadang dua malam berturut-turut untuk ronda saja badan rasanya sudah mau remuk. Butuh recover nyaris seharian untuk bisa kembali segar. Beragam pertandingan Liga Champion Eropa pun terpaksa saya lewatkan hanya karena badan lebih memilih untuk tidur. Saya jadi lebih selektif memilih pertandingan mana yang bagus untuk ditonton.

Dulu saya termasuk pemuda cungkring dengan badan kurus yang kadang seperti tiang listrik. Berat badan saya berkisar di angka 55-60 kg. Padahal tinggi saya 180 cm. Kamu bisa bayangkan betapa kurusnya saya waktu itu. Sekarang? Dengan metabolisme tubuh yang sudah tidak sebagus dulu lagi, lemak jadi gampang tertimbun di badan. Terakhir saya kaget ketika mengecek angka timbangan yang sudah beranjak di angka 78 kg. Ini angka tertinggi yang pernah saya raih selama menjadi manusia. Pantas saja badan sudah berasa agak susah dibawa, celana pun jadi susah dikancingkan.


Dulu saya kurus

Untungnya meski kemampuan fisik sudah jauh menurun, stamina sudah tidak seperti dulu dan berat badan juga sudah bertambah, tapi performa seksual masih bisa saya banggakan. Ketahuilah, ketika kamu berusia empatpuluhan, seks bukan lagi diukur dari kuantitas atau seberapa sering kamu melakukannya. Tapi, seks diukur dari kualitas. Seberapa bagus kamu ketika melakukannya. Untungnya saya bisa memperbaiki di sisi itu. Kuantitas mungkin tidak sesering dulu lagi ketika berumur duapuluhan, ketika stamina bisa kembali dalam hitungan menit. Sekarang, fokus utama tentu ada di kualitas. Bagaimana supaya hubungan seksual tetap terjaga tapi dengan rasa yang lebih.

Kita tinggalkan soal fisik dan beralih ke soal mental dan psikis.

Usia empatpuluhan harusnya menjadi usia yang matang, idealnya seperti itu. Saya tidak bilang kalau sekarang saya sudah matang di sisi mental atau psikis. Tapi saya bisa merasakan perubahannya, apalagi bila dibandingkan dengan saya duapuluhan tahun yang lalu.

Dulu, saya adalah anak muda yang moody dan pemarah. Saya gampang berubah mood-nya, bahkan hanya dalam sekejap. Sayapun gampang terpancing emosinya, marah-marah tidak karuan dan bahkan sampai merusak barang.

Sekarang, saya bisa mengatasi itu semua. Sebagian besarnya berhasil, meski kadang juga tidak. Usia yang bertambah dan pasangan yang sangat membantu kedewasaan berpikir adalah dua hal yang membuat saya seperti hari ini. Saya bisa menahan emosi, bisa mengatur mood dan bisa berusaha menjadi lebih bijak. Setidaknya saya sudah berpikir panjang sebelum membiarkan emosi membakar perasaan saya dan membuat saya melakukan hal-hal bodoh.

Sekarang rasanya malu kalau tidak bisa menahan emosi, apalagi kalau ngambek kayak anak kecil. Sekarang saya punya beban mental untuk menjadi role model bagi anak-anak yang lebih muda, apalagi karena pergaulan saya sering kali berada di antara mereka. Saya berusaha menjadi lebih bijak dalam melihat sesuatu. Melihat semua sisi yang bisa saya lihat, bukan hanya melihat dari satu sisi dan membutakan mata dari sisi lainnya. Karena saya percaya, apapun yang terjadi di muka bumi ini pasti punya banyak sisi yang bisa dilihat. Sisi baik dan buruk, sisi kelam dan terang, bahkan sisi tragis dan jenaka.

*****

Berada di usia empatpuluhan bebannya tentu berbeda. Kamu tidak lagi semata-mata berpikir akan nongkrong di mana malam ini? Akan beli sepatu yang mana besok? Akan jalan-jalan ke mana tahun ini? Sudah banyak hal lain yang menjadi prioritas. Tabungan, asuransi, investasi, sekolah anak, cicilan kredit. Semua itu menggantikan hal-hal yang dulu menjadi prioritasmu. Hidup semata-mata bukan lagi tentang hari ini, tapi tentang besok, tentang masa depan anak-anak.

Usia empatpuluhan harusnya menjadikan seseorang lebih bijak, dalam hal apapun. Makanya saya suka heran ketika ada orang tua yang berusia empatpuluhan atau lebih tapi masih suka menyebar provokasi, suka menyebar hoaks, bahkan suka memancing keributan. Mereka ini tidak sadar, atau memang betah berpikir seperti anak-anak?

Memang tidak ada aturan yang mengharuskan orang berusia empatpuluhan menjadi lebih baik dari mereka yang jauh lebih muda. Tapi, kalau bisa kenapa tidak? Toh manusia semakin tua seharusnya semakin bijak dan semakin baik bukan? Setidaknya itu buat saya. Entah buat mas Anang. [dG]