Ditulis Berapa di Nota?


Nota kosong sudah jadi praktik yang lazim di banyak tempat. Sebuah pelanggaran kecil yang seringkali jadi pemakluman.


Sore sudah mulai turun, saya sudah bersiap-siap untuk meninggalkan kota itu. Sebuah kota di sebuah kabupaten sebelah utara kota Makassar. Bis yang akan menuju Makassar berangkat sekira pukul tujuh malam, jadi sebelum magrib datang saya harus check out dari penginapan dan menuju ke titik penjemputan bis. Penginapan itu cukup bagus, mungkin yang terbaik di kota itu. Letaknya di seberang pasar utama, meski untuk sampai ke penginapan itu kita harus meniti jalan setapak yang menanjak.

Seorang pria muda menyambut saya di bagian respsionis. Dia juga pemuda yang sama yang menerima saya dua hari lalu.

“Mau check out. Tolong dihitung, sekalian sama notanya,” kata saya.

Pemuda itu bergerak cekatan, mengambil sebuah nota dari laci meja resepsionis, mengambil sebuah pulpen, membuka halaman buku nota mencari bagian yang kosong, lalu menatap saya dan bertanya, “Mau ditulis berapa pak di nota?”

Terus terang saya agak kaget juga ditanya seperti itu. Tidak menyangka, lebih tepatnya.

“Ya tulis sesuai harganya saja. Memangnya mau ditulis berapa?” Tanya saya. Jujur, saya agak tersinggung juga ditanya seperti itu.

“Oh oke pak. Soalnya biasanya ada yang suka minta ditambah di notanya,” kata pemuda itu sambil nyengir.

Saya hanya diam sambil menggeleng pelan.

Hal yang seperti itu sepertinya sudah bukan rahasia lagi. Banyak orang yang menginap di hotel atau penginapan karena tugas dari kantor, ketika check out meminta harga berbeda di nota. Tujuannya apalagi kalau bukan selisih harganya masuk kantong pribadi.

Suatu hari kami (saya dan teman-teman setim) juga pernah ditawari harga berbeda di nota. Ketika itu kami akan check out dari sebuah hotel di Wamena, Papua. Di meja resepsionis, pria penjaga hotel menyiapkan nota dan bertanya, “Mau ditulis berapa di nota?”

Supervisor saya langsung bereaksi. “Heh! Tulis apa adanya saja. Ini ada bos kami loh,”

Dan memang waktu itu kami berangkat bersama salah satu bos di project kami. Si mas akhirnya cuma nyengir.  Pertanyaan seperti itu mungkin sudah jadi SOP setiap kali ada tamu yang akan check out.

Di sebuah penginapan di Paniai yang jadi langganan kami, di dindingnya terpampang tulisan “Tidak Menerima Permintaan Nota Kosong”. Saya pernah iseng bertanya ke ibu si penjaga penginapan, berlagak bego.

“Bu, itu maksudnya apa?” Tanya saya.

“Itu mas, biasanya suka ada yang datang minta nota kosong. Gak nginap di sini, tapi minta nota di sini,” jawabnya.

Modus ini pertama saya tahu pas di Lombok. Saat itu saya menggunakan jasa supir di bandara menuju hotel di Mataram. Sepanjang perjalanan kami bercerita banyak hal. Si supir bercerita banyak soal pengalamannya mengantar beberapa tamu dari luar Lombok, termasuk beberapa yang datang untuk studi banding. Kelakuan mereka kadang ajaib, kata si pak supir. Ada yang jatah kunjungan kerjanya tiga hari, tapi hari kerjanya cuma sehari sisanya untuk jalan-jalan, ada yang membawa “penumpang gelap” yang tidak ada hubungannya dengan pekerjaan mereka, dan yang paling ajaib buat saya adalah ketika dia bercerita ada yang meminta nota kosong dari sebuah hotel. Seolah-olah mereka menginap di hotel itu padahal tidak.

Saya baru mendengar modus operandi itu, dan terus terang kaget juga kalau ternyata memang ada yang seperti itu.

Seorang petugas hotel yang pernah saya tanya akhirnya membenarkan cerita itu. Meski dia mengaku belum pernah memberikan nota kosong, tapi dia mengakui kalau dia juga sering memberikan harga berbeda di nota pada kostumernya.

“Harganya kita naikkan sedikit,” katanya. Menurut dia, cara itu sangat familiar di kalangan pelaku hotel di kotanya, atau bahkan mungkin di Indonesia. Soalnya, kalau hotel tidak melakukan cara seperti itu mereka akan kesulitan mendapatkan kostumer yang biasanya adalah dari perusahaan swasta atau instansi pemerintah. Tanpa ada embel-embel boleh menuliskan harga berbeda di nota, biasanya pemegang keputusan memilih hotel tidak akan memilih mereka dan lebih memilih hotel lain yang lebih berani menawarkan “layanan lebih”.

Tapi hal tersebut pasti tidak berlaku untuk hotel yang sudah besar dengan nama yang sangat kuat. Minimal tidak main recehan seperti itu. Mungkin mereka punya skenario sendiri untuk memberi tawaran menarik agar hotelnya terpilih jadi tempat pelaksanaan acara, bukan dengan cara menaikkan harga di nota. Entahlah.

*****

Hal-hal seperti di atas memang akhirnya jadi semacam lingkaran setan. Pelaku bisa meminta nota kosong atau mark up harga di nota karena hotel membolehkan. Hotel melakukan itu karena ada yang minta, dan kalau tidak dituruti bisa memengaruhi pendapatan mereka. Entah yang mana yang harus dipangkas duluan. Hotelnya dulu, atau pelakunya dulu.

Saya tidak menuduh pelakunya dari golongan tertentu, karena sebenarnya kegiatan yang menurut saya korupsi kecil-kecilan itu dilakukan oleh semua golongan yang memang punya niat dan kesempatan. Tidak penting dia datang dari kantor mana atau instansi mana, yang penting ada niat dan kesempatan ya mereka akan melakukannya.

Sepanjang praktik kecil-kecilan seperti ini masih ada dan dianggap biasa, maka tentu saja perang melawan korupsi tidak akan pernah berhasil. Kita selalu fokus pada korupsi besar, tapi merasa biasa saja pada korupsi kecil-kecilan. Padahal, semua yang besar itu awalnya kecil. Hanya karena sering dielus, maka dia akan menjadi besar. Bukan begitu? [dG]