Bajaj Bajuri, Jejak Komedi di Layar Kaca Kita
Mengenang salah satu komedi situasi (komsit) yang pernah jaya di televisi Indonesia, sekaligus meninggalkan jejak yang akan selalu dikenang.
Beberapa hari ini saya sedang keranjingan menonton episode-episode lama dari serial Bajaj Bajuri di YouTube. Saya lupa bagaimana awalnya sampai tiba-tiba saja saya sudah memutar satu demi satu episode komsit itu. Bajaj Bajuri disebut sebagai salah satu sinetron komedi terlaris dan terbaik yang pernah ada di layar televisi kita. Tayang pertama sejak tahun 2002, Bajaj Bajuri bertahan sampai 2007 dengan total 1291 episode. Itu bila Bajaj Bajuri digabungkan dengan tiga edisi lain dari sinetron yang sama, yaitu: Bajaj Baru Bajuri, Edisi Salon Oneng, dan Bajaj Bajuri Narik Lagi.
Bajaj Bajuri mengisahkan kehidupan masyakarat kelas bawah di pinggiran ibu kota Jakarta, sepertinya di sekitar Pasar Minggu. Cerita berkutat di kehidupan tiga tokoh utamanya yaitu, Bajuri (diperankan Mat Solar), Oneng (diperankan Rieke Dyah Pitaloka), dan Emak (diperankan Nani Wijaya).
Bajuri hanya seorang supir bajaj yang berhati baik dan jujur. Dia hidup sederhana dengan pendapatan dari menarik bajaj yang tidak tentu. Istrinya, Oneng adalah seorang perempuan polos yang juga baik hati dan jujur dengan bonus kelambatan berpikir. Berdua mereka hidup di bawah “jajahan” emak Oneng yang digambarkan sebagai perempuan cerdik, culas, dan mata duitan. Jangan coba-coba bicara soal uang dengan Emak karena dia selalu punya cara untuk menguasai uang milik orang lain.
Mereka bertiga sebagai orbit utama, lalu di sekitarnya ada duo pengangguran, Ucup (Fanny Fadillah) yang selalu berkaos bola dan akrab dengan kesialan serta Said (Saleh Ali), keturunan Arab yang punya 1001 paman. Mereka berdua juga selalu menjadi memberi warna dan cerita kalau bukan kekacauan dalam kehidupan di lingkungan tersebut.
Lalu ada juga Mpok Minah (Leslie Sulistiowati), janda beranak satu yang penakut dan paling bullyable. Terkenal dengan ucapan maafnya, sampai-sampai Ucup pernah bilang; Mpok Minah kalau tenggelam bukannya minta tolong malah minta maaf. Kemudian ada pasangan Mpok Hindun (Tuti Hestuti) wanita paruh baya yang ganjen dan seperti tidak pernah bisa melihat laki-laki lain tenang. Sifatnya sama persis dengan sang suami, Pak Yanto (Alm. Darsono) supir truk yang juga tidak pernah bisa tenang melihat perempuan cantik. Klop betul mereka berdua.
Selain tokoh-tokoh itu ada juga tokoh pendukung seperti Pak RT yang culas dan berbakat menjadi koruptur kelas kakap, Mpok Leha janda pemilik warung tempat Ucup selalu mengutang, lalu beberapa perempuan muda yang sering nongkrong di salon Oneng seperti Nurmala, Intan, dan Mila. Belakangan muncul lagi tokoh-tokoh lain seperti Saleh (anak angkat pasangan Oneng dan Bajuri), Nyak Ipah (ibu Bajuri), Bang Yadi (teman pak Yanto yang akhirnya tinggal di kontrakan Ucup), serta Parti (wanita Jawa yang jadi pembantu Mpok Hindun dan kelak menikah dengan Ucup).
Tokoh-tokoh itu punya perannya masing-masing dalam menciptakan sebuah cerita yang kadang menggelikan dan menggelitik urat tawa kita. Cerita yang sebenarnya sederhana tapi berbobot. Cerita yang mengangkat keseharian dan kehidupan masyarakat bawah, lengkap dengan persoalan hidup, kesulitan ekonomi sampai asmara yang berbunga-bunga.
*****
Selepas Bajaj Bajuri saya tidak pernah lagi menemukan komsit di stasiun televisi lokal kita yang benar-benar memikat. Beberapa komsit yang hadir belakangan memang ada yang menurut saya lumayan seperti Tetangga Masa Gitu dan The East di Net TV. Tapi keduanya menurut saya hanya sampai pada tahap lumayan dan tidak benar-benar memukau seperti yang dilakukan oleh Bajaj Bajuri. Buktinya, kedua komsit itu tidak bertahan lama di televisi. Entah karena memang kemasannya yang kurang menarik lagi atau memang tantangan zaman sekarang yang sudah berubah.
Saya penggemar komsit, dari zaman The Cosby Show, Full House, sampai yang paling saya gemari Friends. Saya menyukai bagaimana kehidupan sehari-hari dengan latar lingkungan tertentu dihadirkan dengan bumbu komedi. Sama seperti yang dihadirkan oleh Bajaj Bajuri. Kelebihannya karena Bajaj Bajuri mengangkat kehidupan yang sangat umum dan mudah ditemui. Kehidupan warga kota besar di pinggiran.
Kata anak sekarang, kehidupan yang diangkat di Bajaj Bajuri can relate dengan apa yang ditemui banyak orang di kota besar di Indonesia. Bajaj Bajuri tidak memberikan mimpi a la rumah mewah dan mobil Eropa, atau mimpi seorang office girl yang bertemu dan jatuh cinta dengan seorang bos. Bajaj Bajuri memberikan kenyataan susahnya sekadar mencari alasan untuk mengutang di warung atau penjual sayur, tentang tetangga yang culas dan selalu punya alasan untuk meminjam uang atau barang lalu hilang ingatan untuk mengembalikannya. Tentang persaingan antar tetangga, atau tentang rasa cinta yang harus dipendam karena gengsi.
Menonton Bajaj Bajuri seperti menonton kehidupan biasa yang jauh dari mimpi-mimpi muluk yang melenakan. Menonton Bajaj Bajuri seperti mengajak kita sama-sama tertawa, menertawakan beratnya kehidupan kelas bawah kota besar. Saat tidak ada lagi yang bisa dilakukan untuk melepaskan keresahan, maka tertawa adalah jalan terakhir. Tentu sambil berharap ada keajaiban yang bisa membantu kita lepas dari utang.
Saya tidak tahu apakah format seperti Bajaj Bajuri masih akan relevan dan bisa laku bila dibuat di zaman sekarang. Zaman ketika kesuksesan dan hidup senang menjadi sangat perlu dipamerkan di media sosial. Zaman ketika memaki orang di media sosial adalah bagian dari passion, dan menemukan perbedaan alih-alih persamaan adalah sebuah kenikmatan.
Bagaimanapun juga, Bajaj Bajuri pantas dikenang sebagai salah satu jejak komedi berbobot di layar kaca kita. Komedi yang pernah menemani banyak orang menertawakan susahnya kehidupan. Mungkin tidak akan ada lagi yang seperti Bajaj Bajuri di layar televisi kita, apalagi ketika pilihan hiburan semakin banyak.
Kudos untuk semua yang pernah bekerjasama membuat Bajaj Bajuri meninggalkan jejak di pertelevisian kita. Dan semoga Mat Solar bisa terus bertahan di tengah kondisi sakit struknya yang sempat memburuk. [dG]
Maaf, Mpok Minah :))