Menjaga Cagar Budaya, Menjaga Warisan Sejarah
Cagar budaya sepintas hanya terlihat sebagai peninggalan masa lalu yang kadang dianggap tidak penting. Namun, di balik peninggalan itu ada perjalanan panjang penuh arti.
“Benteng ini dibangun raja Gowa ke VIII Tumapa’risika Kallongna sekitar tahun 1545. Termasuk satu dari 11 benteng kerajaan Gowa-Tallo waktu itu,” kata saya dengan gaya yang berusaha saya buat semirip mungkin dengan pemandu wisata. Serius dan meyakinkan. Herannya, beberapa orang yang ada di depan saya malah tersenyum simpul. Beberapa bahkan seperti menahan tawa. Saya menangkap rasa tidak percaya di wajah mereka.
“Eh, ini Daeng serius?” Akhirnya salah seorang dari mereka bertanya.
“Lah? Ya seriuslah,” Jawab saya.
Akhirnya tawa pecah, mereka sebagian besar tertawa. “Maaf Daeng, saya kira tadi Daeng cuma bercanda seolah-olah pemandu wisata,” kata salah seorang dari mereka.
Hari itu kebetulan saya memang menemani beberapa teman-teman peserta Blogger Nusantara 2012 yang diadakan di Makassar. Hari terakhir ada beberapa jam yang kosong dan panitia kemudian menjadwalkan kunjungan ke beberapa tempat ikonik kota Makassar. Salah satunya adalah Benteng Rotterdam atau Fort Rotterdam. Di sanalah saya kemudian mencoba memberi penjelasan kepada para peserta, penjelasan yang dikira candaan. Mungkin memang wajah saya kurang meyakinkan ya sebagai seseorang yang tahu sedikit sejarah kota Makassar?
Benteng Rotterdam adalah salah satu benteng milik kerajaan Gowa-Tallo, kerajaan yang dulu begitu besar dan benderang dari jazirah Sulawesi. Kebesaran Gowa-Tallo sampai terdengar jauh melintas samudra. Para pedagang dari Eropa dan Asia ramai melintasi selat Makassar, berlabuh di ibukota kerajaan Gowa-Tallo. Beberapa dari negara itu bahkan membangun perwakilan dagang di dalam kawasan Benteng Somba Opu yang jadi pusat kerajaan kala itu.
Kejayaan ini menarik minat bangsa Belanda yang tamak. Mereka berusaha memonopoli jalur dagang dan dengan demikian harus menaklukkan kerajaan Gowa-Tallo yang menolak menyerah begitu saja. Perang pun pecah selama berpuluh-puluh tahun hingga akhirnya 18 November 1667 kerajaan Gowa-Tallo takluk di tangan VOC. Perjanjian Bongayya menandai keruntuhan Gowa-Tallo. Tunduk pada kuasa VOC di bawah perintah Cornelis Spellman.
Benteng-benteng yang membentang dari utara sampai selatan dihancurkan sebagai bagian dari Perjanjian Bongayya. Tersisa dua benteng, Benteng Jumpandang dan Benteng Somba Opu sang ibukota kerajaan. Benteng Jumpandang diambil oleh VOC, dirubuhkan lalu dibangun ulang dan diberi nama Fort Rotterdam sesuai nama kota kelahiran Cornelis Spellman. Benteng Somba Opu yang mulai sepi ditinggalkan para pedagang kemudian benar-benar sepi ketika Sultan Hasanuddin memerintahkan memindahkan pusat ibukota kerajaan. Somba Opu terlupakan sampai kemudian hilang ditelan lumpur, tanah dan semak belukar. Kelak dia baru ditemukan kembali beratus tahun kemudian.
Di sisi lain, Benteng Jumpandang yang telah berubah nama terus bersolek. Menjadi semakin ramai dan menjadi pusat pemerintahan kolonial yang baru. Benteng ini juga jadi titik tolak berkembangnya kota baru yang kelak dikenal sebagai kota Makassar, kota paling moderen di Indonesia bagian timur. Benteng itu melewati beragam zaman dan ratusan bilangan tahun. Menjadi saksi kuasa orang-orang kulit putih, menjadi saksi penahanan Pangeran Diponegoro sang raja Jawa, menjadi saksi perjuangan orang-orang Indonesia, menjadi saksi datangnya tentara Jepang, dan bahkan menjadi saksi tumbuhnya kota moderen di sekelilingnya.
Tahun 1950 benteng ini kemudian secara resmi diserahkan kepada pemerintah Indonesia setelah digunakan oleh tentara KNIL. Dan sejak tahun 2010 Benteng Rotterdam ditetapkan sebagai Benda Cagar Budaya oleh Kementerian Pariwisata dan Kebudayaan lewat surat bernomor: PM/59/PW.007/MKP/2010. Empat tahun kemudian, Benteng Rotterdam ditetapkan sebagai Situs Cagar Budaya Nasional lewat keputusan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan bernomor 025/M/2014. Lengkaplah sudah aturan yang melindungi benteng agar tetap berdiri sebagai peninggalan sejarah masa lalu.
Tidak Semua Seberuntung Benteng Rotterdam
Benteng Rotterdam beruntung, menjadi saksi buta sejarah bangsa ini dan tetap mendapat perhatian. Dirawat, dijadikan tempat belajar dan tetap berdiri kokoh di satu titik kota Makassar. Dia bahkan mendapat pengakuan dan perlindungan secara hukum.
Tapi tidak semua seberuntung Benteng Rotterdam. Salah satunya adalah Benteng Somba Opu, kakak kandungnya yang dulu sama-sama menjadi salah satu benteng milik kerajaan Gowa-Tallo. Benteng Somba Opu bahkan menjadi pusat ibukota kerajaan, lebih besar dan megah. Pada zamannya. Sebelum negara api bernama VOC menyerang dan berhasil memang.
Benteng Somba Opu terlupakan, hilang ditelan zaman sebelum ditemukan kembali sekitar tahun 1980an. Penemuan kembali itu sempat membuat Benteng Somba Opu seolah-olah hidup kembali. Gubernur Sulawesi Selatan kala itu yang juga seorang akademisi, Prof. Ahmad Amiruddin memerintahkan revitalisasi Benteng Somba Opu. Beliau memerintahkan membangun kawasan Benteng Somba Opu sebagai “Taman Mini Sulawesi Selatan”. Rumah-rumah adat dibangun di kawasan ini, melambangkan beragam suku dan budaya yang ada di Sulawesi Selatan. Setiap tahun pesta budaya digelar, begitu juga dengan pameran pembangunan Sulawesi Selatan. Orang-orang berbondong-bondong ke Benteng Somba Opu. Menikmati ragam budaya Sulawesi Selatan, mempelajari kisah dan sejarah provinsi ini, mencecap beragam informasi dan tentu saja memperkaya wawasan. Masa itu bisa dibilang sebagai masa keemasan kedua Benteng Somba Opu.
Saya beruntung menikmati masa itu. Saya ingat betul betapa menyenangkannya berkeliling kawasan Benteng Somba Opu, mengenali budaya Sulawesi Selatan dari beragam rumah adat ada yang ada. Sesekali melihat bermacam-macam tarian, lagu atau upacara adat yang ditampilkan dalam pesta budaya.
Tapi beda orang beda prioritas.
Gubernur berganti, kebijakan juga berganti. Benteng Somba Opu tidak lagi menjadi prioritas gubernur berikutnya. Bahkan gubernur Syahrul Yasin Limpo mengeluarkan izin kepada salah satu pengembang kawasan wisata air untuk membangun wisata air dalam kawasan benteng. Keputusan yang ditentang oleh para arkeolog dan pecinta sejarah. Mana mungkin benteng peninggalan sejarah seperti itu dirusak oleh bangunan moderen?
“Supaya orang tidak lupa sama benteng tersebut, dan benteng itu bisa ramai lagi dikunjungi orang” begitu alasan pemerintah provinsi Sulawesi Selatan waktu itu.
Alasan yang terus digaungkan meski penolakan juga tetap kencang. Pada akhirnya lokasi wisata air itu berdiri juga di luar kawasan benteng, tapi alasan supaya benteng itu ramai dikunjungi orang tetap jadi alasan. Hanya pemanis. Bertahun-tahun kemudian, benteng itu tetap kesepian dan nyaris tidak terurus. Terlupakan.
Benteng Somba Opu tidak seberuntung Benteng Rotterdam.
Menjaga Cagar Budaya, Tidak Bisa Sendirian.
Benteng Somba Opu hanya satu dari sekian banyak bangunan cagar budaya di Sulawesi Selatan. Nasibnya memang tidak seberuntung Benteng Rotterdam misalnya yang sampai saat ini masih sangat terawat dan ramai dikunjungi. Beberapa bangunan cagar budaya lain di dalam kota Makassar juga masih sangat terawat, sebagian digunakan sebagai bangunan perkantoran sebagian lagi tetap menjalankan fungsinya sebagai tempat ibadah.
Menurut UU no. 11 tahun 2010, cagar budaya adalah warisan budaya bersifat kebendaan berupa Benda Cagar Budaya, Bangunan Cagar Budaya, Struktur Cagar Budaya, Situs Cagar Budaya, dan Kawasan Cagar Budaya di darat dan/atau di air yang perlu dilestarikan keberadaannya karena memiliki nilai penting bagi sejarah, ilmu pengetahuan, pendidikan, agama, dan atau kebudayaan melalui proses penetapan.[1]
Dalam sistem registrasi cagar budaya nasional, sampai 16 November 2019 sudah ada 96.338 objek yang terdaftar. 48.992 sudah terverifikasi, 1.619 rekomendasi cagar budaya, dan 1.512 cagar budaya. Jumlah ini tentu akan terus bertambah karena di Indonesia ada begitu banyak peninggalan sejarah yang belum dieksplor.[2]
Beberapa orang mungkin bertanya-tanya, untuk apa sih bangunan tua atau peninggalan zaman old itu dipertahankan? Bukannya itu tidak kekinian? Ketinggalan zaman dan tidak menarik untuk kehidupan zaman now?
Kalau lihat penampakannya memang itu ada benarnya. Mall yang dibangun dengan arsitektur moderen dan lengkap dengan semua fasilitas moderen itu terlihat lebih mentereng dibanding bangunan tua yang arsitekturnya datang dari masa ketika kakek buyut kita bahkan belum disunat. Tua dan kalau tidak terawat kesannya malah kumuh dan creepy. Cocok untuk syuting acara-acara mistis di televisi.
Itu kalau melihat dari penampakan saja, apalagi kalau bangunan tua atau cagar budaya yang kita lihat itu adalah yang tidak terawat.
Tapi di balik semua penampakan yang terkesan tua itu sesungguhnya tersimpan banyak cerita dan pengetahuan. Kita tidak bisa seperti sekarang ini kalau tidak ada masa lalu kan? Ada sejarah panjang yang membentuk kita dan lingkungan kita seperti yang sekarang ini. Perjalanan sejarah yang bisa kita jadikan cermin untuk menggali dan menjaga karakter asli kita. Perjalanan sejarah yang bisa kita jadikan pelajaran supaya apa? Supaya kita bisa belajar dari kesalahan masa lalu dan tidak mengulanginya lagi.
Tapi, menjaga cagar budaya memang tidak mudah. Dari data yang dikumpulkan Lokadata Beritagar.id sampai bulan November 2018, ada 17,2 persen cagar budaya yang tidak terawat. Sebagian besar sudah berada dalam keadaan lapuk, rapuh, roboh, atau bahkan hilang sebagian. 52,5 persen lainnya masih terawat meski beberapa di antaranya sudah tidak utuh.[3]
Penyebab terbesar dari kurang terawatnya cagar budaya ini adalah soal dana, petugas dan infrastruktur. Menyusul kemudian persoalan dasar hukum. Masih banyak cagar budaya yang tidak memiliki dasar hukum yang jelas, beberapa di antaranya bahkan kepemilikannya belum jelas. Apakah menjadi milik warga atau milik pemerintah? Ketidakjelasan dasar hukum ini makin mempersulit posisi cagar budaya tersebut sehingga menjadikannya tidak terawat dan mungkin tidak lama lagi akan punah.
Sejatinya, persoalan menjaga dan merawat cagar budaya ini bukan semata-mata kerja pemerintah daerah atau provinsi saja tapi tanggung jawab semua pihak. Swasta, masyarakat, komunitas, siapapun itu. Semua punya tanggung jawab yang sama dengan porsi berbeda-beda untuk menjaga dan merawat cagar budaya. Bahkan menurutArkeolog Universitas Gadjah Mada, Daud Tanudirjo masyarakat punya konsep pelestarian sendiri yang disebutnya sebagai ethnoconservation. Kemudian menjadi penting untuk melibatkan mereka dalam upaya pelestarian cagar budaya ini. Toh mereka sudah punya konsep sendiri, tinggal dikawinkan dengan konsep yang lebih ilmiah dengan dukungan regulasi dari pemerintah.
Di Makassar sendiri ada beberapa komunitas yang punya kepedulian pada warisan sejarah. Ada komunitas yang memang fokus pada sejarah, dan ada juga komunitas jalan-jalan yang punya kepedulian pada tempat bersejarah termasuk beberapa cagar budaya di kota ini. Mereka sangat bisa dilibatkan untuk menjaga atau minimal meningkatkan kepedulian pada cagar budaya. Mereka yang didominasi anak-anak muda itu tentu punya energi besar untuk menyebarkan pesan-pesan kepedulian pada aset sejarah bernama cagar budaya itu.
Dengan pengelolaan yang bagus, cagar budaya tidak hanya menjadi peninggalan sejarah yang digunakan untuk bercermin dan mempelajari sejarah, tapi bisa juga menjadi sarana mendukung pertumbuhan ekonomi sebuah kawasan. Sudah banyak contohnya, bagaimana konservasi cagar budaya bisa juga dijadikan kawasan wisata yang memberi untung untuk warga sekitar.
Merawat cagar budaya berarti merawat peradaban. Merawat aset budaya bangsa. Sesuatu yang tak tergantikan bahkan dengan uang seberapapun banyaknya. Makanya, penting sekali untuk menjaga aset itu. Rawat atau musnah. Jangan sampai anak-cucu kita besar dengan kegamangan mencari akar budayanya dan justru harus membentuk budaya sendiri yang tidak berakar jauh ke dalam.
Sebagai pecinta sejarah, saya selalu memiliki hasrat untuk melihat peninggalan budaya masa lampau seperti cagar budaya yang ada sekarang. Karena itu, perih sekali rasanya ketika mengingat kembali bagaimana Benteng Somba Opu yang masih tetap terpinggirkan, bahkan kalah ramai dari wahana air yang akhirnya dibangun tidak jauh dari gerbangnya. Ada rencana untuk merevitalisasi benteng itu, rencana yang mudah-mudahan saja terlaksana dengan baik.
Karena cagar budaya memang seharusnya dirawat, bukan dibiarkan punah. [dG]
Keterangan: tulisan ini disertakan dalam kompetisi “Blog Cagar Budaya Indonesia: Rawat atau Musnah!” Masih ada kesempatan untuk ikut serta hingga 20 November 2019.
[1] https://id.wikipedia.org/wiki/Cagar_budaya
2] https://cagarbudaya.kemdikbud.go.id/
[3] https://beritagar.id/artikel/berita/merawat-cagar-budaya-mencatat-peradaban
Ada benturan kepentingan dengan usaha pelestarian cagar budaya. Menyedihkan jika pemerintah bukan di pihak yang ingin melestarikan.
Semoga menang, Daeng
itu dia, ini tantangan berat untuk kita di Sulsel karena kita sangat dinamis pada perubahan
jadi semua yang moderen diterima dengan tangan terbuka, kadang-2 sampai mengorbankan sejarah
Suka sedih ketika mendapati aset cagar budaya terkalahkan oleh kepentingan modernisasi.. Dibongkar lalu diganti bangunan baru yang berdiri angkuh…
begitulah kang
susah kalau dapat pemerintah daerah yang tidak paham pentingnya sejarah
Di banyak tempat kasus terbengkalainya situs warisan kita sudah menjadi cerita umum. Terkadang malah benar-benar diabaikan. Ketika ada yang rusak atau hilang, baru melejit beritanya, lantas menguap.
Menjaga warisan seperti ini memang tidak bisa datu pihak. Semuanya harus saling bergandengan tangan. Harapannya situs-situs yang masih terabaikan itu bisa kembali diperhatikan sehingga tidak menghilang begitu saja.
Bener banget, gak bisa kita hanya berharap pada satu pihak saja
menjaga cagar budaya adalah tugas bersama pastinya
Kapanlah aku bisa diguide sama daeng di Makassar wkwkwk..
Duh infografis yang kamu bikin the best deh.
hahaah thank you Koh
kuy lah ke Makassar, saya ajak jalan2