Mencicipi Wanginya Kopi Papua
Papua sebenarnya punya banyak potensi kopi yang menjanjikan. Sayangnya, sampai hari ini potensi itu belum dimaksimalkan.
Aroma wangi kopi menguar di mana-mana. Aroma yang selalu membuat saya merasa rileks. Beberapa pria dengan kaos hitam bertuliskan tema-tema kopi berlalu lalang. Saya tahu mereka adalah coffee snob, sebutan untuk orang-orang yang menyukai kopi lebih dari sekadar suka atau cinta. Kopi adalah hidup mereka dan entah kenapa mereka sangat mudah dikenali dengan dandanan seperti itu. Mungkin semacam dress code dalam komunitas mereka? Entahlah.
Mereka berbaur dengan puluhan orang lain di antara stan-stan yang dijajar rapi di halaman parkir kantor Bank Indonesia di Jayapura. Mereka ini adalah peserta dan pengunjung pada acara Festival Kopi Papua yang digelar dari tanggal 21 sampai 23 November 2019. Tahun lalu acara ini digelar di bulan Agustus, di tempat yang sama.
Sederhananya acara ini bermaksud memamerkan beragam potensi kopi di Papua, mempertemukan para petani kopi, pengusaha kopi, peracik kopi, dan para pecinta atau sekadar penikmat kopi. Semacam playground lah untuk mereka yang suka kopi. Panitia juga menghadirkan beberapa “orang pusat”, dari Jakarta yang – sepertinya – sudah terkenal di dunia perkopian Nusantara. Saya terus terang tidak terlalu mengenal mereka karena toh saya hanya sekadar penikmat kopi saja. Belum sampai pada tahap snob.
Saya memang sudah merencanakan untuk datang berkunjung ke Festival Kopi Papua di hari Sabtu, atau hari terakhir gelaran acara itu. Karena saya malas dengan keramaian, maka saya memastikan untuk datang sebelum sore hari. Saya sudah membayangkan akan betapa ramainya acara itu di Sabtu malam, tepat di acara penutupan.
Saya datang ketika matahari sedang tertutup awan mendung, tapi tetap saja terasa panas menyengat. Ini Jayapura Bung! Panasnya kadang tidak santai. Semua stan yang ada di dalam lokasi acara sudah terbuka meski belum semuanya ramai. Sebagian besar stan diisi oleh pengusaha kopi dari beberapa daerah di Papua. Ada yang dari Sentani, Serui, Wamena, Tolikara, Nabire, Merauke sampai tentu saja dari Jayapura sendiri. Ada juga beberapa petani binaan Bank Indonesia dari daerah pegunungan seperti Wamena dan Tolikara.
Saya mampir di stan Corner 27, salah satu kafe dari Nabire. Saya kenal dengan kafe ini karena sudah beberapa kali mampir ketika sedang berada di Nabire. Sayangnya, Adi sang pemilik tidak ikut ke Jayapura. Hanya ada beberapa orang anggotanya saja. Saya memesan segelas americano dari biji kopi Moenamani yang oleh mereka diberi label Kopi Kasuari. Kopi ini ditanam di ketinggian antara 1.200-1.400 mdpl di wilayah Mapia, Kabupaten Dogiyai sekitar 150an km sebelah timur kota Nabire. Saya sudah beberapa kali melewati daerah itu dalam perjalanan Nabire-Paniai, tapi belum pernah melihat langsung kebun kopinya.
Segelas arabica yang saya sesap rasanya agak pahit, mungkin karena roastingnya agak dark. Keasamannya kurang terasa dengan tingkat body yang terasa cukup kuat. After taste-nya juga cukup terasa, meninggalkan rasa pekat di lidah. Lumayan enak, menurut saya.
Sambil menyesap kopi saya berbincang-bincang dengan salah seorang penjaga stan Corner 27 yang saya tidak tanya namanya siapa. Dia anak Makassar yang tinggal di Nabire dan cukup aktif di komunitas kopi di Nabire. Kami berbagi cerita tentang perkembangan kopi di Nabire dan Makassar. Dia juga mengenal beberapa nama pegiat kopi di Makassar yang juga saya kenal.
Potensi Kopi Papua yang Masih Tidur
Lepas dari Corner 27 saya bergeser ke stan lain. Berjalan pelan melihat satu per satu stan yang ada sebelum berhenti di sebuah stan. Saya tertarik dengan beberapa jenis kopi yang dijajakan, plus para penjaganya yang semua orang asli Papua. Dari mereka saya baru tahu kalau di Serui, Kepulauan Yapen juga ada kopi. Mereka mengemasnya dengan nama Ambaidiru Coffee. Kopi robusta yang kata mereka ditanam di ketinggian 800 mdpl di daerah pegunungan Serui. Menarik, karena selama ini saya selalu mengasosiasikan Serui dengan pantai dan laut. Saya baru tahu kalau ada dataran tinggi juga di sana.
Saya membeli robusta Ambaidiru Coffee yang digiling setengah kasar. Sepertinya ini cocok untuk vietnam drip, batin saya. Dan saya benar, keesokan harinya saya coba menyajikannya dengan teknik vietnam drip dan rasanya memang wow. Pas sekali. Perpaduan pahitnya robusta dengan susu kental manis menghadirkan rasa bodi yang kuat. Pas untuk membuka hari.
Saya juga membawa pulang 100 gr arabica dari Yahukimo yang dijajakan di stan yang sama. Tapi saya belum mencobanya. Dari aromanya sih sepertinya lezat, wanginya kuat dengan aroma sedikit cokelat.
Dari stan itu saya beranjak ke stan lainnya. Kali ini saya berhenti di KINDS Roastery, stan yang dijaga pasangan suami istri paruh baya Noy dan Niken. Mereka mengaku mengkhususkan diri sebagai roastery and brewing Papuans coffee. Ada beberapa biji kopi yang mereka sajikan, sebagian besarnya berasal dari daerah pegunungan tengah bagian timur Papua. Ada kopi dari wilayah sekitar Jayawijaya dan ada juga dari wilayah Pegunungan Bintang. Semuanya jenis arabica.
“Potensi kopi Papua ini besar sekali, tapi memang belum dimaksimalkan,” kata ibu Niken. Kami sempat berbincang sejenak dan saya setuju dengan perkataannya.
Papua punya tanah yang sangat subur dan daerah pegunungan yang sangat potensial untuk diolah menjadi kebun kopi. Terbukti dua tahun lalu kopi Tiom dari Lanny Jaya memenangkan lelang dengan harga Rp.5juta/kg. Itu baru satu daerah, masih banyak daerah lain di Papua yang bisa menjadi ladang tumbuhnya kopi.
“Apa karena budaya kopi di Papua tidak terlalu kuat?” Tanya saya. Saya membandingkannya dengan daerah lain di Indonesia termasuk Makassar, daerah di mana budaya ngopi begitu kuat. Budaya ngopi yang kuat ini tentu sangat membantu tumbuhnya ekosistem petani, pengusaha dan penikmat kopi.
“Bisa jadi,” jawab ibu Niken. Dia lalu bercerita dengan singkat bagaimana usaha mereka untuk menumbuhkan budaya ngopi di sekitar wilayahnya di Sentani. “Kami berusaha menjadikan kopi sebagai ganti miras,” katanya. Saya tidak tahu apakah itu sudah berhasil atau belum, saya tidak sampai sedalam itu bertanya.
Ibu Niken juga bercerita bagaimana dia dan suaminya membantu beberapa petani kopi di daerah pegunungan tengah bagian timur Papua. Para petani itu diberi pengetahuan menanam kopi, mengolah, bahkan sampai me-roasting. Beberapa petani menurut ibu Niken sudah cukup berhasil, bahkan sudah ada yang kopinya sampai menembus pasar di Jawa.
“Tapi dari lima yang diajar, biasanya hanya satu yang berhasil. Empat lainnya berhenti di tengah jalan,” ujarnya. Kopi memang butuh ketelatenan, apalagi mengingat karakter tanaman ini yang sangat manja. Salah penanganan sedikit saja, rasanya akan beda dan susah memenuhi standar rasa yang tinggi. Belum lagi kalau bicara soal proses yang panjang dari menanam, memetik, menjemur sampai jadi green bean yang berkualitas. Proses yang membutuhkan kesabaran dan ketelatenan.
Dari stan KINDS Roastery saya membawa pulang arabica Peneli dari Pegunungan Bintang. Karakternya ringan dengan tingkat keasaman yang tinggi. Sangat pas untuk membuat tubuh rileks. Malam harinya saya menyeduhnya dengan teknik french press dan dengan cepat saya bisa merasakan tubuh terasa lebih rileks dan mata mulai diserang rasa kantuk. Pas untuk menutup hari.
Saya tidak mengobrol lama dengan ibu Niken, dia juga sibuk menata stannya dan menjelang sore Festival Kopi Papua semakin ramai. Saya akhirnya pamit ketika jam sudah menujukkan pukul empat sore. Sudah ada tiga jenis kopi Papua di kantung belanjaan yang saya bawa. Tiga jenis dari entah berapa puluh jenis kopi yang ada di Papua. Sayangnya saya belum terlalu kaya untuk membeli semua jenis kopi yang ada di Festival Kopi Papua itu. Jadi, saya cukup membeli kopi yang menurut saya menarik saja. Sayang saya tidak bertemu dengan kopi Tiom yang terkenal itu.
Aroma kopi Papua memang belum terlalu menguar ke seluruh wilayah Indonesia. Masih kalah jauh dengan kopi-kopi dari Toraja, Aceh, atau wilayah di Jawa sana. Tapi selalu ada harapan, apalagi kalau melihat karakter alam Papua yang begitu menjanjikan. Semoga saja semakin banyak orang Papua yang tertarik menjadi petani kopi, dan semakin banyak orang yang mau menemani mereka, mengharumkan dunia dengan aroma wangi kopi Papua, membangunkan potensi kopi Papua yang sedang tertidur. [dG]
Aku pernah melihat ulasan pemuda yang dulu kuliah di Jawa dan sekarang dia menggeluti perkebunan kopi di daerahnya. Aku lupa persis lokasinya, kalau tidak salah di sekitaran Papua Barat (jika tidak salah). Tempatnya semacam perkebunan dan sekalian bisa untuk kegaiatan outbond ataupun field trip anak-anak agar mengenal kopi Papua.
wah anak mana ya dia?
emang harus lebih banyak lagi pecinta kopi Papua yang bisa membantu mengembangkan potensi kopi di Papua
semoga ya, papua bisa menebarkan wangi kopinya ke beragai daerah biar makin terkenal.. meski q bukan peminum kopi, tp suka banget dg aroma kopi
Wah keren banget ada acara yang memberdayakan kopi di Jayapura.
Semoga suatu saat nanti event begini bisa sampai di Jakarta dan di kota kota lainnya supaya kopi jayapura harumnya tercium keseluruh indonesia.