Forza Milan! Milan campione! Forza Milan il Milan ole.. Forza Milan! Vinci per noi! Forza Milan la Sud con te! Ale..ale…ale..ale… Forza Milan…ale..ale…
Ratusan orang berbaju merah hitam meneriakkan kalimat di atas, mereka berbaris dengan tertib di depan pintu masuk Gelora Bung Karno. Gerimis tidak menyurutkan semangat mereka. Nyanyian pemberi semangat terus berkumandang di minggu sore itu.
Saya bergabung dengan ratusan – dan kemudian ribuan- orang Milanisti. Berbaris rapih dan sedikit tidak sabaran untuk bisa masuk ke dalam stadion, menantikan sebuah laga amal yang mempertemukan para legenda AC Milan dengan para bintang sepakbola Indonesia.
Saya masih berseragam putih merah ketika menyaksikan lewat layar kaca kehebatan seorang Marco van Basten bersama dua kompatriot terbaiknya, Ruud Gullit dan Frank Rijkaard. Kala itu, trio dari Belanda ini menggulung Uni Sovyet 2-0 pada final Euro 1988. Itu momen pertama ketika saya jatuh cinta pada sepakbola.
Van Basten, Ruud Gullit dan Rijkaard adalah pintu dan AC Milan menjadi ruang tamunya. Selepas Euro 1988 saya resmi menjadi penggemar sepakbola dengan AC Milan sebagai klub pertama yang membuat saya jatuh cinta. Tentu karena ketiga orang Belanda itu.
Dan sebuah artikel di tabloid Bola pada gelaran Piala Dunia 1990 membuat saya jatuh cinta pada seorang pemain muda, bek kiri yang tenang dan dianggap pemain berbakat, Paolo Maldini. Cinta pada AC Milan makin tebal, apalagi selepas itu klub dari utara Italia ini makin gagah menguasai Eropa. Juara serie A, juara Champion Eropa hingga juara dunia antar klub. Masa remaja saya habiskan dengan penuh kebanggaan yang membuncah setiap kali AC Milan tampil.
Selama belasan tahun saya aktif bermain sepakbola dan memilih posisi sebagai pemain belakang, bek kiri sebelum bergeser menjadi bek tengah. Paolo Maldini selalu menjadi patokan. Saya selalu berusaha meniru gayanya yang tenang, lugas, cekatan dan tentu saja sliding tackle-nya yang selalu jadi ciri khas.
Cinta pertama tidak pernah mati, begitu kata orang. Saya harus mengangguk untuk membenarkannya. Puluhan tahun setelah jatuh cinta pada AC Milan, saya tetap mengaku mendukung mereka meski terus terang saya tidak terlalu mengikuti perkembangan mereka lagi setelah liga Italia kalah pamor dari liga Inggris dan bahkan liga Spanyol.
Meski resmi pensiun dari lapangan hijau, saya juga tetap menganggap Paolo Maldini sebagai pemain terbaik. Saya masih memakai namanya untuk semua kata kunci saya.
Dan Minggu tanggal 9 Februari kemarin, bersama ribuan Milanisti lainnya saya merasakan aura bahagia bisa melihat pemain pujaan saya itu bermain di depan mata. Hanya berjarak beberapa puluh meter. Dia masih tetap sama, tetap seorang pemimpin sejati di lapangan hijau yang selalu menganggap serius setiap pertandingan.
Sore itu saya merasakan kembali masa-masa di mana saya pertama kali jatuh cinta pada AC Milan dan pada seorang Paolo Maldini. Ada anak kecil yang masih tetap terperangkap dalam badan saya, dan sore itu dia keluar seperti hari ketika dia begitu bangganya memproklamirkan diri sebagai pecinta AC Milan.
Sore itu saya kembali menebalkan iman pada AC Milan. Iman yang sempat tergerus dan tak lagi setebal dulu. Sepulang dari GBK, saya merasa kembali seperti dulu. Bangga sebagai seorang Milanisti.
Forza Milan! Milan campione!
Video Milanisti menyanyikan chants AC Milan:
[dG]
ALE .. ALE .. ALE MILAN ALE … FORZA LOTTA VINCERAI NON TI LASCERAMO MAI!! ALE .. ALE .. ALE MILAN ALE…