Jangan jadi fotografer kalau tidak kuat mental
Benua Afrika sejak bertahun-tahun yang lalu selalu menjadi perhatian dunia. Afrika ibarat kuali yang panas, benua kaya yang selalu jadi rebutan orang-orang dari seberang. Jejak pertikaian itu terus tertanam, pertikaian yang bahkan selalu meminta korban jiwa bertahun-tahun setelah masa kolonialisme secara tersirat dikatakan berakhir.
Periode awal 1990an, dua kubu di Afrika Selatan saling membunuh satu sama lain. Hanya karena perbedaan pandangan politik mereka turun ke jalan, menghunus parang dan saling serang. Afrika Selatan ibarat kuali dengan suhu mendidih. Di sanalah kemudian beberapa jurnalis kulit putih mencari momen yang tepat membingkai perseteruan itu, mengabarkannya ke dunia serta tentu saja mengisi kantong mereka dengan uang.
Tersebutlah 3 orang jurnalis foto pada harian The Star, mereka adalah Kevin Carter, Ken Oosterbroek, dan Joao Silva ketiganya kemudian secara tidak resmi membentu sebuah klub yang mereka beri nama The Bang Bang Club. Nama yang secara tersirat menggambarkan kecanduan mereka pada situasi genting, situasi di mana desingan peluru, sabetan senjata tajam, luka menganga dan tangis kehilangan adalah makanan sehari-hari. Belakangan Greg Marinovich, seorang fotografer freelance kemudian bergabung dan menggenapkan anggota klub ini menjadi 4 orang.
Di antara keempatnya, Greg bisa dibilang yang paling nekat. Nyaris tanpa perhitangan sama sekali, dia kadang menjatuhkan dirinya ke dalam medan perang yang sesungguhnya, hanya berjarak beberapa meter dari maut. Kenekatan itu pula yang kemudian diganjar dengan Pulitzer Prize – hadiah paling bergengsi untuk para jurnalis – pada tahun 1990 untuk sebuah karya fotonya yang fenomenal.
3 tahun kemudian giliran Kevin Carter yang meraih penghargaan Pulitzer. Foto yang dramatis tentang seorang anak perempuan pengungsi Sudan yang kelaparan dan diintai seekor burung bangkai menjadi buah bibir di mana-mana. Kejadian di balik foto ini menjadi perdebatan tentang bagaimana sikap seorang jurnalis menghadapi situasi seperti itu, apakah membiarkan si anak kelaparan atau melakukan sesuatu untuk menolongnya ? Perdebatan yang ternyata membuat Kevin makin depresi.
The Bang Bang Club menceritakan bagaimana kisah di balik terciptanya foto-foto luar biasa itu beserta ratusan foto lainnya. Menjadi seorang jurnalis di tengah situasi panas oleh konflik tentu bukan hal yang mudah. Hati nurani akan terus terusik sementara di sisi lain kode etik jurnalisme harus terus dijunjung tinggi. Mereka adalah orang-orang yang terjebak dalam situasi tidak nyaman, hati mereka berperang dengan tuntutan tugas. Dalam beberapa situasi, kejadian-kejadian yang mereka rekam kemudian menetap dalam waktu lama dalam memori mereka bahkan hingga mengguncang kejiwaan mereka.
Salah satu korbannya adalah Kevin Carter. Setelah publikasi fotonya yang luar biasa menyentuh itu, semua orang kemudian menanyakan nasib si anak perempuan dalam foto tersebut. St. Petersburgh Times di Florida bahkan menyebut kalau Carter tidak ada bedanya dengan burung bangkai itu. Dia hanya peduli pada frame dan sama sekali tidak peduli pada nasib si anak perempuan. Tudingan ini menambah daftar alasan untuk depresi pada sosok Kevin Carter selain berderet alasan lain yang sudah terekam dalam ingatannya.
Puncaknya, pada 27 Juli 1994 Carter menghabisi nyawanya sendiri . Catatan bunuh dirinya menjadi bukti kalau dia sama sekali tidak bisa bertahan lagi dari segala macam trauma yang melekat selama masa pengabdiannya sebagai fotografer, ditambah lagi dengan kepergian temannya Ken yang meninggal dalam tugas.
Dari sisi sinematografi
The Bang Bang Club seharusnya menjadi semacam dokumentasi tentang kejadian di balik layar terciptanya ratusan foto menyentuh dari sebuah perang saudara di tanah Afrika di awal tahun 1990an. Dalam beberapa aspek, film ini cukup berhasil.
Departemen artistik bekerja keras untuk membawa gambaran Afrika Selatan yang keras dan panas di awal tahun 1990an. Beberapa scene dihadirkan lewat potongan gambar yang terasa begitu nyata dan dengan dengan gambar yang artistik dan enak dilihat. Emosi penonton digiring perlahan untuk ikut merasakan kerasnya pertikaian antar suku di AfSel waktu itu.
Meski begitu saya merasa masih ada yang kurang. Beberapa momen terkesan agak datar sehingga kemudian emosi penonton tidak terlalu dilibatkan. Entah, mungkin bila digarap dari angle yang berbeda momen tersebut bisa sangat menyentuh. Saya secara tidak sadar membandingkannya dengan Hotel Rwanda, sebuah film yang sama-sama diangkat dari kisah kejadian nyata tentang konflik horisontal di Afrika.
Film ini sudah cukup berusaha keras menghadirkan nuansa pertikaian serta konflik humanis dari para fotografer yang berada di garis depan. Karakter Kevin Carter yang digambarkan seakan punya dua kepribadian berhasil diperankan dengan baik oleh Taylor Kitsch, sementara karakter utama Greg Marinovich terlihat sedikit kendor di tangan Ryan Philippe meski sama sekali tidak buruk.
Secara umum film ini bisa saya bilang cukup nyaman untuk dinikmati meski menurut saya muatan emosi yang terkandung seharusnya bisa lebih dalam dikaji dan ditampilkan. Setidaknya film ini membawa kita lebih jauh menilik perjuangan emosi para jurnalis perang yang harus terbiasa melihat sajian darah dan kekerasan di depan mata mereka demi menjalankan tugas.
Bila tak kuat mental, memang sebaiknya menghindari profesi sebagai fotografer atau jurnalis. Apalagi mereka yang bertugas di garis depan. Catatan terakhir dari Kevin Carter secara tersirat menyiratkan kondisi itu. Kondisi di mana dia sangat depresi karena tekanan trauma yang menetap selama bertahun-tahun.
“I am depressed … without phone … money for rent … money for child support … money for debts … money!!! … I am haunted by the vivid memories of killings and corpses and anger and pain … of starving or wounded children, of trigger-happy madmen, often police, of killer executioners … I have gone to join Ken if I am that lucky.”
saya juga udah nonton semalam. kesan kendor itu ada juga terasa, konflik horisontalnya kurang digarap serius dan tadinya saya mengira Greg Marinovich adalah yang empunya gambar di Sudan itu, namun ternyata Kevin Carter. Mungkin Greg menjadi fokus cerita karena lebih menjual secara tampang ya?! hehe
kalau menurut saya, goncangan jiwa dan pertentangan nurani yg dihadapi Greg harusnya bisa jadi bahan paling oke untuk digali. sayangnya hanya muncul sedikit2..
kenapa Greg yg jadi center point ? mungkin karena film ttg Kevin sudah ada sebelumnya..
IMHO ya..
Mending jadi fotografer alam saja, malah dapat foto-foto alam Indonesia yang indahnya luar biasa..
Salut buat fotografer Cincin Api..
eh jangan salah..
fotografer alam juga berisiko tinggi lho..
bayangkan kalau kamu motret gunung trus tersesat, atau jatuh ke jurang..
😛
Kritik2 yang berdatangan tentu saja membuat orang bisa depresi, kasus ini betapa menunjukkan bahwa sang Fotografer (Kevin Carter) masih memiliki hati nurani, namun sayang, ia tak mampu mengelak dari cemoohan orang2 dan mengambil jalan pintas, Orang2 hanya tahu mengkritik, mencemooh tanpa tahu bagaimana situasinya disana, mestinya mereka menyalahkan “Kenapa ada Perang?”. Semoga Arwah Kevin Carter di sana memotret kedamaian dan memohon pada Tuhan agar bumi ini senantiasa penuh damai dan bahagia, amin. seperti lantunan SADAMDA BASEMEN.
O..ya, jadi kamera Kevin Carter siapami yang ambil?, Bagus sekali kalau disumbangkan padaku, hehehe…
Nah, kalo film tentang jurnalis perang, saya pernah nonton juga, judulnya “The Hunting Party”. Richard Gere dan Terrence Howard jadi pemerannya. 🙂
ini film yang teramat bagus 🙂
apakah Kevin melihat si Anak itu dimakan burung pemakan bangkai ?
Dia gak lihat, dan dia sendiri berspekulasi si anak masih hidup atau tidak
spekulasi itu yang menghantuinya sampai akhirnya memutuskan bunuh diri