Buku yang menceritakan kisah perjuangan Rabiah, seorang petugas kesehatan yang mengabdi di pulau yang jauh di tengah lautan.
Kalian pernah membayangkan bagaimana rasanya mengabdi sebagai petugas kesehatan di tempat-tempat yang sangat terpencil? Jauh dari keramaian, jauh dari kenyamanan kota besar. Mungkin ada pembaca di blog ini yang pernah atau sedang menjalaninya, dan saya menjura untuk kalian yang pernah atau sedang mengalaminya. Sungguh sebuah pengabdian yang luar biasa.
Dalam perjalanan ke beberapa tempat di Papua – termasuk ke Pulau Tiga di Kabupaten Asmat, saya sering bertemu petugas kesehatan yang mengorbankan kenyamanan mereka. Mengorbankan semua fasilitas dan kenyamanan di kota besar untuk hidup di kampung yang jauh, sulit diakses, tanpa listrik dan sinyal telepon. Mereka hidup di sana karena tuntutan tugas yang mereka jalani dengan hati lapang. Memberikan layanan kesehatan pada warga.
Mereka orang-orang yang bekerja dalam senyap. Tidak haus pujian, atau sorotan.
Di salah satu titik di perairan Flores pun ada seorang petugas kesehatan yang melakoni hidup seperti itu. Namanya Andi Rabiah. Beliau meninggalkan kenyamanan kota Pangkep dan Ujung Pandang menjelang akhir tahun 70an untuk dikirim jauh ke pulau kecil di laut lepas antara Sulawesi dan Nusa Tenggara.
Rabiah adalah gadis kurus dari satu kampung di Kabupaten Pangkajene Kepulauan (Pangkep) – sekira 60an KM di sebelah utara kota Makassar (dulu Ujung Pandang). Dia harus berjuang melawan stigma kalau anak perempuan tidak perlu sekolah tinggi. Cukup bisa membaca dan berhitung saja, lebih baik mempersiapkan diri untuk menjadi istri dan ibu. Itu jauh lebih mulia. Stigma yang dipegang juga oleh orang tuanya, termasuk ayahnya yang keras.
Rabiah melawan itu semua. Bersekutu dengan neneknya, wanita bertubuh kecil yang menyayanginya. Persekutuan yang membuat Rabiah bisa tetap bersekolah meski awalnya sembunyi-sembunyi. Tekad kuatnya memang seperti karang, bergeming dalam keinginan mencicipi sekolah tinggi. Tekad yang membuat orang tuanya akhirnya menyerah. Membiarkan Rabiah bersekolah, menggapai cita-cita menjadi perawat.
Cita-cita itu juga yang membuatnya mengarungi lautan, menuju pulau kecil bernama Sapuka. Tempatnya mengabdi, melayani warga yang belum terlalu akrab dengan pengobatan moderen. Rabiah yang orang gunung itu harus mengarungi perjalanan dua hari dua malam dengan kapal kayu, melawan ombak, menantang terik, terombang-ambing, berkawan dengan perut mual dan kepala pusing sebelum sampai di Sapuka.
Di sanalah kisah dalam buku Suster Apung ini banyak berkelindan. Dari usaha merebut kepercayaan warga pada pengobatan moderen, berkompromi pada adat istiadat dan kepercayaan turun temurun warga, perjalanan mengarungi lautan yang hampir merenggut nyawa Rabiah, sampai kisah asmara dan perjalanan mengarungi lautan rumah tangga bersama kepala Puskesmas yang diam-diam menaruh hati padanya.
Perjalanan hidup Rabiah penuh warna. Tidak hanya seperti lautan yang dominan biru. Berawal dari keraguan warga menerima perawat bertubuh kurus kecil seperti anak-anak, sampai akhirnya kepercayaan itu bisa didapatkan, berganti dengan penghormatan besar pada ketulusan Rabiah dan suaminya. Perjalanan panjang yang penuh liku, naik-turun seperti gelombang lautan kala angin barat menerpa.
Suster Apung, Tentang Hidup dan Lautan.
Buku Suster Apung adalah sebuah kisah menawan yang disadur dari kisah nyata kehidupan Rabiah, seorang petugas kesehatan yang menghabiskan waktu tugasnya di pulau-pulau kecil di perairan Flores, masuk ke dalam wilayah administrasi Kabupaten Pangkajene Kepulauan.
Sebelumnya, di tahun 2006 kisah Rabiah telah diangkat ke film pendek berjudul sama dengan sutradara Arfan Sabran. Film pendek ini memenangkan kontes Eagle Awards yang digelar Metro TV. Film ini mengangkat nama Rabiah, bahkan seorang politisi nasional sempat memanfaatkan namanya untuk dijadikan iklan politik.
Tiga belas tahun kemudian, kisah yang tadinya dituturkan dalam bentuk audio visual, oleh orang yang sama dikisahkan kembali dalam bentuk tulisan. Arfan Sabran – kami biasa memanggilnya Appang – menerbitkan novel Suster Apung.
Kisah dalam buku ini memang bertutur panjang tentang Rabiah, dari awal mimpinya tumbuh di desa kecil dekat Segeri, Kabupaten Pangkep hingga kemudian akhirnya menyeberang lautan menjalani takdirnya sebagai suster, perawat meski kadang disapa bidan juga. Kisah di buku ini menuturkan tikungan-tikungan penting dalam kehidupan Rabiah sebagai perawat di pulau terpencil. Ada beragam drama di sana. Ada kesedihan, ada harapan yang membuncah, ada kekuatiran, ada harapan, dan banyak lagi.
Ada pula ujaran-ujaran tentang kearifan lokal para pelaut. Tentang bentuk kapal yang tadinya saya kira sama saja, tapi ternyata tidak. Kapal harus dibuat sesuai perairan yang biasa mereka tempuh, disesuaikan dengan topologi lautan tempatnya biasa berlayar. Tidak bisa seragam. Lalu ada juga tentang gemintang yang jadi panduan para pelaut, tentang angin laut yang harus dibaca bila tidak mau cilaka.
Banyak, bahkan tentang hal-hal mistis di lautan yang kadang tidak bisa dijelaskan dengan penjelasan rasional nan ilmiah.
Kisah Suster Apung adalah cermin kehidupan anak manusia yang mengabdikan hidupnya untuk manusia lain. Di tempat yang jauh. Di tempat yang tidak nyaman. Pengabdian itu berbalas, warga memberikan cinta seperti cinta yang diberikan Rabiah. Begitu juga dengan ilmu-ilmu yang berdesakan ke dalam kehidupan Rabiah, seperti balasan untuk ilmu yang dia berikan kepada warga. Kisah di Suster Apung adalah tentang balas-membalas antara manusia di tengah lautan.
Saya menyukai novel ini, menyukai deretan cerita yang ada di dalamnya yang diceritakan secara runut dan detail. Memang ada beberapa kesalahan kecil, tapi itu tidak sampai menganggu. Bahkan saya tidak ingat lagi kesalahan apa saja yang ada di dalamnya.
Saya merekomendasikan buku ini untuk kalian yang ingin mendengar kisah manusia-manusia yang berjuang jauh di luar lampu sorot. Manusia yang mengandalkan tekad dan keteguhan hati untuk bisa menjadi orang yang berguna bagi orang lain. [dG]
Seru sekali sepertinya etualangan suster Andi Rabiah, Daeng, meskipun pasti penuh air mata. Kayaknya saya mesti cari minimal filmnya ini.
Btw, soal Asmat, kawan saya pernah ke sana dan cerita soal dokter yang bikin klinik terapung. Sekarang kapalnya sudah lebih dari satu dan alat-alatnya dari kantong pribadi. Tahu cerita-cerita seperti ini bikin saya yakin bahwa masih ada harapan, dan semoga inspirasinya bisa menular ke mana-mana.
Saya tahu kisah ini malah dari Metro, perjuangan beliau kala membawa pasien menggunakan kapal kayu dengan terjangan ombak dan yang lainnya. Sepertinya kudu kucari buku ini.
Wah jadi pengin baca kelanjutannya kak