Novel ini bercerita dalam alur yang sedang. Tidak cepat tapi juga tidak lambat.
Sosok Dahlan Iskan sedang jadi perbincangan belakangan ini. Sosoknya mengundang pro dan kontra. Di negeri ini ketika seorang pejabat berusaha melabrak birokrasi maka orang akan menudingnya sedang melakukan pencitraan. Itulah yang sedang terjadi pada mantan dirut PLN ini. Keningnya sedang penuh kesan: pencitraan. Benar atau tidaknya, setidaknya saya tidak mau pusing.
Bulan Mei 2012, sebuah novel yang terinspirasi dari kisah hidup Dahlan Iskan hadir di jagad buku Indonesia. Adalah seorang penulis berdarah Jeneponto yang jadi koki di belakang hadirnya buku berjudul Sepatu Dahlan, Khrisna Pabhicara.
Kisah dalam Sepatu Dahlan dibuka dengan cerita seorang lelaki yang membujur pasrah di meja operasi. Sebelum operasi berjalan, satu persatu bayangan masa lalunya datang dan berkelebat dalam pikirannya. Termasuk bayangan masa kecilnya jauh di sebuah desa di Magetan sana.
Cerita kemudian beralih ke kisah masa kecilnya. Dahlan kecil yang baru saja lulus SR dan berniat masuk ke SMP Magetan ternyata harus menelan niatnya. Mereka terlalu miskin untuk bisa membiayai Dahlan bersekolah di SMP Magetan. Satu-satunya pilihan bila Dahlan kecil memang tetap ingin bersekolah hanyalah Tsanawiah Takeran, sekolah yang mempertemukan orang tua Dahlan.
Cerita kemudian bergulir di situ. Tentang mimpi Dahlan untuk memiliki sepatu, sebuah benda yang selalu mengganggu tidurnya. Benda yang selalu dimimpikannya. Juga cerita tentang romansa asmara remaja tanggung yang diselingi cerita dramatis dari lapangan bola volley.
Novel ini bercerita dalam alur yang sedang. Tidak cepat tapi juga tidak lambat. Sang penulis bertutur dengan sangat detail dan dengan pilihan kata yang tepat. Dia tahu kapan harus melambat dan kapan harus bertutur cepat sehingga membaca Sepatu Dahlan kita akan menemukan alur yang beragam. Mungkin seperti mengendarai roller coster.
Ketika bertutur tentang kepergian ibu dari Dahlan kecil, pembaca bisa diajak ikut larut dalam suasana sedih yang mengharukan. Khrisna tidak hanya berbicara tentang kepergian sang ibu, tapi juga tentang bagaimana Dahlan kecil dan adiknya menahan lapar yang sangat menggigit ketika mereka tak punya apa-apa untuk dimakan.
Sepatu Dahlan adalah trilogi. Selanjutnya akan menyusul Surat Dahlan dan Kursi Dahlan. Dalam waktu yang relatif singkat buku Sepatu Dahlan sudah menjadi best seller dan dicetak ulang berkali-kali dalam waktu singkat. Membaca Sepatu Dahlan akan membuat anda penasaran pada sekuel berikutnya, ini tentu karena kepiawaian sang penulis untuk membawa kita larut dalam cerita di buku ini.
[dG]?
saya juga udah baca buku ini, dan SUKA!
Padahal buku lain yang udah lebih lama dibeli, dan dibeli karena ‘merasa’ suka 😀 tapi sampai selesai membaca buku SEPATU DAHLAN tetap saja berbalutkan plastik 😛
ceritanya inspiratif dan memberi semangat
agar tak lekas patah arang …
etapi liat gonjang ganjing isu sara melanda pilkada jakarta, kok saya tetap patah arang ya 🙁 *komen geje*
Memang sebuah buku bergizi dan memberi banyak kekayaan diksi bagi yg mau belajar menulis sptku
kisah sepatu dahlan ini ternyata sangat meng-inspirasi bagi orang banyak…salam Ramadhan
Ow, buku ini bagian trilogi ya,…
Buku2 cerita pembesar mulai dirilis, mudah2an tak ada alasan yang menyangkut politik pemilu mendatang #eh..
wah,, kyknya menarik buku ini.. pak dahlan, mantan dirut jawa pos itu ya,.