Mengunjungi Rumah Mayanya Unga

Blog Unga
Blog Unga

Postingan ini adalah bagian dari program Anging Mammiri; Komunitas Blogger Makassar yang bernama Sipakatau. Program ini membuat para blogger yang sudah terdaftar harus saling mengunjungi dan mereview. Saya kebetulan dapat bagian mengomentari blognya Unga.

“Ih dosenku!” wanita bertubuh mungil itu berteriak kaget. Di tangannya ada microphone yang sedang ON, jadilah suara kagetnya itu terdengar ke seluruh ruangan dan mengundang gelak tawa hampir oleh semua hadirin.

Tentu saja kami semua tertawa, wanita itu masih sedang bertugas sebagai MC dalam acara puncak ulang tahun Anging Mammiri kedua tahun 2008, tapi keterkejutannya membuat dia spontan berteriak tanpa berpikir mematikan microphone. Sesuatu yang sama sekali tidak diskenariokan dan terjadi begitu saja.

Wanita itu bernama Unga, nama aslinya panjang dan sangat kental aroma Bugisnya. Andi Tenrri Pakkua Bungawalia. Apa artinya? Entahlah. Mungkin dia sendiri tidak tahu. Tapi meski berdarah Bugis, Unga juga pernah lama di tanah Jawa, tidak heran kalau sesekali logatnya juga kental logat Jawa atau setidaknya logat Jakarta. Orang Makassar menyebutnya: aklogat.

Oke, stop bicara tentang dia karena yang akan saya bahas adalah blognya. Bukan tentang Unga, Rahmat suaminya yang semakin hari semakin penuh dengan lemak atau kedua putrinya yang sering mengangetkan dengan tingkah ajaib mereka.

Rumah maya Unga beralamat di http://ungatawwa.wordpress.com, seingat saya ini blog lama. Bahkan blognya ini pernah masuk dalam daftar 100 blog terpopuler Indonesia urutan ke 50an versi Blog Indonesia. Ini hanya sebagai penggambaran saja, di tahun ketika saya masih meraba-raba ingin menulis dengan gaya apa dan bahkan sesekali masih sering menulis curhatan tidak penting, blog Unga sudah masuk dalam daftar 100 blog terpopuler Indonesia. Silakan membayangkan seperti apa hebatnya dia.

Dia sebenarnya pernah pindah ke dunia maya yang lain, tidak ngontrak lagi di WordPress. Sayangnya karena mungkin dia kurang telaten merawat atau ada alasan lain, blog lamanya jadi terbengkalai dan bahkan menghilang sama sekali. Terakhir dia pindah ke rumah kontrakannya yang sekarang ini.

Selepas menikah dan akhirnya punya anak-anak, Unga memang sempat vakum lama dari dunia blog. Maklum, tidak mudah mengatur waktu antara merawat anak-anak, suami yang makin menggendut serta pekerjaan (waktu itu) yang sangat posesif. Setelah melepaskan status sebagai karyawan, Unga sepertinya mulai tertarik untuk kembali ngeblog sambil tetap membagi waktu buat keluarga atau hobinya merajut.

Soal desain blog, blog Unga buat saya standar. Mengingatkan saya pada blog-blog pertengahan tahun 2000an ketika dunia blogger masih ramai dan riuh. Kala itu belum banyak blogger yang punya keinginan memakai themes yang berat dan canggih. Blog Unga seperti itu, sederhana meski tidak membosankan, ceria meski tidak terlalu riuh.

Untuk navigasi, sama seperti blog-blog sederhana lainnya semua diatur dengan rapi tanpa banyak embel-embel. Jelasnya, pengunjung mudah untuk masuk ke setiap halaman atau postingan blognya. Seperti rumah yang terbuka buat siapa saja, blog Ungapun seperti itu.

Lalu bagaimana dengan isi blognya sendiri? Ini yang menarik. Di tengah maraknya blogger yang serius mengelola blognya dengan konten bernafaskan jurnalisme, konten traveling, kuliner atau bahkan konten-konten pencari dollar, Unga tetap setia dengan konten sederhana yang lebih mirip curhatan atau catatan ringan.

Tapi Unga seperti sadar akan batasan dari sebuah curhatan atau catatan ringan. Dia tidak curhat selebay anak-anak ABG, catatan ringannyapun tidak lantas menjadi snack yang ringan tak bergizi. Tulisan Unga memang ringan tapi mampu dikemas dalam kemasan yang menarik. Renyah dan bergizi tanpa harus ribet dengan segala macam bumbu. Kadang bahkan saya geli sendiri melihat gayanya menulis, lucu alami tanpa terasa ada paksaan.

Ini sebuah rahasia. Bertahun-tahun yang lalu saya dan Rusle pernah menjadi semacam agen yang mencari penulis-penulis baru yang bisa dikader untuk ikut mengisi sebuah laman jurnalisme warga. Kami sempat mengobrolkan Unga, tentang cara menulisnya yang memikat, mengalir dan menurut kami sangat potensial. Sayang kami tidak berhasil membajaknya waktu itu karena keburu laman jurnalisme warga itu tutup (atau Unga yang mulai vakum ngeblog ya? Saya lupa).

Intinya, mengunjungi blog punya emak-emak berjilbab syar’i bisa jadi sebuah rekreasi menyenangkan setelah membaca blog dengan tulisan berat dan berisi seperti blog saya ini (ehem, tetap promosi dong ah). Rumah Unga seperti sebuah rumah kecil di tepi pantai, tempat kita bisa bersantai tanpa harus berpikir keras. Untung sang pemilik rumah sekarang mulai rajin kembali menata rumahnya.

Begitulah, kadang saya suka iri pada blogger-blogger yang masih bisa menulis ringan dan santai tanpa berpikir tanda baca, ejaan atau bahkan pesan moral. Sesekali saya ingin kembali seperti itu, menjadi blogger naif lagi seperti dulu. Ini gara-gara rumah Unga. [dG]