Geng Motor, Tagar dan Teori Tingkat Tinggi

Sekelompok warga menandatangi spanduk #MakassarHarusAman
Sekelompok warga menandatangi spanduk #MakassarHarusAman

Media punya peran besar dalam memberitakan ragam kejahatan jalanan yang sebagian besar terjadi di malam hari itu. Perlahan tapi pasti pemberitaan media masuk ke ruang bawah sadar warga dan menimbulkan ketakutan. Warga yang juga aktif di media sosial kemudian mulai bereaksi, membuat tagar #MakassarTidakAman sebagai bentuk ketakutan mereka akan berita yang massif dan kejadian nyata di sekitar mereka.

Tagar itu kemudian berganti dengan tagar #MakassarHarusAman. Tagar baru ini seperti bermuatan lebih positif menggantikan tagar sebelumnya yang memang terkesan negatif dan menakutkan. Lewat tagar baru ini muncul harapan untuk membuat Makassar kembali ke situasi yang aman seperti sedia kala. Bukan lagi untuk menimbulkan ketakutan tapi menumbuhkan harapan kalau Makassar memang harus aman.

Dua tagar ini memang mengundang reaksi pro dan kontra. Pertama adalah seorang cerdik cendekia yang memuat tulisan panjang di sebuah website. Dengan teori tinggi nan canggih dia membedah keberadaan tagar ini sambil tidak lupa menutup dengan dugaan adanya faktor ekonomi dan materi yang berdiri di belakang tagar-tagar itu.

Saya sempat mengomentari tulisan itu dan kemudian dilanjutkan oleh penulis dengan tulisan berikutnya yang tak kalah panjang dan lengkap dengan teori tingkat tinggi juga. Isinya sama, masih membedah tagar itu dan masih kukuh menutupnya dengan tuduhan kalau tagar itu adalah pesanan dan ada yang mengambil keuntungan materi di baliknya. Tulisan baru itupun saya komentari lewat postingan panjang yang saya maksudkan sebagai pelurusan atas kesalahpahaman.

Lalu tidak kurang seorang penyair sekelas Aan Mansyurpun merasa perlu turun gunung untuk membahas tagar itu. Di sebuah laman berita daring dia menulis panjang, dia juga seperti ikut memperkuat tuduhan kalau tagar itu punya kepentingan lain selain suara keresahan. Bahkan Aan Mansyur yang tenar itupun melengkapi tulisannya dengan cap lebaylitas dan ababil kepada akun yang ikut menyebar tagar itu.

*****

Buat saya dua reaksi dari orang hebatnya Makassar itu adalah sebuah bukti kalau mereka juga ikut peduli dengan keadaan kota ini. Merasa perlu untuk turun gunung dengan setumpuk teori kelas tinggi dan kemampuan menulis yang luar biasa untuk membahas tagar-tagar yang bertebaran sebagai reaksi dari sebuah keadaan.

Kalau mereka orang-orang yang tidak punya kepedulian dan rasa cinta pada kota ini mereka tentu akan tinggal diam dan membiarkan saja tagar-tagar itu berseliweran karena toh mereka mungkin merasa nyaman di areanya sendiri. Tapi tidak, mereka tidak seperti itu. Mereka tetap peduli dan menggunakan kepeduliannya untuk mengomentari fenomena yang sedang hype di kota Makassar.

Soal menuduh dan menempelkan cap sebagai tagar pesanan atau cap alay, lebay dan labil pada tagar dan pengusungnya itu hal yang wajar. Seandainya saya yang disasar maka saya akan menerimanya dengan lapang dada. Anggap saja itu adalah kritikan karena tagar itu bukan ayat kitab suci yang tak bisa digugat dan pengusungnya bukan nabi yang tak bisa dikritik. Dalam dunia demokrasi hal itu biasa, semua orang punya hak untuk berbicara dan mengutarakan pendapat.

Tapi sebagai orang biasa yang lebih sering menulis karena sok tahu saya sebenarnya sangat menantikan tulisan lain dari kedua orang yang saya kagumi itu. Tulisan yang mengupas lebih dalam tentang asal mula fenomena ini. Mungkin bisa dimulai dari kajian sosiologi tentang apa yang sebenarnya terjadi. Benarkah kemiskinan pantas untuk selalu dijadikan alasan ketika tindak kejahatan meningkat? Benarkah tidak ada hal lain yang melatarbelakangi fenomena ini? Kepentingan politis misalnya?

Atau buat mereka yang paham betul tentang teori komunikasi dan media, mungkin sudilah menggunakan teori-teori tingkat tinggi itu untuk membahas tentang peran media dalam tumbuh suburnya fenomena ini. Benarkah media juga punya kepentingan? Adakah agenda tersembunyi di belakang semua keriuhan ini?

Ayolah, jangan berhenti sekadar mengusik tagar yang sebentar lagi akan hilang dan terlupakan itu. Saya yakin ada banyak yang bisa dikulik dari fenomena ini, hal-hal yang mungkin bisa membuka mata kita kalau sebenarnya memang ada yang salah di kota ini.

Saya sebenarnya gregetan ingin mengulik semua itu, tapi otak saya tak sampai. Saya tak cukup punya teori untuk membahas itu semua, saya takut berakhir pada asumsi yang malah membuat saya terlihat lebih bodoh dari sekarang.

Kalau bisa memohon saya sebenarnnya mau memohon kepada mereka yang cerdik cendekia itu, sudilah meluangkan waktu dan tenaganya mengulik hal-hal yang membuat saya penasaran itu ketimbang sekadar mengulik tagar yang saya yakin hanya salah satu ujung dari rentetan panjang sebuah kejadian. Sayang kan kalau ilmu tinggi dan teori canggih itu hanya membahas tagar tanpa membahas sebab utama munculnya tagar itu?

Jangan-jangan kita pengguna media sosial ini kemudian menjadi korban geng motor juga. Dipaksa saling menyimpan praduga dan saling sinis serta nyinyir gara-gara tagar. Padahal sebenarnya kita sama-sama korban dari sesuatu yang kita belum tahu apa. Saya tidak mau seperti itu. [dG]