Sang Kepala Kampung dan Markass Tidak Aman

ilustrasi (sumber: deltaman15.deviantart.com)
ilustrasi (sumber: deltaman15.deviantart.com)

Kisah ini hanya rekaan saja, kalaupun ada kesamaan nama atau kejadian ya salah sendiri kenapa disama-samain.

Tersebutlah sebuah kampung bernama Markass, terletak di pesisir pantai menghadap ke barat. Kampung ini cukup ramai, warganya banyak dan berasal dari berbagai latar yang berbeda. Ada yang miskin, ada yang kelas menengah dan ada juga yang kayanya tidak terperikan. Kampung ini diperintah oleh seorang kepala kampung bernama Dian Patomon atau akrab disapa Depe. Beliau inilah yang terpilih menjadi kepala kampung meski sebenarnya dia bukan orang asli kampung Markass.

Di kampung Markass, semua orang hidup tenang, tenteram dan saling menyapa. Sesekali memang ada sedikit keributan, tapi itu biasa apalagi karena karakter khas orang di kampung Markass memang cepat panas dan bersumbu pendek. Selebihnya tidak ada yang istimewa, semua hidup tenang dan aman.

Di kampung Markass juga ada beberapa orang yang tugasnya jadi penyampai berita. Di antaranya ada yang bernama Brintu. Dua orang ini suka keliling kampung dengan pengeras suara yang memberikan kabar kalau pak Depe sedang melakukan kegiatan ini-itu, di kampung sebelah ada warga yang ketahuan selingkuh, di kampung sana ada warga yang baru beli mobil mewah dan berita-berita lainnya yang kadang sebenarnya tidak penting tapi buat warga kampung lumayan menghibur dan bisa jadi bahan obrolan di warung kopi.

Lalu suatu hari ada kejadian mengejutkan. Seorang warga kampung Markass dirampok di jalanan di malam hari. Berita ini awalnya hanya tersebar di beberapa orang saja sampai kemudian ada kejadian lain yang datang cepat setelah kejadian pertama. Menyusul kemudian kejadian-kejadian lainnya.

Sebenarnya di kampung itu kejadian seperti ini sudah biasa, tapi tidak berturut-turut dan tidak terjadi di banyak tempat. Memang di kampung itu ada beberapa sudut yang dianggap rawan dan sering jadi tempat terjadinya kejahatan. Tapi, ketika kejahatan terjadi semakin sering dan semakin meluas, pelan-pelan warga mulai berbisik lirih.

“Ah, Markass tidak aman.” Kata seorang warga. Warga lainnya mengangguk mengiyakan. Kebetulan teman dan saudara mereka yang jadi korban sehingga wajar kalau mereka mulai merasa resah. Selama ini mungkin kejadian itu hanya terjadi jauh dari tempat tinggal mereka yang nyaman, tapi ketika kejadian itu menimpa kenalan dan keluarga mereka tak urung merekapun jadi kuatir dan mulai merasa tidak aman.

Lalu bisikan-bisikan lirih penuh dengan kekuatiran itu melebar ke warga-warga lainnya. Dalam obrolan di warung kopi atau di beranda rumah ketika senggang, kalimat Markass Tidak Aman mulai menyeruak, menjadi pembicaraan mengalahkan cerita kepala kampung sebelah yang dianggap impoten dan tidak becus mengelola kampungnya.

Bisikan-bisikan itu ternyata didengar oleh Brintu. Brintu yang memang senang menyebarkan berita itu tiba-tiba merasa senang karena punya bahan yang akan membuat tugasnya jadi lebih ringan. Mukanya cerah ceria penuh semangat, energinya meletup-letup.

Lalu Brintu mulai berteriak-teriak dengan pembesar suaranya, mengabarkan cerita tentang korban-korban yang makin hari makin banyak berjatuhan, tentang anak panah yang menancap di tubuh korban atau tentang harta dan nyawa korban yang melayang. Brintu bahkan pernah mengumumkan kepada warga agar berhati-hati keluar di malam hari karena tingkat kejahatan yang semakin tinggi. Ini terus dilakukannya setiap hari, berkali-kali dengan pengeras suara sampai satu kampung mendengar.

Warga yang mendengar teriakan-teriakan penuh semangat dari Brintu tentu saja semakin resah. Mereka lalu makin sibuk berteriak ?Markass Tidak Aman!?, teriakan ini bukan lagi bisikan lirih tapi lebih kepada teriakan ketakutan yang bercampur dengan rasa putus asa. Warga merasa putus asa karena DP dan jajaran Hansipnya tidak terlihat serius mengamankan situasi. Belakangan DP malah sibuk membantah kalau kampungnya tidak aman.

Ketika warga makin ramai berteriak ?Markass Tidak Aman? muncullah seorang cerdik cendekia yang rajin membaca buku dan suka mengobrol dengan membawa teori-teori canggih buatan orang kampung lain. Dengan kecerdasan tingkat tingginya si cerdik cendekia menganalisa kalau teriakan-teriakan itu adalah pesanan seseorang, adalah sebuah tindakan yang akan berujung pada keuntungan materi buat seseorang. Entah bagaimana alurnya, pokoknya dia terus saja bercerita dengan membawa teori-teori tingkat tingginya.

Ada pula seorang cerdik cendekia lainnya yang kadung terkenal sebagai sastrawan dari kampung itu. Dia ikut menuduh orang-orang yang berteriak itu sebagai orang-orang yang lebay dan ababil. Pasalnya orang yang sama sebelumnya berteriak Markass Keren dan sekarang tiba-tiba berteriak kalau Markass Tidak Aman. Benar-benar orang yang lebay dan tidak teguh pendirian, kata si sastrawan.

Dua orang cerdik cendekia ini tak urung membuat banyak orang mulai berpikir juga, mungkin betul kalau teriakan itu berlebihan dan memang ada unsur pesanannya. Mereka tidak sempat lagi berpikir dan mencari tahu, benarkah kampung mereka memang tidak aman? Atau jangan-jangan ini hanya kerjaan si Brintu yang ikut memanas-manasi suasana? Pokoknya bagi mereka, warga yang berteriak itu lebay, soal kenapa mereka berteriak itu bukan urusan mereka.

*****

Pagi baru saja merekah. Kepala kampung Markass yang terhormat baru saja menyeruput secangkir kopi panas di meja makan pualamnya. Dia geram ketika melihat begitu banyak orang yang berteriak Markass Tidak Aman di luar sana. Dia tahu, teriakan itu akan terdengar sampai ke kampung sebelah dan membuat orang-orang luar jadi takut untuk datang ke kampungnya. Para taoke berkantong tebal yang sebelumnya sudah berniat untuk membangun satu-dua pabrik atau bangunan megah di kampungnya pasti berpikir ulang melihat riuh rendah teriakan itu.

Brakk!! Kepala kampung memukul meja pualamnya, dia geram tak karuan. Kalau semua orang takut datang ke kampungnya maka mimpinya membuat kampung Markass semaju kampung-kampung di seberang lautan akan karam. Dia tentu tak mau seperti itu.

“Cari orang yang jadi provokator, yang berteriak Markass Tidak Aman! Tangkap dia, seret di ke penjara!” Titahnya kepada kepala Hansip yang sedari tadi berdiri mematung di sampingnya. Lalu si kepala Hansip dengan sigap memberi hormat dan berlalu ke luar ruangan.

Di luar ruangan dia bertemu dengan orang Brintu, sang kepala Hansip lalu menjelaskan ke Brintu rencana menangkapi orang-orang yang berteriak Markass Tidak Aman karena dianggap provokator. Brintu tersenyum geli. Tentu saja dia geli karena merasa kalau orang-orang yang berteriak itu hanya orang-orang yang terpengaruh oleh teriakan-teriakannya melalui pengeras suara. Seandainya Brintu tidak ikut-ikutan memperpanas suasana mungkin orang-orang tidak akan seramai itu berteriak Markass Tidak Aman. Lumayan, pikir Brintu, jualan kita akan semakin laku. Lalu diam-diam dia tertawa keras tak tertahankan.

Kepala kampung yang terhormat dan Hansipnya terus membentak warga yang berteriak, sesekali mereka juga menangkapi warga yang mencoba atau telah berbuat jahat. Sayang, kepala kampung dan kepala Hansipnya tidak pernah memberikan data yang jelas kepada warganya. Mereka hanya sibuk membantah dugaan kalau jumlah kejahatan terus meningkat tapi mereka tidak pernah memberikan angka-angka untuk membantah itu.

Jalanan semakin mencekam di malam hari. Warga semakin takut untuk keluar di malam hari, mereka juga mulai takut berteriak karena takut pada ancaman kepala kampung dan Hansipnya. Mereka hanya berbisik-bisik, mengabarkan teman atau saudara mereka yang terus menjadi korban. Sebagian warga masih sibuk tersenyum sinis dan enggan mencabut cap lebay di jidat teman-teman mereka yang resah. Mereka kukuh menuduh teriakan itu tidak lebih dari lebaylitas dan buatan seseorang yang ingin mengambil keuntungan materi.

Warga mulai terpecah, mereka resah karena penjahat, merekapun makin sinis dan curiga satu sama lain.

*****

Malam turun perlahan, di luar suasana semakin sepi padahal ini malam Minggu. Biasanya malam seperti ini warga kampung bercanda ria sampai nyaris pagi. Tapi tidak sekarang, cerita kejahatan di malam hari membuat mereka takut berlama-lama di luar rumah.

Di kamarnya yang besar dan megah, sang kepala kampung tersenyum senang menatap sebuah foto yang baru saja ditebusnya seharga Rp. 100 juta. Foto itu adalah bukti betapa dia sangat murah hati, seluruh uang hasil penjualan foto itu akan disumbangkan untuk kampung lain nun jauh di sana yang sedang dilanda kedukaan.

Detik demi detik berlalu, kepala kampung itu jatuh tertidur dalam buaian pendingin ruangan dan kasur yang empuk. Dalam mimpinya terbayang betapa kampungnya yang asri nanti akan penuh dengan bangunan megah, lampu berkilauan dan mobil-mobil mewah yang berseliweran.

Di luar sana sebagian besar warga meringkuk di kamar mereka, sebagian lagi yang terpaksa tetap harus keluar malam melintasi jalanan sepi dengan rasa was-was. Ada juga yang asyik menyeruput kopi di kedai kopi mewah, tertawa lepas menertawakan mereka yang ketakutan untuk keluar malam.

Di satu sudut lain kampung itu, Brintu memutar otak. Harus bagaimana lagi memanasi warga supaya isu ini tidak lenyap begitu saja? Toh dia aman-aman saja, tak pernah dituduh sebagai provokator karena menurut kepala kampung dan Hansipnya wargalah provokator sebenarnya.

Lalu malam makin larut dan pecah seketika oleh teriakan seorang warga yang baru saja kena tusuk penjahat jalanan. [dG]