Kukila; Seperti Yang Saya Kira

Sampul Depan Kukila (sumber: Polimoli.com)
Sampul Depan Kukila (sumber: Polimoli.com)

Nak, dua hal yang aku benci dalam hidup: September dan pohon mangga.

Kukila adalah wanita dengan tiga orang anak, seorang (mantan) suami dan seorang kekasih yang selalu hidup dalam kenangannya. Kukila membenci September dan pohon mangga. September yang kemarau dan pohon mangga yang menyimpan banyak kenangan dan cerita tentang masa lalu.

Ada satu rahasia besar yang disimpan Kukila dari anak-anaknya. Rahasia kenapa Rusdi suaminya tidak berhasrat lagi menemaninya dalam sebuah lembaga bernama pernikahan. Selama ini rahasia itu hanya disimpannya pada batang pohon mangga, sampai semua kemudian harus diceritakan, disusun dalam deretan kalimat dalam surat yang dikirimkannya pada anak-anaknya.

Aneh, kisah hidup Kukila ternyata nyaris sama dengan kisah hidup Kukila lain dalam cerita yang diceritakan kakeknya ke ibunya dan ibunya ke dirinya. Kisah yang tak sempat dia ceritakan ke anak-anaknya, kisah tentang Kukila lain yang entah kenapa mirip dengan kisah hidupnya sendiri.

Berputar tanpa jadi memusingkan.

Membaca kisah Kukila ini seperti berkendara di punggung-punggung bukit. Berputar, kadang naik, kadang turun dan penuh kejutan. Meski alurnya lambat, tapi kita bisa menemukan banyak kejutan di setiap tikungannya. Kejutan yang sebelumnya mungkin tidak terpikirkan. Persis seperti perjalanan di punggung bukit. Endingnya mungkin tidak cukup mengejutkan, tapi perjalanan menuju endingnya yang mengejutkan. Berputar tanpa jadi memusingkan.

Kisah Kukila bersama tiga anaknya, (mantan) suaminya dan kekasihnya adalah satu dari 16 cerita dalam buku: Kukila ? kumpulan cerpen. Ada 15 cerita lain yang tidak sepanjang Kukila tapi punya daya pikat yang sama. Dalam sudut yang berbeda, saya malah lebih menikmati cerita pendek yang lain selain Kukila. Mungkin karena ceritanya yang lebih pendek dan tidak terlalu memutar seperti Kukila.

Ada satu benang merah yang menghubungkan 16 cerita dalam buku ini, yah apalagi kalau bukan cinta. Kisah tentang cinta masih saja disukai orang banyak, tentu karena cinta punya semua syarat untuk jadi teman perjalanan manusia dari masa ke masa. Cinta tidak hanya indah, tidak hanya manis tapi juga kerap membawa kepedihan, amarah dan tentu saja asinnya air mata. Pas sebagai teman perjalanan bukan?

Kukila persis seperti yang saya kira. Kisah pendek dengan kalimat puitis yang indah mendayu-dayu. Kisah yang menampilkan nama-nama pemeran dengan nama-nama yang sebagiannya tidak pernah atau jarang kita dengar di kehidupan nyata, persis seperti nama-nama dalam kisah sastra lainnya.

Aan Mansyur sang penulis berhasil memilih kata dan menyusunnya dalam kalimat yang tidak terlalu rumit dan bisa dicerna orang biasa. Selama ini masalah saya (dan mungkin orang lain yang juga tidak terlalu menyukai sastra) adalah karena buku sastra cenderung terlalu pandai atau terlihat terlalu pandai sehingga kami yang susah mencernanya kemudian merasa bodoh karena tak juga berhasil mencernanya dan kemudian menikmatinya.

Tapi Aan Mansyur berbeda. Memang dia masih patuh pada aturan (kalau memang ada) menggunakan kata dan susunan kalimat yang tidak biasa kita temukan dalam percakapan sehari-hari sehingga bisa disebut sebagai karya sastra, tapi dia tidak melupakan pembacanya yang mungkin belum sepenuhnya mengerti dan paham apa itu sastra. Aan tidak bermaksud terlihat pandai dan kemudian menciptakan jarak dengan pembacanya yang masih bodoh seperti saya. Dia manusia biasa yang kebetulan bisa menemukan kata dan merangkai kalimat yang sedikit lebih indah dari kata dan kalimat yang biasa kita pakai di jalanan.

Kukila, seperti yang saya kira. Kisahnya indah tapi masih bisa kita nikmati tanpa harus merasa bodoh. Ya, tetap ada jarak antara penulis dan pembaca tentu saja. Atau tepatnya, ada jarak antara sastrawan dan non sastrawan. Tapi jarak itu tidak jauh, kita tetap bisa melihatnya atau kadang terasa menyentuhnya.

Kukila seperti yang saya kira. Masih bisa saya nikmati meski sebetulnya saya bukan penikmat sastra.

 

[dG]