Everest, Cara Mahal Untuk Mati

Poster film Everest
Poster film Everest

“Untuk apa capek-capek naik gunung kalau toh nanti akan turun juga?”

Kalimat di atas  diucapkan oleh Kapten Haddock, tokoh rekaan dalam komik TinTin karya Herge. Kalau pertanyaan di atas ditanyakan kepada mereka yang keranjingan mendaki gunung maka mungkin mereka akan balik bertanya, “Untuk apa capek-capek makan kalau toh nanti akan buang air besar juga?”

Naik gunung bagi beberapa orang sudah jadi kebutuhan, mungkin seperti makan dan minum. Beberapa teman pendaki yang saya temui mengaku seperti mengalami gejala sakaw ketika sudah lama kakinya tidak menginjak gunung dan paru-parunya tidak diisi udara sejuk pegunungan.

Entah apa yang ada dalam kepala para pendaki itu sampai mereka mau meluangkan waktu, menyiksa diri dan meninggalkan kenyamanan untuk mendaki gunung dan berdiri di puncaknya. Sekadar rasa senang ketika berhasil mencapai puncaknya? Atau ada sensasi lain yang mungkin hanya mereka yang tahu?

Apapun alasannya, selalu ada orang yang keranjingan memompa adrenalin mereka menuju puncak gunung tertinggi sekalipun. Termasuk puncak Everest yang diakui sebagai puncak gunung tertinggi yang ada di daratan bumi. Nafsu para pendaki itu membuat beberapa pendaki senior melihatnya sebagai peluang bisnis, mereka bersedia mengantaran para pendaki sampai ke puncak. Dengan bayaran yang tidak sedikit tentu saja.

Salah satu yang terkenal adalah Adventure Consultant milik Rob Hall, seorang warga Selandia Baru. Rob Hall sendiri sudah kadung terkenal sebagai pendaki dengan segudang pengalaman dan sudah mengenal dengan baik gunung Everest mungkin seperti dia mengenal punggung tangannya sendiri. Dengan biaya minimal $65.000 dia bersedia mengantar siapa saja yang hendak menuntaskan mimpi berdiri di puncak gunung yang ketinggiannya sama dengan ketinggian jelajah pesawat Boeing 747.

Ekspedisi menjejakkan kaki di puncak Everest bukan ekspedisi murahan dan kacangan. Tubuh manusia pada dasarnya tidak dirancang untuk bisa bertahan di ketinggian seperti itu. Oksigen sangat tipis, udara sangat dingin dan medan sangat berat. Tanpa perhitungan yang matang dan persiapan mumpuni, manusia hanya akan mengantarkan nyawa.

Tapi alam tetaplah alam. Sebagus apapun persiapan manusia, kalau alam sedang tak ramah maka akan sia-sia semuanya. Itu juga yang terjadi pada anggota tim Adventure Consultant yang dipimpin Rob Hall tepat di 10 Mei 1996.

*****

Film Everest diangkat dari kisah nyata musibah yang menimpa tim Adventure Consultant yang dipimpin Rob Hall tahun 1996. Peristiwa ini dikenang sebagai Everest disaster 1996 yang merenggut nyawa 5 orang pendaki, tiga di antaranya adalah pendamping dan dua sisanya adalah klien. Dari mereka yang selamat salah satunya adalah John Krakauer, seorang jurnalis yang di kemudian hari membuat laporan lengkap tentang kejadian tersebut. Laporannya di majalah Outside kemudian dikembangkannya dalam buku berjudul Into Thin Air.

Foto anggota tim Adventure Consultant sebelum naik ke Everest
Foto anggota tim Adventure Consultant sebelum naik ke Everest

Film Everest menceritakan kisah perjuangan para pendaki tersebut, bagaimana mereka mempersiapkan pendakian, perjuangan mencapai puncak, kesalahan kecil yang berakibat fatal sampai akhirnya ketegangan ketika bencana menghampiri mereka. Semua dikemas dalam cerita yang berjalan pelan tapi memikat.

Ketegangan dalam film ini memang terasa lebih nyata dibanding ketegangan dalam film yang bergenre hampir sama seperti Vertical Limit. Mungkin karena film ini diangkat dari kisah nyata sehingga tidak ada penggambaran drama yang terlalu berlebihan. Secara sinematografi film ini juga memikat, berhasil menggambarkan dengan baik perjuangan “orang-orang gila” itu mendaki ke puncak Everest.

Film berdurasi 121 menit ini cukup menyenangkan untuk ditonton. Bingkai awal bahwa kisah ini diangkat dari kejadian nyata membuat kita bisa benar-benar ikut merasakan ketegangan perjuangan para tokoh dalam kisah ini, ikut merasakan dada yang sesak karena oksigen yang menipis serta tubuh yang tertusuk rasa dingin.

Salah satu film yang patut ditonton di tahun ini, khususnya bagi mereka yang senang memompa adrenain dengan mendaki gunung. Pada akhirnya saya hanya melihat Everest sebagai tempat yang mahal untuk membuang nyawa. [dG]