Sejarah panjang jurnalistik Indonesia tidak bisa dilepaskan dari keberadaan Tempo, majalah yang sudah berumur 41 tahun dengan jutaan kisahnya.
Sekitar tiga puluh wartawan berkumpul di tahun 1971. Dari kepala mereka muncul satu ide yang sama, menerbitkan sebuah majalah yang betul-betul baru dan belum pernah ada samanya di negeri ini. Maka kemudian lahirlah majalah Tempo.
Majalah baru ini lahir dari rahim puluhan wartawan idealis, dibiayai oleh uang pinjaman dari sebuah yayasan. Di hari pertama dia lahir ke bumi, Tempo sudah menunjukkan kalau dia bukan bayi biasa. Dia akan tumbuh jadi anak, remaja dan orang tua yang menggoreskan banyak catatan dalam buku sejarah jurnalistik negeri Ini.
Bunyi “Krak” Dalam Tragedi Minarni. Itu judul berita dalam terbitan perdana Tempo di awan 1970. Judul yang tertera di halaman depannya adalah Tragedi Minarni. Ini sebuah terobosan baru, sebelumnya tak pernah ada majalah atau koran di Indonesia yang memilih judul seperti itu. Benar-benar sebuah bayi yang aneh dengan pembawaan yang aneh.
Dan itu terus bergulir. Bertahun-tahun kemudian Tempo terus berkembang makin baik dan makin baik. Mereka terus mengembangkan model penulisan feature dan bahkan dicontoh banyak orang di kemudian hari. Tempo juga perlahan mengkilapkan model jurnalisme investigasi. Mereka jadi media terdepan yang membongkar sebuah kisah dengan sangat mendetail dan sarat fakta. Seperti sebuah senter yang disorotkan tepat di sebuah kamar yang gelap gulita.
Model itu tentu menyimpan resiko. Tempo dua kali terjatuh. Tahun 1982 mereka dilarang terbit. Pemerintah orde baru memang sensi, gampang tersinggung dan tentu saja gampang main kayu. Kala itu Tempo istirahat 4 bulan, mereka hanya bergetar. Tak sempat goyah hingga ambruk.
Tahun 1994 bencana itu datang lagi. Kali ini lebih heboh. Karena pemberitaan investigatif soal pembelian kapal perang ex Jerman Timur, Soeharto murka. Tempo ditutup, kali ini benar-benar ditutup. Mereka tidak cuma tergetar, tapi jatuh. Roboh.
Empat tahun kemudian barulah mereka bisa bangkit lagi ketika reformasi digulirkan. Mereka coba berdiri kembali, menata ulang kemapanan yang sudah sempat mereka rasakan selama dua puluh tahun. Belajar ?dari kesalahan masa lalu, Tempo kini mencoba menghidupkan kapal-kapal cadangan agar ketika kapal induk digoyang mereka masih bisa berharap pada kapal-kapal cadangan.
Buku “Cerita di Balik Dapur Tempo” adalah kisah panjang tentang Tempo dari sejak awal didirikan hingga ulang tahun mereka yang ke-40. Di dalamnya diceritakan dengan detail awal perjalanan mereka, rapat-rapat perdana, terbitan perdana hingga usaha mereka untuk tetap bertahan selama ini.
Tempo sudah melahirkan banyak nama-nama beken di dunia jurnalistik. Karni Ilyas, Bondan Winarno, Budiono Sudarsono dan Dahlan Iskan hanya segelintir nama beken yang lahir dari Tempo. Mereka memang punya standar tinggi untuk bisa merekrut para karyawan dan menjadikan mereka seorang wartawan. Tak mudah untuk sampai pada level itu.
Cerita di Balik Dapur Tempo menarik, seperti sebuah pintu yang dibuka dengan beberapa orang yang siap mengantar kita melihat-lihat isi dapur sebuah rumah besar. Mereka bercerita apa adanya, tidak ada narsisme. Atau setidaknya berusaha ditekan. Tidak ada ke-aku-an. Semua mengalir seperti bagaimana seharusnya air mengalir.
Buku ini memang nyaman dibaca, utamanya buat anda yang tertarik pada dunia jurnalistik. Membaca buku ini rasanya seperti menghirup aroma masakan yang menggugah selera dari sebuah dapur. Buku yang layak baca.
[dG]