Wisata Bahari SulSel ; Raksasa Yang Tertidur

Tinabo
Tinabo
Tinabo oh Tinabo

Tulisan ini adalah catatan dari acara diskusi akhir tahun yang digelar ISLA-Unhas tanggal 21 Desember semalam.

Indonesia adalah negara kepulauan, sejak dari jaman SD kita sudah dijejali dengan kata-kata itu. Luas laut Indonesia jauh lebih besar dari luas daratan. Sayangnya, dari SD sampai sekarang kita belum lihat bagaimana Indonesia menjadi besar karena kekuatan kelautannya. Dari hasil tangkapan kita masih kalah dari Jepang dan bahkan Thailand. Dari hasil wisata ? Jangan ditanya lagi, ada sederet nama-nama negara tetangga yang justru lebih gendut dari hasil pariwisata bahari.

Masalahnya di mana ? Kenapa kita belum maksimal memanfaatkan kekayaan laut kita ? Kenapa fakta yang ada justru fakta kalau kekayaan alam bawah laut kita mulai tergerus ?

Dalam diskusi kelautan yang digelar Ikatan Sarjana Kelautan UNHAS di gedung BAKTI hari Rabu kemarin tergambar jelas beberapa fakta tentang masalah yang dihadapi oleh negeri kita di sektor kelautan dan perikanan. Fakta paling utama adalah kurangnya perhatian pemerintah terhadap pengembangan sektor kelautan, entah itu yang menyangkut pemberdayaan masyarakat, pemanfaatan potensi kelautan hingga pengembangan sektor pariwisata.

Nelayan setempat yang perahunya kami sewa

Sejarah Indah Kelautan SulSel dan Masalahnya Kini

Sulawesi Selatan sebenarnya pernah jaya di sekor kelautan. Pada abad ke 15, kerajaan Gowa di bawah kepemimpinan Tumapakrisika Kallonna memindahkan ibukota kerajaan dari Kalegowa ke Somba Opu yang terletak di pesisir pantai barat Sulawesi. Itu menjadi tonggak awal kejayaan maritim kerajaan Gowa.

Selama seratus tahun lebih kerajaan Gowa menjadi pusat perdagangan yang sangat maju. Puluhan negara asing membuat pos dagang di Somba Opu, ratusan kapal asing berlabuh dan berdagang di ibukota kerajaan itu. Para pelaut Bugis-Makassar juga dikenal sebagai pelaut yang tangguh, mengitari separuh bumi dan berlayar jauh hingga ke Australia, Afrika dan Eropa.

Kepemimpinan yang tidak cakap, rongrongan dari dalam dan kemudian disempurnakan dengan serangan oleh VOC membuat kerajaan Gowa runtuh dan sejak itu, kejayaan maritim kerajaan Gowa dan Sulawesi Selatan seperti hilang nyaris tak berbekas.

Dua indikasi utama makin suramnya kondisi laut Sulawesi Selatan yaitu hutan mangrove dan terumbu karang yang kondisinya makin mengenaskan. Bahkan satu indikasi kecil lainnya adalah makin maraknya ikan hias yang diperjualbelikan sebagai makanan. Ini pertanda kalau ikan komersil juga mulai surut dan susah untuk didapatkan.

Sebuah NGO bernama MAP ( Mangrove Action Project ) memaparkan fakta bahwa sebuah pulau di sekitar Makassar bernama Tanakeke telah kehilangan sekitar 1500 Ha hutan mangrove di rentang waktu antara 1974 hingga 2010. Sebuah angka yang cukup mengerikan. Saat ini MAP sedang menggalang usaha berbasis kerakyatan untuk mengembalikan hutan mangrove yang hilang tersebut.

Fakta mengerikan lainnya dibeberkan oleh bapak Syafyudin Yusuf seorang ahli terumbu karang dari UNHAS. Terumbu karang sebagai hutannya laut semakin hari kondisinya semakin memprihatinkan. Dari data yang ada, saat ini jumlah terumbu karang di Indonesia yang berada dalam kondisi sangat baik hanya sekitar 5%-6% sedangkan yang berada dalam kondisi sangat buruk sekitar 32% – 40%. Masalah terbesar adalah pada kerusakan akibat meningkatnya suhu bumi selain tentu saja faktor lain seperti pengeboman ikan, penggunaan racun ikan dan pembuangan limbah ke laut. Sayangnya kondisi buruk terumbu karang ini justru banyak terjadi di kawasan Indonesia Bagian Timur.

Wisata Bahari SulSel yang Belum Tersentuh

Dua sesi terakhir lebih banyak membahas tentang pariwisata bahari Sulawesi Selatan yang seperti masih jalan di tempat dan belum disentuh dengan serius, utamanya tentang pariwisata Taka Bonerate. Sebagai orang yang pernah diajak mengunjungi Taka Bonerate saya memberikan testimoni betapa indahnya kawasan taman nasional di Selatan pulau Sulawesi itu, tapi sekaligus juga betapa susahnya untuk bisa sampai ke sana.

Entahlah, saya sendiri sebagai warga biasa yang hanya berstatus sebagai penikmat laut masih selalu gregetan melihat kurang gesitnya pemerintah Provinsi dan daerah di Sulawesi Selatan untuk menggali lebih dalam potensi wisata baharinya. Tidak usah bicara jauh-jauh soal Taka Bonerate, di sekitaran Makassar masih banyak pulau-pulau indah yang belum dikelola maksimal, semua masih berjalan separuh hati dan itupun sebagian besarnya hanya digerakkan oleh pihak swasta.

Pak Januar Jaury, seorang pengusaha yang sekarang menjadi anggota DPRD membeberkan fakta kalau sektor pariwisata sesungguhnya bisa memberikan dukungan finansial yang sangat besar untuk pendapatan daerah. Beberapa negara di dunia ini menggantungkan nasib mereka pada sektor pariwisata, dan berhasil. Kenapa Indonesia tidak bisa ?

Di akhir acara, sebagai seorang blogger saya menyodorkan ide untuk sebuah kolaborasi antara berbagai pihak yang punya perhatian serius dengan masalah kelautan. Saya menyodorkan ide untuk melibatkan para blogger secara lebih aktif khususnya sebagai corong promosi wisata kelautan Sulawesi Selatan. Contoh terakhir adalah ketika kami diajak ke Taka Bonerate, deretan tulisan tentang Taka Bonerate serta twit-twit dan foto-foto di Facebook sedikit banyaknya telah membuka mata banyak orang kalau ada tempat yang sangat indah di selatan Sulawesi. Sebuah tempat yang memang belum banyak diketahui orang Indonesia.

Saya yakin dengan kerjasama dan kolaborasi antar banyak pihak, wisata bahari yang selama ini seperti raksasa yang sedang tidur bisa bangun dan menjadi penyumbang devisa yang besar bagi negeri kita, atau dalam skala kecil bagi provinsi Sulawesi Selatan.