Terusik Suara Berisik

Deretan batik Madura yang hampir diklaim Malaysia
Deretan batik Madura yang hampir diklaim Malaysia

Negeri kita kaya, hanya kadang kita tidak sadar apa yang kita punya sampai kemudian tetangga kita berisik ingin merebutnya. Ketika itulah nasonalisme kita bangkit. Tapi, apakah memang harus seperti itu?

“Saya memulai bisnis batik di waktu yang tepat. Ketika Malaysia ribut mau mengklaim batik, ketika itu juga orang Indonesia mulai sadar kalau mereka punya warisan leluhur bernama batik. Ketika itu juga batik kemudian jadi laris.” Kata pak Alam, seorang pengusaha batik di desa Tanjung Bumi, Bangkalan kepulauan Madura.

“Kalau begitu pak Alim harus berterima kasih sama Malaysia dong. Kalau mereka tidak berniat mengklaim batik, maka batik mungkin tidak akan sepopuler sekarang.” Kata saya sambil berkelakar.

Di luar dugaan saya, pak Alim lelaki 36 tahun itu dengan bersemangat menimpali, “Iya! Betul itu!”

Terus terang, kalimat yang saya lontarkan itu muncul begitu saja di kepala ketika pak Alim menyinggung nama Malaysia dalam ceritanya. Dalam sepersekian detik saya berpikir, bagaimana seandainya Malaysia tidak berniat mengklaim batik? Akankah anak-anak muda kita masih percaya diri mengenakan batik kemana-mana? Atau mereka akan tetap menganggap batik sebagai pakaian orang tua yang tidak up to date dan ketinggalan jaman?

Terima kasih kepada Malaysia yang sudah berniat merebut salah satu warisan leluhur orang Indonesia itu. Karena kepongahan mereka, orang Indonesia lantas terusik. Seperti kawanan lebah yang tak rela ketika sarang mereka diusik, orang-orang Indonesia bersuara keras. Kita mengecam Malaysia, melekatkan tulisan MALING di jidat mereka dan berusaha merebut kembali warisan leluhur yang hampir saja diakui mereka.

Sebelum Malaysia mengusik batik, kita hanya sekumpulan orang Indonesia yang mengabaikan karya tangan yang diturunkan dari generasi ke generasi itu. Batik hanyalah pakaian buat orang tua, tak pantas dikenakan mereka yang muda dan gaul. Batik terlalu kaku untuk dijadikan bagian dari busana keseharian, hanya pantas dipakai ke acara kawinan atau hajatan resmi.

Terpujilah Malaysia yang dengan kepongahannya berusaha merebut batik. Kita lantas terusik, pemerintah bereaksi, mendaftarkan batik sebagai warisan leluhur orang Indonesia. Orang-orang kreatif mencari cara membuat batik terlihat lebih muda dan gaya. Perlahan tapi pasti batik jadi bagian keseharian orang Indonesia, berlalu lalang di jalan-jalan, kantor-kantor hingga ke dalam gedung mall yang licin dan megah. Batik seketika jadi tren busana, tak lagi sekadar warisan tua yang dilupakan.

Diusik Dulu, Baru Bangkit?

Kisah Malaysia yang sudah mencoba mengambil kekayaan budaya kita bukan barang baru. Ibarat repetisi, apa yang dilakukan negeri jiran kita itu terulang berkali-kali. Bukan hanya batik, keris, wayang hingga tarian sempat mereka masukkan dalam katalog wisata Malaysia. Dijual sebagai bagian dari kekayaan mereka.

Ketika Malaysia melakukannya, dengan cepat kita tersentak. Sebagian turun ke jalan, mengoceh deras bahkan mengumpat menyebut mereka sebagai maling. Nasionalisme kita tersentak, merasa ada bangsa lain yang mencoba menggerus kehormatan sampai kita harus turun ke jalan dan melawannya. Sebagian malah sudah bersiap menghunus senjata, bersiap dikirim ke tanah jiran untuk menebas sang maling bangsa.

Tapi apakah rasa nasionalisme dan kebangsaan itu memang harus diusik dulu sebelum bangkit?

Kurang apa sih negeri kita? Dari sabang sampai Merauke berjajar ragam keindahan yang tak perlu kita ragukan lagi. Gunung, pantai, danau, hutan dan apa saja kita punya. Warisan budaya kita tak kalah panjang daftarnya, membentang di sekujur Nusantara ini. Kita mungkin hanya punya satu kekurangan, kurang sadar kalau kita punya semua. Sampai kemudian negeri-negeri tetangga dan negeri-negeri jauh datang ke Indonesia dan mereguk manisnya harta negeri ini.

Suatu Sore Di Selayar
Suatu Sore Di Selayar

Di Selayar Sulawesi Selatan, seorang warga negara Jerman menyewa sebuah kawasan untuk dikelola sebagai resort. Dengan profesionalitas tinggi dia mengelola kawasannya, tidak membiarkan orang seenaknya masuk dan merusak alam di sekitar resortnya. Nelayan yang kedapatan menjala ikan di dalam kawasan resortnya akan ditangkapi dan jalanya dipotong. Mereka yang baru berusaha masuk akan diusir menjauh.

Beberapa orang menganggapnya sebagai penjajahan baru. “Ini tanah kita, kenapa kita yang diusir?” Tanya mereka. Nasionalisme bergolak, tak terima ketika tanah leluhur dikangkangi orang berkulit putih yang datang dari negeri jauh. Tapi salahkah si orang Jerman itu? Dia hanya melihat peluang bisnis di negeri yang indah ini. Dengan modalnya dia mengikuti semua aturan, menyewa kawasan dan membangun resort. Dengan profesionalisme yang tinggi dia mengelola resortnya, menjauhkannya dari tangan-tangan tidak bertanggungjawab yang bisa merusak modal yang dia tanamkan. Entah karena dia memang mencintai alam atau semua karena uang, yang jelas dia menjaga apa yang sudah dia mulai sampai kemudian dia main kayu, main kasar hanya demi menjaga aset yang sudah dia bangun.

Salahkah dia ketika bangsa kita hanya mampu melihat kekayaan alam ini tanpa tahu bagaimana mengelolanya?

Bangsa kita kaya, apa yang tidak ada di Indonesia? Tapi mungkin saking kayanya kita lupa atau tidak tahu bagaimana cara mengelolanya, sampai kemudian orang asing datang dan mengelolanya buat kita. Sampai kemudian rasa nasionalisme kita terasa terusik, lantas kita berteriak dan mengumpat mereka. Kadang kita hanya sibuk melihat keluar, bergumam kagum pada negeri jauh yang lebih hebat padahal kita juga punya harta seperti mereka, bahkan mungkin lebih.

Malaysia sudah berhasil mengusik nasionalisme kita, di belakang mereka ada banyak orang-orang asing lainnya yang mengelola tanah kita dengan cara mereka. Nasionalisme mungkin baru bisa bangkit ketika kita terusik suara berisik. Jadi, berapa banyak Malaysia-Malaysia lainnya yang harus datang mengusik sampai kita sadar kalau kita punya banyak harta yang bisa dibanggakan? Berapa banyak Malaysia-Malaysia lain yang berisik dan membuat kita terusik kemudian bangkit atas nama nasionalisme? Coba tanyakan pada diri kita sendiri [dG]