Terminal Bungurasih, Surabaya
Tiap kota di Indonesia sepertinya punya terminal, tempat berkumpulnya bus atau kendaraan umum lainnya yang melayani trayek dalam kota maupun ke luar kota. Salah satu terminal yang paling sering saya datangi adalah Terminal Purbaya, atau terminal Bungurasih Surabaya. Terminal yang menurut saya lumayan bersih dan nyaman.
Dalam kurun waktu dua tahun ini saya cukup sering bolak-balik ke Jawa, entah ke Semarang ataupun ke Jogja. Perjalanan biasanya saya lakukan dengan menggabungkan perjalanan via udara dan darat, tentu saja karena pertimbangan ongkos yang lebih hemat. Surabaya kemudian jadi pintu gerbang saya menginjakkan kaki di pulau Jawa, dan tentu saja terminal Purbaya (atau lebih akrab disebut terminal Bungurasih) menjadi gerbang utama menuju kota lain di pulau Jawa.
Dari bandara Juanda saya akan langsung naik ke Damri bandara yang memang tujuannya ke terminal Bungurasih. Cukup dengan Rp. 15.000,- dengan perjalanan sekitar 30-45 menit ( di luar macet ) kita akan sampai ke dalam kawasan terminal Bungurasih.
Pertama kali menginjakkan kaki di terminal ini sekitar tahun 2002, waktu itu sepertinya terminal Bungurasih belum serapih sekarang. Terakhir kali ke Bungurasih bulan Juni 2011 kemarin, kondisi terminal ini terlihat sudah jauh lebih bersih dan rapih. Uniknya, salah satu toilet di dekat pintu masuk menyediakan air panas, lumayan bagi para penumpang atau calon penumpang yang ingin melemaskan otot dengan mandi air hangat.
Bagi saya kondisi toilet umum menjadi salah satu indikator kebersihan, dan saya merasa kalau terminal Bungurasih lumayan bersih. Toilet umumnya tidak berbau, dan kondisi lantainya bersih dari sampah ataupun air yang menggenang. Kondisi lantai yang bersih otomatis membuat para pengunjung jadi merasa segan juga untuk membuang sampah sembarangan. Hanya mereka yang benar-benar tak punya perasaanlah yang tega mengotori lantai yang bersih.
Kondisi lain yang cukup mengesankan adalah larangan merokok di sembarang tempat. Saya tidak tahu bagaimana kondisi terminal yang lain di Indonesia, tapi di Bungurasihlah untuk pertama kalinya saya melihat satu ruangan khusus bagi para perokok. Ruangannya ada dua, berbentuk sekat seukuran kira-kira 2.5 x 2.5 M yang tertutup dan di bagian atasnya ada exhaust fan. Nah, di dalam sekat yang merupakan gabungan antara gypsum dan kaca itulah para perokok bisa memuaskan hasrat mereka. Bagaimana dengan kondisinya ? wah, jangan ditanya. Pengap, bau rokok yang menyengat dan tentu saja kotor plus berantakan oleh abu dan puntung rokok yang bertebaran. Meski di dalam smooking room ada asbak besar, tapi tetap saja para perokok sepertinya tidak terlalu peduli untuk membuang abu dan puntungnya di tempat yang seharusnya.
Hal unik yang pertama kali saya temukan di Bungurasih adalah sebuah panggung besar di tengah ruang tunggu. Panggung ini diisi oleh seorang pemain organ tunggal dan seorang penyanyi wanita yang melantunkan mayoritas lagu dangdut dan lagu campur sari untuk menghibur calon penumpang. Belakangan saya juga melihat pertunjukan yang sama di stasiun Tawang, Semarang. Bahkan di Semarang kondisinya lebih unik lagi karena bukan cuma organ tunggal melainkan satu set alat musik keroncong !
Lumayan sebagai hiburan menunggu angkutan bergerak.
Ada hal lain yang cukup nyaman bagi saya di Bungurasih, yaitu keberadaan para supir taksi atau awak bus yang menawarkan jasa. Mereka tidak terlalu mengganggu, hanya bertanya sekadarnya dan ketika kita menggeleng atau menolak, mereka akan segera berlalu. Setidaknya ini lebih nyaman daripada cara para supir taksi, mobil rental dan tukang ojek di bandara Sultan Hasanuddin yang kadang sudah sampai pada tahap menjengkelkan.
Sejak beberapa tahun terakhir ini saya sudah tidak pernah menemukan calo lagi di Bungurasih, padahal saya pernah punya pengalaman buruk dengan calo di terminal Bungurasih. Kejadiannya di tahun 2002 ketika untuk pertamakalinya saya menginjakkan kaki di sana dengan tujuan ke Semarang.
Waktu itu saya benar-benar masih lugu, dan mungkin karena tampang saya yang kebingungan maka seorang calo kemudian mendekati saya. Dengan gaya yang agresif sambil menanyakan tujuan dia menarik tas yang saya bawa. Ketika saya jawab saya mau ke Semarang, si calo kemudian mengajak saya ke sebuah tempat yang dia sebut sebagai kantor.
Saya mengikutinya menyusuri lorong yang berliku. Waktu itu perasaan saya sudah mulai tidak enak, tapi saya pasrah saja. Tak lama kemudian kami sampai di sebuah ruangan yang sekilas memang tampak sebagai kantor agen perjalanan. Di kaca jendelanya yang besar ada tulisan nama-nama kota dan nama sebuah agen perjalanan. Si calo kemudian menyodorkan sebuah kertas dilaminating bertuliskan beragam trayek beserta harganya. Harga paling murah ke Semarang waktu itu saya lihat Rp. 50.000,- itupun kelas ekonomi. Saya yang benar-benar masih tolol waktu itu langsung saja menyerah dan sepakat mengambil tiket kelas ekonomi.
Berikutnya si calo mengantar saya naik ke atas sebuah bis yang memang akan menuju ke Semarang. Saya makin tidak nyaman ketika saya sadar kalau saya tidak memegang satupun tanda terima entah itu berbentuk karcis atau kwitansi. Dan benar saja, ketika sang kenek bis meminta bayaran dan saya menjawab. ” Saya tadi sudah bayar pak sama bapak di terminal tadi “, si kenek langsung menjawab, ” Wah dek..kamu kena tipu, yang tadi itu calo. Penipu..”
Damn !! Saya langsung lemas waktu itu. Apalagi ketika menyadari kalau tiket kelas ekonomi ke Semarang hanya 20 ribuan. Akhirnya saya kembali membayar harga resmi tiket ke bapak kenek dan harus merelakan uang 50 ribu saya melayang begitu saja. Peristiwa itu jadi sebuah pelajaran penting, berikutnya saya tidak pernah lagi mau berurusan dengan siapa saja yang menawari saya bis di gerbang terminal. Sekarang, setiap tiba di Bungurasih saya akan dengan pedenya melenggang ke dalam terminal dan kemudian menuju jalur 1, jalur tempat mangkalnya bis yang ke Semarang atau Jogja.
Entah karena saya yang sudah tau celahnya atau memang praktek seperti itu yang sudah dibersihkan, yang jelas beberapa tahun belakangan ini saya sudah tidak pernah lagi menemukan orang yang menawarkan bis tanpa berpakaian seragam salah satu P.O. Mudah-mudahan saja memang benar praktek seperti itu sudah dibersihkan daripada makin banyak lagi yang jatuh korban.
Yah setidaknya saya harus mengacungkan jempol untuk pemerintah kota Surabaya yang sudah berupaya menjadikan terminal Bungurasih sebagai terminal yang relatif aman dan nyaman. Setidaknya bisa menjadi pintu gerbang menuju kota-kota lain di pulau Jawa. Suatu saat nanti, ketika saya kembali lagi ke sana, semoga Bungurasih makin nyaman.
Wah memang baru kali ini saya tahu ada panggung dangdutan di sebuah terminal, tapi seumur-umur saya belum pernah mampir ke Terminal Bungurasih ini, Daeng..
saya juga baru nemu tuh, dangdutan di tengah terminal..hihihi
wah sepertinya PD. Terminal Makassar harus studi banding ke bungurasih nih 😀
ho’oh..tojeng..
saya belum pernah ke terminal Daya iyya, tapi kayaknya berantakan ya ?
Knapa jah, sahaja selaloe merasa paranoid djikalaoe berada di itu terminal boengoerasih. Terlaloe banjak manoesia bertampang mentjoerigakan…
sepertinja anda haroes berkoenjoeng lagi ke Boengoerasih..
soedah jaoeh lebih baik sekarang
**deh, susah nulis dalam bahasa Indonesia jadoel ternyata**
wah sudah rapi dan tertib seprti itu ya? terakhir 2 tahun ke sana, masih beberapa sampah berserakan, dan tentunya para calo, entah kapan bisa dipercaya masih berkeliaran. Baguslah bungurasih yg terkenal calonya parah itu bisa berubah sedemikian rupa 🙂
Iya Rul, keliatannya Bungurasih sudah jauh lebih baik..
saya juga belum pernah mampir ke sana …
ya, ntar kalo mampir sana ditulis kesan-kesannya ya..? 🙂
makasih sudah mampir
Sayang mas, terminal di Jayapura nggak ada yang beres.
Semuanya kotor, termasuk toiletnya.
Kesadaran masyarakatnya masih kurang 🙁
hehehe, samalah..di Makassar juga kondisi terminalnya berantakan
perencanaan alokasi dana sangat menentukan hasil dari bepergian kita sepertinya mas 🙁
hehehe, iyya bener juga.
dana yang lebih besar tentu bepergiannya juga bisa lebih jauh
yup
Bungurasih makin hari makin baik emang
dan Rusa tau itu, karena Rusa kan premannya Bungurasih
haddeh..!!!
sebuah kehormatan, blog saya dikunjungi premannya Bungurasih..hihihihi
terakhir kali saya ke Bungurasih adalah tahun 2009. Malah sempat menginap di salah satu hotel dekat situ setelah transit dari Banyuwangi. Ah, jadi pengen ke Surabaya lagi 😀
Dulu setiap masuk di kota Surabaya saya selalu merasa deg-degan, entah kenapa, apalagi di terminalnya. Terakhir tahun 2006 saya ‘mampir’ di Bungurasih dari Jogja, terasa sekali bedanya antara orang2 (baca : calo) di terminal Jogja dgn di Bungurasih yang suka tarik2 tas penumpang.
Info dari beberapa teman yang juga liburan ke Surabaya baru2 ini, sekarang Surabaya jauh lebih bersih dan rapi.
Kayaknya pemkot Makassar perlu tuh stuband ke Surabaya, tak perlu jauh2 ke LN 😀
trimakasih pak,,,, ini jadi bahan referensi buat saya,,, saya mau mudik biasanya naek kereta ,,, karena kereta sekarang harus beli tempat duduk, sering ga kebagian ,,, nyoba naik bis,,, tapi agak ngeri denger denger dari temen katanya banyak yang narik narik di terminal bungur,,, setidaknya tulisan bapak bisa melegakan saya ,,,
Salam kenal min, terima kasih atas artikelnya, sangat berguna sekali
Dangdutannya udah gk ada,,hehehe
Saya salutnya ama terminalnya yg asongan udah pake seragam semua jdi gk sembarangan jualan,,untuk keamanan tergantung kita nya,,lebih baik bertanya kepda petugas yg pakaian dinas resmi,,