Solo, Kota Yang Aneh!

Satu sisi kota Solo
Satu sisi kota Solo

Kota di jantung Jawa Tengah ini unik, warganya terkenal halus dalam tutur kata dan budi pekertinya tapi ternyata mampu menjadi penyelenggara event musik Rock yang terkenal keras dan hingar bingar.

“Pak, ke stasiun ya. Ongkosnya berapa?” Tanya saya pada seorang bapak tukang becak yang sedang asyik bersantai di atas becaknya. Lelaki tua itu dengan cekatan turun dari becaknya dan bergegas menyilakan saya naik ke atas becaknya.

“Terserah bapak mau bayar berapa.” Ujarnya sambil disertai senyum tipis tersungging di bibir. Saya mengernyitkan dahi. Ini adalah untuk ketiga kalinya saya mendengar jawaban yang sama dari bibir tukang becak. Terserah bapak mau bayar berapa. Duh! Saya harus bayar berapa? Saya ini hanya wisatawan lokal yang tersesat di kota yang tak jauh dari Sragen ini.

Jawaban si bapak tukang becak yang satu ini dan teman-teman tukang becaknya yang lain saya artikan sebagai bagian dari sifat njawani. Dalam pengetahuan saya orang Jawa bukan orang yang suka berterus terang, mereka sangat menghormati perasaan orang lain sehingga sebisa mungkin memberikan jawaban yang bias dan harus diartikan dengan kepekaan tertentu. Buat saya yang orang Makassar, ini menyulitkan! Bangsa kami sudah terbiasa dengan ceplas-ceplos, kami akan bilang apa yang kami tidak suka, kami tidak terbiasa dengan jawaban yang memutar-mutar.

Solo seperti juga Yogyakarta buat saya adalah representasi dari budaya Jawa. Solo bahkan pernah menggelari dirinya sebagai the spirit of Java, jiwa dari Jawa. Berkunjung ke Solo berarti menemukan banyak jejak budaya dan peradaban Jawa. Bukan hanya dari sikap warganya yang njawani seperti salah satu contoh tukang becak di atas tapi dari hampir sekujur kota. Batik dan wayang adalah dua ornamen yang paling gampang ditemukan di kota ini, dengan cepat otak akan mengirim sinyal yang memastikan kalau kita memang ada di kota yang dihuni mayoritas oleh orang Jawa.

Rock di kota yang njawani?

Mendengar kata Jawa maka mungkin yang terbayang di kepala adalah kehalusan tutur kata dan budi bahasa, atau musik gamelan yang mendayu-dayu dan menghanyutkan. Solo yang lekat dengan kata Jawa rupanya sedikit berbeda. Ketika pertama kali datang ke kota ini saya bukannya diajak untuk menyaksikan sebuah pertunjukan sendratari, wayang orang atau wayang kulit. Saya malah diajak menonton sebuah pertunjukan musik rock!

Panggung Rock In Progressive Art kala itu
Panggung Rock In Progressive Art kala itu

Ketika itu saya digeret ke auditorium RRI tempat beberapa band rock lokal kota Solo tampil dalam aroma rock progressive yang kental. Dengan cepat saya larut dalam deretan lantunan lagu milik Genesis, Dream Theatre dan band-band lain yang tidak saya kenal. Sebagian pemusik yang asyik masyuk di panggung itu adalah orang-orang yang tidak muda lagi, mungkin selisih 20an tahun dengan saya.

Aneh bukan? Di kota yang akrab dengan Jawa ini saya malah diajak menyaksikan sendiri gelaran musik yang mengutamakan irama keras, cepat dan menghentak. Hebatnya lagi, ini bukan satu-satunya event rock di kota Solo. Setiap tahun kota ini rajin menggelar Rock In Solo yang sebagian besar pengisi acaranya adalah band-band yang benar-benar cadas! Tapi itulah hebatnya Solo, kota ini seperti selembar kain batik yang di dalamnya ada banyak guratan saling bersilangan membentuk pola simetris. Ramai, saling bersinggungan tapi indah dipandang mata.

Ketika kata terorisme seperti jadi virus mematikan di negeri ini, Solopun kena getahnya. Apalagi kalau bukan pesantren Al Mukmin Ngruki dengan Ustadz Abu Bakar Baasyir yang jadi pemicunya. Sang ustadz beserta murid-muridnya kena tuding sebagai bagian jaringan terorisme di negeri ini, dan Solo sebagai kota tempat mereka berdiam ikut terkena getahnya dicap sebagai kota sarang teroris.

Tapi selepas badai terorisme itu Solo beruntung punya badai yang lain, apalagi kalau bukan Joko Widodo. Bapak bertubuh kurus ini perlahan tapi pasti muncul sebagai sinar terang dari kota yang sempat menderita juga di jaman kerusuhan tahun 1998. Sudah banyak literatur yang mencatat aksi Jokowi sehingga percuma saya memaparkannya di sini. Saya hanya tahu bahwa segala catatan tentang Jokowi itupula yang membuat saya menoleh ke kota yang dulu tidak terlalu menarik perhatian saya itu.

Nyanyi Rock Sambil Berblankon!
Nyanyi Rock Sambil Berblankon!

Bukan kesuksesan Jokowi yang membuat saya tertarik, tapi kecintaaannya pada musik rock. Dulu saya mengira sang walikota Solo itu hanya pencitraan saja ketika dia tampil dengan kaos oblong hitam berlogo band rock. Sampai kemudian saya melihat sendiri bagaimana geliat musik rock begitu kental di kota bernuansa Jawa ini. Hebatnya lagi karena keesokan harinya saya mendapati pemusik keroncong di sebuah tempat makan asyik memainkan lagu daerah Jawa. Geliat rock yang lebih modern ternyata tidak serta merta mematikan musik yang lebih lawas.

Rock dan Jawa sebenarnya tidak matching, satu keras menghentak, satunya lagi lembut mendayu. Tapi herannya, Solo berhasil menyatukan keduanya dan membuatnya tampil sebagai satu harmonisasi yang malah sedap dipandang mata. Aneh ya? Saya sendiripun berpikir begitu sampai kemudian saya merasa kalau Solo mungkin kota yang aneh. Kota yang bisa menyatukan dua sisi yang berbeda, sisi keras dan sisi lembut.

Duh, saya tiba-tiba jadi ingin ke Solo lagi [dG]