Sekolah Alternatif, Memanusiakan Mereka Yang Terpinggirkan

Demo Anak Jalanan ( foto by ; Okezone )

Ketika berada di lampu merah, seberapa sering anda mendapati anak-anak kecil menengadahkan tangan meminta belas kasihan ke para pengendara ? Pernahkah anda berpikir kalau anak-anak itu tidak seharusnya ada di jalanan dan seharusnya ada di sekolah, menuntut ilmu seperti anak-anak normal lainnya ?

Di Makassar, di sebuah kawasan bernama Tamalanrea ada beberapa anak muda yang meluangkan waktu mereka berusaha mengembalikan anak-anak itu ke sekolah. Anak-anak muda yang seharusnya lebih fokus memikirkan kuliah mereka atau karir mereka ternyata masih meluangkan waktu untuk memikirkan anak-anak jalanan di seputaran kampus UNHAS Tamalanrea.

Anak-anak muda itu tergabung dalam Komunitas Pecinta Anak Jalanan ( KPAJ ) mereka bergerak didasari rasa kemanusiaan yang tinggi, mereka percaya kalau anak-anak itu juga punya hak untuk bersekolah, punya hak untuk ikut merasakan pendidikan yang bisa mengubah jalan hidup mereka. KPAJ percaya kalau jalanan bukan tempat buat anak-anak itu, mereka harusnya ada di sekolah. Bukan di jalanan dan mencari uang, entah untuk makan atau sekadar untuk menyalurkan hobi mereka bermain game online di game centre.

KPAJ yang mulai terbentuk sekitar Februari 2010 berawal dari keprihatinan seorang mahasiswa Teknik Sipil melihat anak-anak jalanan sekitar kampus UNHAS yang tidak bersekolah. Bersama teman-temannya mereka kemudian menggelar Sekolah Ahad, sekolah non formil di mana mereka mengumpulkan anak-anak itu untuk diajar membaca,menulis dan berhitung setiap minggu pagi di dekat danau UNHAS.

Setelah setahun lebih KPAJ sudah semakin mapan. Berbekal donasi dari banyak pihak mereka sekarang sudah punya sekertariat yang mapan sehingga anak-anak itu bisa lebih enak untuk menimba ilmu. KPAJ juga punya program lain, mengembalikan anak-anak itu ke sekolah formil berbekal beasiswa dari beberapa orang tua asuh.

Tidak sedikit tantangan yang mereka terima dalam kurun waktu satu tahun lebih berjalannya KPAJ. Bukan hal yang gampang untuk menggoda anak-anak itu meninggalkan kebiasaan mereka di jalanan? dan menggantinya dengan kebiasaan mencari ilmu. Awalnya anak-anak itu harus dijemput setiap sekolah ahad, tapi seiring berjalannya waktu anak-anak itu kemudian datang dengan sukarela dan sukacita ke sekolah KPAJ.

Suasana belajar KPAJ

Anak-anak didik KPAJ diberi label “Pasukan Bintang”, alasannya mereka ingin menghilangkan strereotip anak jalanan pada mereka dan menggantinya dengan label bintang, pertanda harapan tinggi yang mereka gantungkan pada anak-anak yang kurang beruntung itu.

Di satu sisi lain Makassar ada juga sekelompok anak muda dengan niat yang sama. Dari sebuah perkampungan yang termasuk perkampungan kumuh kota Makassar mereka membentuk sebuah sekolah yang berafiliasi dengan Sokola Rimba milik Butet Manurung. Namanya juga Sokola, dan mulai berdiri sejak tahun 2004.

Seperti KPAJ, Sokola juga butuh waktu untuk bisa masuk ke dalam kehidupan warga pesisir Mariso yang didominasi oleh para pekerja non formil dan beberapa pecandu alkohol. Bukan hal yang mudah, tapi dengan niat yang kuat para personil Sokola perlahan tapi pasti bisa merebut kepercayaan dari penduduk sekitar sehingga semakin hari para orang tua di sekitar Mariso bisa mempercayakan anak-anakmereka belajar di Sokola. Bahkan, anak-anak itu belakangan jadi semakin betah di Sokola. Adegan anak sekolah yang dipaksa masuk sekolah sekarang sudah tidak ada, malah sebaliknya. Anak-anak itu harus dipaksa pulang ketika mereka masih betah di sekolah sementara guru-gurunya mau beristirahat.

Sejak tahun 2006 Sokola punya kegiatan baru. Mereka diminta untuk mengajar di sebuah tempat terpencil di Sulawesi Selatan. Sebuah suku bernama suku Kajang yang merupakan salah satu suku di pedalaman kabupaten Bulukumba. Oleh sang Amatoa ( Ketua Adat ) Sokola diminta mengajarkan anak-anak suku Kajang untuk membaca dan menulis.

Ini bukan persoalan mudah karena suku Kajang masih memegang erat adat istiadat mereka sehingga perlu waktu untuk beradaptasi dengan aturan adat mereka sekaligus mencari cara terbaik untuk proses belajar-mengajar. Cara yang tentu saja tidak boleh disamakan dengan cara mengajar anak-anak di kota misalnya.

Habibi, perwakilan Sokola yang malam itu hadir di acara Tudang Sipulung bercerita bahwa improvisasi dan kreatifitas adalah kunci utama dalam mengajar anak-anak pesisir Mariso, anak-anak di suku Kajang maupun di tempat lain seperti di Flores dan Halmahera yang juga berada dalam naungan Sokola. Mereka tak bisa bertindak kaku sesuai buku teks atau seperti aturan sekolah pada umumnya. Mereka harus pandai-pandai mencari celah agar anak-anak didik itu bisa betah belajar meski itu berarti para pengajar juga harus turun ke sawah atau ke dangau bersama anak-anak didik mereka.

Bagaimana dengan bantuan pemerintah selama ini ? bisa dibilang sama sekali tidak ada, dan itu sangat ironis. Di saat ada anak muda yang mengambil alih sebuah pekerjaan yang seharusnya menjadi tugas mereka, pemerintah malah berucap : sudahlah, kalian kuliah saja yang benar tidak usah pusing-pusing memikirkan urusan seperti itu. Itu jawaban yang diberikan mereka kepada anak-anak KPAJ ketika mereka berusaha mencari dana dari pemerintah.

Lain KPAJ, lain dengan Sokola. Sokola pernah mendapat bantuan dari pemerintah, hanya saja ada yang aneh. Bantuan yang mereka dapatkan sebesar 60% dari anggaran tapi mereka harus membuat laporan pertanggungjawaban sebesar 100%.

Urusan dengan pemerintah yang berbelit-belit dan penuh birokrasi itu yang kemudian membuat teman-teman dari Sokola dan KPAJ berhenti meminta dukungan dari pemerintah. Sumber utama dana untuk menghidupkan program mereka adalah dari donasi warga dan hasil dari penjualan merchandise dan hasil kerajinan tangan anak-anak didik mereka. Sungguh sebuah perjuangan yang tidak gampang untuk sebuah niat mulia.

Malam itu kami sungguh beruntung dipertemukan dengan sekelompok anak-anak muda yang sungguh luar biasa. Anak-anak muda yang tidak hanya memikirkan kesenangan masa muda tapi juga begitu tersentuh melihat anak-anak kurang beruntung di sekitar mereka. Hebatnya lagi karena mekat tidak hanya diam dan merasa kasihan, tapi bergerak dan berbuat sesuatu meski mereka sama sekali tidak mendapat dukungan dari pemerintah.

Anak-anak muda yang luar biasa. Melihat mereka, saya yakin kalau Indonesia belum kehilangan harapan. Indonesia hanya butuh lebih banyak lagi anak-anak muda seperti mereka yang aktif di KPAJ dan Sokola. Anak-anak muda yang memanusiakan anak-anak yang kurang beruntung dan terpinggirkan.