POLIGAMI

Hampir 6 bulan yang lalu kita dikejutkan oleh berita tentang seorang Da’i kondang yang selama beberapa tahun terakhir ini namanya begitu meroket dan mampu mancuri hati jutaan ummat. Da’i yang selalu tampil bersahaja, lemah lembut dan menyejukkan di balik assetnya yang konon berjumlah miliaran rupiah itu. A’a Gym, mengejutkan publik dengan pengakuannya yang telah memilih jalan menduakan istrinya Teh Nini dengan mengambil keputusan berpoligami. Beberapa kalangan utamanya ibu-ibu bereaksi keras terhadap pilihan beliau, sebagian besar di antaranya memilih jalan ekstrem dengan sama sekali tidak mau mendatangi pengajian pimpinan sang Da’i atau bahkan mendengarkan ceramah beliau.

Poligami memang menjadi masalah yang sensitif bagi kaum wanita. Walaupun telah jelas dalam Al Qur’an kalau poligami itu dibolehkan dengan syarat yang sungguh berat, tak urung banyak wanita yang menetangnya karena dianggap telah menciderai hak dan martabat wanita. Dan ketika poligami itu dilakukan oleh seorang public figure, tak urung berbagai reaksipun bermunculan, dan efek dari poligami itu sendiri kkemudian dirasakan banyak kalangan, dari yang terdekat semisal keluarga sampai lingkaran terluar yaitu pelaku bisnis di seputar pesantren A’A Gym.

Sebuah film Indonesia berjudul “berbagai suami” yang mengangkat tema poligami juga menyiratkan bahwa korban terbesar dari sebuah poligami itu selain istri pertama sebenarnya adalah anak-anak. Kehadiran sosok seorang ayah tentu sangat dibutuhkan anak di manapun di dunia ini, baik secara fisik maupun psikis, dan poligami sangat berpotensi mengurangi kehadiran sosok ayah tersebut. Pembagian waktu yang adil antara beberapa istri tentunya membuat anak-anak harus rela-suka atau tidak suka-berbagi ayah dengan saudara-saudaranya yang lain

Bagi beberapa orang pelaku poligami yang sangat paham akan konsekuensi ini, mereka bisa menyiasatinya dengan sangat baik sehingga kualitas kebersamaan antara ayah dan anak bisa tetap terjaga walaupun dengan kuantitas yang kurang. Tapi sayangnya bagi banyak suami yang memilih jalan berpoligami-utamanya yang memiliki tingkat kecerdasan dan kepekaan yang rendah, kebutuhan anak akan kasih sayang tampaknya hanya berada di urutan kesekian alias tidak mendapat perhatian lebih.

Saya sendiri menjadi saksi akan efek negatif poligami dan kurang siapnya sang pelaku mengantisipasi masalah sosial dari poligami ini terhadap anak-anaknya. Tetangga saya kebetulan adalah “korban” poligami. Seorang ibu dengan 3 orang anak yang masih kecil-kecil (anak tertua baru kelas 1 SD). Sang bapak- yang entah punya istri berapa – hanya datang sesekali menengok anak dan istrinya, itupun tanpa menginap (dulu masih sering menginap di akhir pekan, tapi entah kenapa sekarang sudah tidak lagi). Saya bisa melihat binar cemburu di mata anak-anak itu saat anak saya bisa dengan bebasnya bermain bersama saya, mengadu ke saya atau saat kami sekeluarga keluar bersama di akhir pekan.

Terbayang oleh kami (saya dan istri) bagaimana repotnya sang ibu mengurus 3 orang anak yang masih kecil-kecil itu seorang diri, ditambah lagi dengan kerjaan rumah yang saya yakin sangat menguras tenaga. Kami sendiri yang hanya punya satu anak kecil ditambah sederet pekerjaan rumah yang harus diselesaikan, kadang-kadang merasa sangat letih. Makanya tidak heran kami biasa mendapati sang Ibu tetangga kami itu meluapkan kekesalannya pada anak-anaknya dengan cara yang kasar, berteriak dan memaki. Hal-hal ini tentunya akan memberi dampak yang negatif terhadap perkembangan psikologis sang anak nantinya, dan ini sudah mulai kelihatan ketika sang anak juga dengan mudahnya memaki Ibunya saat marah, dan akar utama dari ini semua adalah keputusan poligami sang bapak.

Menurut saya,hal yang terpenting dalam sebuah keluarga yang terlanjur terlibat dalam poligami adalah manajemen waktu. Bagaimana sang Bapak selaku pelaku utama bisa mensiasati waktu yang harus terbagi itu sehingga tidak ada yang betul-betul merasa menjadi korban. Bagaimanapun masa depan anak yang adalah hal terpenting, sehingga usaha membiarkan anak tumbuh dalam keluarga yang utuh walaupun harus terbagi selayaknya menjadi prioritas utama. Anak-anak terntunya memiliki kadar ketahanan yang masih rapuh terhadap perubahan sosial di sekelilingnya bila dibandingkan dengan orangtua. Apa yang terjadi di masa kecilnya tentu akan sangat membekas bagi kehidupannya di masa yang akan datang.

Pesan utama yang ingin saya sampaikan adalah, buat suami yang ingin memilih berpoligami hendaklah berpikir masak-masak tentang ekses yang mungkin akan ditimbulkannya. Islam memang membolehkan poligami-bahkan beberapa kalangan menganggapnya sebagai syariat-namun Islam juga memberi syarat yang sangat ketat tentang poligami ini, jadi sesungguhnya poligami bukan hanya sekadar jalan “halal” untuk memuaskan nafsu. Bagi para suami yang telah meilih jalan poligami dan ternyata sukses menjalaninya, membentuk keluarga yang bahagia dan berkualitas saya hanya bisa menyatakan kekaguman, karena sepertinya hal tersebut tidak akan bisa saya lakukan…