Perginya sang Rujukan Aksara Lontara

Muhammad Salim

Minggu 28 Maret 2011, sebuah kabar sedih beredar lewat beberapa akun twitter teman di Makassar. Isinya tentang kabar meninggalnya Muhammad Salim. Tak banyak orang yang tahu siapa beliau, kecuali mereka yang mungkin kenal betul dengan kisah La Galigo. Muhammad Salim adalah tokoh di balik penerjemahan kisah epik terpanjang yang isinya tentang kisah asal muasal orang Bugis-Makassar. La Galigo sendiri diyakini sebagai epik yang lebih panjang dari epik Mahabaratha sekalipun.

Saya sebenarnya tidak begitu kenal dengan sosok Muhammad Salim sampai suatu ketika membaca sebuah artikel yang bercerita banyak tentang sosok sederhana ini. Pak Salim sedari kecil memang telah akrab dengan aksara lontarak, aksara asli suku Bugis Makassar.

Jaman dulu, para nenek moyang suku Bugis Makassar menuliskan semua cerita, dongeng dan bahkan syair dalam aksara lontarak. Salah satu karya paling masyhur adalah karya sastra yang bernama I La Galigo. Sebuah karya sastra setebal 6000 halaman yang berkisah tentang asal-muasal suku Bugis Makassar.

Naskah I La Galigo yang paling lengkap sekarang tersimpan di universitas Leiden, Belanda. Meski dianggap paling lengkap namun diyakini masih ada ratusan naskah lainnya yang berserakan di seluruh pelosok Sulawesi Selatan.

Muhammad Salim adalah tokoh utama dalam penerjemahan aksara lontara kuno tersebut. Bekerjasama dengan universitas Leiden dan pemerintah Belanda, selama lebih dari 10 tahun dia bekerja keras menerjemahkan naskah setebal 6000 halaman itu. Hebatnya lagi karena Salim bukan hanya membaca teks dan menerjemahkannya, tapi juga mengartikan maknanya. Dia adalah pejuang budaya yang berjuang di jalan yang sunyi.

Meski Salim berjasa besar bagi pengembangan budaya Sulawesi Selatan dan dianggap sebagai orang paling berjasa yang menghidupkan kembali I La Galigo dan memperkenalkannya ke seluruh dunia, dia tetap hidup dalam kesederhanaan. Lelaki yang tak bergelar kesarjanaan ini punya harta besar bernama pengabdian. Dia masih setia mengabdi pada Yayasan Kebudayaan SulSel yang sebenarnya sudah dinyatakan bangkrut. Muhammad Salim begitu mencintai dunianya, mengabdikan seluruh waktunya untuk mengumpulkan dan menerjemahkan naskah lontarak kuno meski secara materi hampir tidak ada balasan yang setimpal.

Pertanyaan terbesar setelah beliau tunduk pada takdir Tuhan adalah : adakah sosok lain yang sanggup menggantikan perannya sebagai rujukan aksara lontara di Sulawesi Selatan ?

Saat ini pengenalan tentang aksara lontara memang masih aktif diajarkan di sekolahan, mulai dari tingkat SD hingga SMP ( atau mungkin hingga SMA, entahlah ) tapi sepanjang yang saya tahu hanya terbatas pada pengenalan aksara dan pelajaran bahasa daerah dasar. Lebih lanjut tentang pemahaman sastra Bugis Makassar masih sangat minim. Jurusan sastra daerah di universitas-universitas selalu sepi. Sastra daerah atau bahasa daerah bukan jurusan yang sexy yang bisa mengundang minat banyak mahasiswa baru

Sepinya peminat pada bahasa daerah menjadikan peninggalan asli nenek moyang ini makin terpinggirkan.

Beberapa waktu yang lalu saya menemukan sebuah fakta menarik ketika menyadari bahwa bahasa daerah Makassar yang banyak beredar sekarang sesungguhnya sudah bukan bahasa asli lagi. Banyak kalimat yang sesungguhnya adalah resapan dari bahasa Melayu atau bahasa Indonesia. Kalimat asli benar-benar sudah terlupakan.

Itu baru soal bahasa, belum soal aksara. Sewaktu SD hingga SMP saya lancar menulis dalam aksara lontarak. Tentu saja karena saat itu pelajaran bahasa daerah masuk dalam kurikulum. Tapi selepas itu ? saya nyaris tak pernah lagi menggunakannya sehingga pelan-pelan kemudian lupa pada aksara lontarak. Berapa orang generasi Bugis Makassar yang seperti saya ? Yang mulai lupa caranya menulis dalam aksara lontarak dan mulai tidak mengenali ragam kalimat asli dalam bahasa daerah. Jangan-jangan sebagian besar generasi sekarang dan generasi masa depan seperti saya. Bisa dibayangkan bagaimana nasib bahasa daerah Bugis Makassar ke depannya.

Akhirnya memang setelah kepergian Muhammad Salim, tersisa pertanyaan besar : siapakah yang bisa meneruskan perjuangan beliau ? Siapakah yang bisa, mampu dan mau menjaga warisan budaya luhur dari nenek moyang suku Bugis Makassar ?

Semoga saja akan ada pejuang budaya lainnya yang bisa seperti beliau, atau mungkin lebih baik lagi. Selamat jalan pak Salim, semoga semua karyamu dicatat sebagai ibadah oleh Allah SWT.

Catatan : cerita lebih banyak tentang Muhammad Salim bisa dibaca di sini.