Mengenang sang pendekar

baharudin_lopa.jpg“Jelaga di wajah jaksa”, itu judul acara sebuah tayangan investigasi di sebuah stasiun televisi tanah air hari Minggu kemarin. Judul itu terasa sangat tepat menggambarkan wajah aparat hukum tersebut akhir-akhir ini. Sebuah kasus menyeret seorang jaksa, merubah statusnya sebagai orang yang disegani di muka pengadilan menjadi pesakitan.

Siapapun tahu kalau kasus ini bukanlah kasus pertama yang mengotori wajah penegak hukum di negeri kita. Deretannya bisa sangat panjang bila kita mengikutkan berbagai perilaku minus dari para penegak-penegak hukum lainnya seperti polisi dan hakim. Negeri ini sudah sangat kacau, terkadang hukum dankeadilan sudah sama sekali tak bisa diharapkan lagi.

Memang perilaku mereka tak bisa kita pukul rata. Di antara sekian banyak aparat penegak hukum yang bobrok, masih ada juga satu-dua yang berhati putih dan teguh di jalan yang benar meskipun untuk mencarinya ibarat mencari jarum di tumpukan jerami.

Salah satu dari sekian banyak yang masih lurus itu, tersebutlah sosok Alm.Baharuddin Lopa. Sosok beliau seperti sebiji permata di kubangan lumpur. Sederhana, jujur, lurus dan tegas-itu mungkin kata yang cocok untuk menggambarkan sang jaksa dari Majene ini. Sayang, beliau belum sempat berbuat terlalu banyak untuk negeri kita sebelum sang Khalik memanggilnya. Tapi, sederet perjuangannya telah meninggalkan cerita manis dan legenda tersendiri bagi orang Indonesia yang nyaris tak bisa melihat lagi keadilan di negeri ini.

Ada banyak cerita-cerita yang dituturkan dari mulut ke mulut hingga kemudian menjadi semacam legenda tentang bagaimana sang Jaksa ini memelihara sikap tegas dan tawadhu-nya.

Dari seorang teman yang pamannya pernah menjadi ajudan beliau saat menjabat sebagai Kepala Kejaksaan Tinggi Sulawesi Selatan saya mendengar satu cerita:

Suatu hari selepas kunjungan kerja di sebuah kabupaten di SulSel Alm.Barlop (demikian beliau biasa disapa) mendapati meteran bensin mobil dinas yang dikendarainya bergerak ke arah F, padahal seingat beliau ketika tiba di tujuan meteran masih mendekati berada di bawah, dekat tanda E.

Beliau bertanya perihal bensin tersebut. Dari jawaban sang ajudan beliau tahu kalau ternyata bensin yang bertambah tersebut adalah pemberian dari pejabat setempat. Tanpa membuang-buang waktu beliau memerintahkan sang ajudan untuk kembali ke tempat semula. Beliau juga memerintahkan sang pejabat yang memberi bensin agar menyedot kembali bensin yang sudah diberikannya tadi. Alasan beliau, “ saya punya uang jalan untuk beli bensin, dan itu harus saya pakai…”. Alasan yang sederhana tapi masuk akal. Saya yakin masih ada alasan lain yang lebih mendasar bagi beliau.

Ada satu lagi cerita yang sangat menggetarkan saya, terlepas dari benar atau tidaknya. Suatu waktu,beliau menghadiri acara perkawinan seorang kerabatnya dengan menumpang taxi. Sewaktu ditanya kenapa naik taksi dan bukannya naik mobil,beliau menjawab : “ mobil itu kan mobil dinas, dipakai untuk keperluan dinas, sementara acara ini bukan keperluan dinas jadi saya tidak berhak memakainya”. Subhanallah…anda bisa bayangkan bukan seandainya para pejabat kita meniru perilaku beliau, niscaya akan tenteram damai negeri kita ini.

Soal mobil ini juga ada ceritanya. Di dealer mobil terbesar di kota Makassar, Baharuddin Lopa pernah tercatat menyicil sebuah mobil bekas hanya karena tidak punya uang untuk membelli mobil baru secara tunai. Padahal waktu itu beliau adalah kepala kejaksaan tinggi Sulawesi Selatan. Dengan posisi seperti itu bisa anda bayangkan bukan jika seandainya beliau mau meminta keringanan harga atau semacamnya tentu bukanlah hal yang sulit. Tapi itulah Alm. Baharuddin Lopa. Beliau tidak pernah mau menggunakan kekuasaannya untuk kepentingan pribadi semata.

Sesaat setelah beliau meninggal, Panda Nababan-anggota DPR RI-di sebuah stasiun televisi banyak menceritakan tentang kesederhaan beliau. Betapa sang jaksa sampai harus bersusah payah menagih honor tulisannya di majalah yang sebesar Rp. 500 ribu hanya karena sedang butuh semen untuk renovasi rumahnya, atau kenyataan bahwa bahkan saat beliau telah menjadi pejabatpun beliau masih tetap berusaha mencari pendapatan sampingan dari usaha wartel kelas C di rumahnya. Sangat sederhana.

Soal ketegasan dan keseriusannya dalam menegakkan hukum saya kira tidak usah ditanya lagi. Atau kalau anda masih penasaran, anda mungkin bisa menanyakannya langsung ke Nurdin Halid, tokoh yang pernah merasakan tidak enaknya menjadi sasaran tembak Alm. Baharuddin Lopa. Bahkan ketegasannya itu pula yang membuatnya berkali-kali “masuk kotak” dan diserahi tugas yang sangat jauh dari bidang keahliannya.

Tapi itulah Baharuddin Lopa, jaksa yang mengaku bahwa dalam upayanya dalam menegakkan hukum sama sekali tidak takut pada siapapun kecuali Allah SWT. Di sebuah sidang dengan anggota DPR, Baharuddin Lopa dengan logat Sulawesi Selatan yang berapi-api berkata. “ kalau saya tidak bisa adil, untuk apa saya jadi Jassa (jaksa), lebih baik saya pi kerja yang lain”. Tegas dan langsung ke tujuan. Itulah Baharuddin Lopa. Kata-katanya tak pernah mengandung unsur politis, sederhana namun tegas.

Sayang, beliau hanya sempat menjabat sebagai jaksa agung selama 1,5 bulan namun dalam masa jabatan yang sangat singkat tersebut beliau telah membuat daftar panjang tugas berat yang harus diselesaikan. Sayang memang, beliau tak sempat menyelesaikan apa yang sudah dimulainya.

Dan, di tengah makin carut marutnya wajah penegak hukum negeri ini, sosok Baharuddin Lopa akan selalu menjadi sosok yang kita rindukan. Semoga masih akan lahir Baharuddin Lopa yang lain yang akan lahir dan menegakkan hukum di negeri kita ini. Semoga..

 

**foto diambil dari sini