Ayat-ayat Cinta : Sebuah review

ayatayatcinta.jpgJudul : Ayat-Ayat Cinta

Produksi : MD Picture

Sutradara : Hanung Bramantyo

Produser : Dhamoo & Manoj Punjabi

Pemain : Fedi Nuril, Carissa Putri, Rianti Cartwright, Melanie Putria, Zaskia Adya Mecca.

*****

“Wuihh..bagusnya..”

“Wah, bangus bangettt..”

“pak Ipul harus nonton..kalo perlu nontonnya berdua sama istri..filmnya bagus banget..”

Well, itulah beragam komentar tentang film Ayat-Ayat Cinta yang sempat mampir di telinga saya. Harus saya akui, sejak seminggu lalu film garapan Hanung Bramantyo ini jadi buah bibir paling hangat di kantor. Beberapa orang teman sampai rela bolos siang hari hanya demi untuk menjadi orang kantor pertama yang menonton Ayat-Ayat Cinta. Hari jum’at minggu lalu, beberapa orang teman kantor juga sampai harus menelan kekecewaan karena tak kebagian karcis, meski sudah menyambangi bioskop lebih dini.

Karena penasaran, akhirnya kamis malam kemarin saya dan istri menyempatkan diri untuk menonton film ini. Untungnya karena kami bisa menyaksikannya gratis, jadi apapun hasilnya kami nothing to loose aja.

Kami memulai menonton tanpa bekal pengetahuan akan jalan cerita atau sinopsis yang memadai. Kami berdua memang belum pernah membaca novelnya, novel yang katanya fenomenal itu. modal awal kami betul-betul hanyalah ungkapan-ungkapan penuh kepuasan dari beberapa teman-teman yang sudah lebih dulu menontonnya.

Dan hasilnya: entah kenapa kami berdua punya pandangan yang berbeda dengan sebagian besar teman-teman yang sudah menontonnya. “ngawur banget nih film…”, itu komentar istri saya yang segera saya amini.

Ayat-ayat cinta ternyata tak sedahsyat yang diceritakan banyak orang. Seperempat durasi awal sudah mampu membuat kami menebak akhir cerita. Alurnya sederhana – sangat sederhana malah, konfliknya terlalu dibuat-buat dengan penokohan yang juga sangat dibuat-dibuat. Ada beberapa karakter yang sebenarnya tidak perlu bahkan cenderung mengganggu. Secara singkat saya bisa bilang kalau film ini tak jauh berbeda dengan sinteron-sinetron khas Multivision atau MD Pictures, sebuah cerita yang penuh dengan konflik yang dibuat-buat plus tokoh yang sangat hitam putih dan tak lupa, karakter wanita yang sakit dan sebentar lagi mati untuk menarik simpati. Sinetron banget nggak sih ?.

Saya bisa bilang kalau menonton film ini anda bisa tenang meninggalkannya untuk mencuci piring, mencuci pakaian, goreng pisang dan bikin kopi tanpa perlu takut untuk kehilangan alur cerita. Toh, semuanya sudah bisa tertebak beberapa menit setelah film dimulai. Ada konflik-konflik yang mungkin dimunculkan dengan maksud untuk mengundang rasa terkejut para penonton (dan sebelumnya para pembaca buku) namun nyatanya malah membuat alur cerita jadi sangat-sangat tidak masuk akal. Illogic. Saya jadi ingat komentar seorang teman tentang buku Ayat-Ayat Cinta.

Sejak awal kami sudah dibuat bingung dengan tampilan beberapa karakter yang menimbulkan pertanyaan, ini orang Indonesia atau Mesir sih ?. Kendalanya ada di faktor bahasa. Tentu akan jadi sebuah masalah besar bila film ini ngotot menggunakan bahasa asli sang karakter karena sepertinya kebanyakan karakter yang muncul adalah karakter orang-orang Mesir. Sayangnya pemilihan para pemain juga tidak menolong kami untuk keluar dari kebingungan ini. Contohnya si Zaskia Adya Mecca yang digambarkan sebagai orang Mesir bernama, Naurah. Well, sayang sekali tampang Zaskia sama sekali tidak menampakkan tampang arab, kalo Sunda sih iyya..

Karakter Fahri terlalu sempurna. Saya tidak tahu kalau memang ada cowok seperti si Fahri ini. Manis, cakep, alim, lurus, pintar, pokoknya sangat sempurna hingga membuat 4 orang cewek tergila-gila kepadanya. Seorang dari mereka berhasil merebut hatinya, seorang lainnya sampai stress berat dan kemudian jadi mayat hidup yang hanya bisa dibangunkan kembali dengan cara dinikahi oleh Fahri.

Seorang lagi sampai kehilangan semangat hidup hingga membuat paman dan bibinya menghiba meminta Fahri yang sudah jadi suami orang untuk menikahi ponakan mereka. sementara cewek terakhir malah sampai tega memfitnah Fahri telah memperkosanya, hanya karena si cowok nan sempurna itu tak membalas cintanya. Wow, luar biasa bukan ?.

Ada beberapa karakter lain yang rasanya koq nggak penting dan bahkan cenderung mengganggu. Salah satunya adalah si Alicia, wartawan asal Amerika yang katanya sedang meneliti lebih jauh tentang Islam. Seorang wartawan yang sedang melakukan penelitian kemudian hanya menyempatkan diri mengajukan satu-dua pertanyaan pada narasumber dan kemudian kembali ke Amerika dengan bekal sebuah tulisan singkat dari sang narasumber ?, hmmm..pantas saja pers Amerika sering membuat kebohongan publik bila cara mereka mencari berita seperti itu.

Karakter lainnya yang mengganggu adalah si bapak-bapak Arab yang berada satu sel bersama Fahri. Karakter yang tak jelas dan dengan akting yang berlebihan. Mungkin maksudnya dihadirkan sebagai orang yang kemudian menyadarkan Fahri tentang keikhlasan dan kesabaran dalam menghadapi cobaan. Sayangnya karakter ini tidak kuat dan tidak konsisten sehingga kemudian terasa mengganggu.

Karakter Nurul, anak seorang kyai yang jatuh cinta setengah mati pada Fahri juga tidak jelas. Hanya menambah-nambah jumlah karakter yang ditampilkan tanpa ada kekuatan yang jelas. Perannya dalam cerita juga tidak terlalu terasa. Habiburahman juga rupanya masih tetap setia pada resep menampilkan sebuah karakter wanita yang sakit dan sebentar lagi mati untuk menarik simpati pembaca (dan penonton). Saat darah mengucur dari hidung Maria, spontan saya dan istri langsung tertawa, lucu karena seingat kami karakter-karakter seperti ini memang sering jadi jualan utama sinetron-sinetron Indonesia atau film-film produksi Multivison dan MD. Tipikal bangett..

Cerita juga sama lemahnya. Salah satu kelemahannya adalah sangat menggampangkan segala hal. Mari kita lihat bagaimana gampangnya Fahri menemukan orang tua kandung Naurah yang katanya sudah terpisah sejak kecil. Tak dijelaskan dengan detail bagaimana Fahri bisa menemukan orang tua kandung Naurah. Pokoknya langsung ketemu, gampang kan ?. Kalau Fahri mau membuka biro detektif swasta, saya yakin pelanggannya pasti akan berlimpah.

Lihat juga saat Aishah dengan mudahnya menemukan keberadaan Maria dan keluarganya yang kata teman-teman Fahri sudah tidak diketahui keberadaannya. Hanya dengan mengajukan satu pertanyaan di sebuah rumah sakit, Aishah sudah bisa menemukan tempat Maria dan ibunya yang baru. Ah, teman-teman Fahri kelihatannya memang sangat goblok hingga tidak berpikir ke arah itu, atau bisa jadi mereka tidak seperhatian itu pada masalah yang menimpa Fahri.

Cerita tentang fitnah yang kemudian berlanjut ke adegan-adegan di persidangan segera mengingatkan kami pada film-film India. Asli India banget, sebuah konflik yang terlalu dibuat-buat. Harusnya Habiburrahman bisa lebih kreatif mencari alur cerita lain jika memang ingin mempertemukan kembali Fahri dan Maria hingga akhirnya memaksa Aishah rela menjadi bagian sebuah poligami. Tak perlu memaksa untuk menampilkan sebuah konflik bernama fitnah yang berujung pada pengadilan. Toh, akhirnya kasus ini juga diselesaikan dengan sangat sederhana, selesai detik itu juga. Lupakan cerita tentang penyelesaian sebuah kasus nan rumit seperti dalam film A Few Good Men atau The Firm, karena toh cerita pengadilan ini hanya sebuah tempelan belaka.

Setelah adegan-adegan pengadilan ini, tadinya saya mengira kalau cerita sudah akan mencapai klimaks. Namun ternyata belum, karena selanjutnya masih ada cerita seputar poligami yang melibatkan Fahri-Aisha-Maria yang kemudian diakhiri dengan ekesekusi pada karakter Maria yang sakit dan sebentar lagi mati. Entahlah, tapi dua klimaks dalam sebuah cerita dimana kedua-duanya tidak tergarap dengan baik bagi saya bukanlah sebuah pilihan yang bagus. Hanya mengulur-ulur waktu, menuh-menuhin durasi dan akhirnya mengaburkan fokus.

Sayang sekali, cerita Ayat-Ayat Cinta belum mampu membuat saya dan istri mengeluarkan pendapat yang sama dengan teman-teman kami. Masih ada beberapa film Indonesia yang kualitasnya lebih bagus dari film ini.

“ atau, mungkin kita yang aneh ya..?”. tanya saya pada Ofie-istri saya. Dia tidak menjawab, hanya tertawa renyah. Sampai sekarang saya masih belum faham arti tawanya. Mungkin memang kami yang aneh karena punya pandangan yang berbeda dengan kebanyakan teman-teman kami, atau..ah, entahlah…