Melintasi Papua Bersama Garuda Indonesia

Sesaat sebelum meninggalkan bandara Mopah, Merauke
Sesaat sebelum meninggalkan bandara Mopah, Merauke

Saya baru saja menuntaskan penerbangan terpanjang dalam hidup saya. Untung saja saya melewatinya bersama maskapai terbaik di Indonesia.

GA 657 YANG SAYA TUMPANGI akhirnya mendarat dengan sempurna di bandar udara Sultan Hasanuddin, Makassar. Sore cerah, jarum jam menunjuk pukul 17:15 WITA. Cahaya kekuningan matahari jatuh di pucuk-pucuk pohon dan hamparan atap bandara. Sebagian memantul dari dinding kaca bandara yang diresmikan tahun 2006 ini.

Saya menarik nafas lega. Ini perjalanan paling panjang yang bisa saya ingat. Jam 9:30 WIT saya meninggalkan bandara Mopah, Merauke dan tujuh jam kemudian akhirnya mendarat dengan selamat di kota asal, kota para daeng. Tujuh jam perjalanan! Ini pertama kalinya saya menumpang pesawat selama itu. Sekali berganti pesawat di Jayapura dan sekali lagi transit di Timika. Benar-benar perjalanan yang buat saya melelahkan.

Tapi, saya bersyukur. Perjalanan panjang ini saya lewati bersama Garuda Indonesia, maskapai terbaik punya Indonesia. Garuda Indonesia dengan kenyamanan kelas dunia yang ditawarkannya menjadi pelipur untuk semua rasa penat selama perjalanan. Saya tidak bisa membayangkan bagaimana rasanya menempuh perjalanan selama dan sepanjang itu dengan maskapai Indonesia lainnya.

Sebagai manusia dengan tinggai 180cm saya selalu menemukan kesulitan ketika menumpang pesawat. Jarak antar kursi yang terlalu rapat bukan sahabat yang baik untuk tungkai saya yang panjang. Perjalanan Makassar-Jakarta saja yang hanya memakan waktu 2 jam sudah bisa membuat saya terpaksa menggerak-gerakkan kaki selama perjalanan, mencari posisi yang nyaman sebelum bagian belakang lutut mulai terasa keram.

Jadi bayangkan bagaimana saya harus menempuh perjalanan panjang Merauke-Makassar selama total 7 jam dengan posisi seperti itu? Pfiuhh! Membayangkannya saja sudah membuat kaki saya terasa kesemutan.

kira-kira begini rute perjalanan saya
kira-kira begini rute perjalanan saya

Tapi tidak dengan Garuda Indonesia. Jarak antar kursi yang lowong membuat kaki panjang yang diberikan Tuhan ini terasa tetap nyaman selama perjalanan. Saya tidak perlu menggerak-gerakkannya untuk mencari posisi yang nyaman, cukup dibiarkan begitu saja kaki sudah terasa rileks.

Apa kenikmatan dan kenyamanan Garuda Indonesia hanya soal kursi? Bukan, masih banyak kenyamanan lainnya meski itu adalah yang nomor satu buat saya. Pelayanan awak kabin Garuda Indonesia ada di urutan berikutnya. Pelayanan yang ramah, natural dan tidak dibuat-buat membuat saya juga merasa nyaman. Tak ada senyuman terpaksa sesuai SOP, semua terlihat natural dan apa adanya.

Sebagai pelengkap, ragam hiburan selama perjalanan dan sajian makanan Garuda Indonesia seperti orkestra yang saling melengkapi menciptakan suasana nyaman dalam sebuah perjalanan, tidak peduli sepanjang apa perjalanan itu. Orkestra itu pula yang membuat saya sama sekali tidak keberatan melintasi Papua-Makassar dalam waktu 7 jam.

*****

PAPUA. Entah kenapa nama pulau yang satu itu terasa sangat menggoda bagi saya dalam sekira satu tahun belakangan ini. Dalam kurun setahun total sudah 7 kali saya bertandang ke beberapa kota di pulau terbesar kedua di dunia itu. Tapi semakin sering saya mengunjunginya, semakin saya penasaran pada tanah yang didiami lebih dari 200 suku itu.

Papua lalu menjadi destinasi impian saya untuk berlibur, tidak seperti yang selama ini saya lakukan; datang ke Papua untuk bekerja. Sekarang saya selalu berpikir untuk kembali lagi ke Papua, benar-benar hanya untuk berlibur. Benar-benar hanya untuk datang, menikmati indahnya Papua dan mencecap cerita dari tanah yang indah itu.

Tujuan awal saya adalah Sorong, kota paling barat yang berada di kepala burung Papua. Sudah dua kali saya ke kota itu, tapi masih saja ada pertanyaan tentang bagaimana sebenarnya kota itu? Apa yang sebenarnya ditawarkan kota itu?

Sorong menyimpan banyak kisah tentang kehidupan Papua yang beragam. Tak jauh dari tepian kota sebuah klenteng besar berdiri megah di perbukitan. Vihara Budha Jayanti megah menghadap ke lautan dengan latar bukit dan pepohonan hijau. Mengagumkan karena ini seperti menggambarkan betapa beragamnya kehidupan di Sorong yang penuh dengan toleransi antar umat beragama.

Keindahan dari pulau Doom

Ketika terakhir ke Sorong saya sempat mendengar sebuah daerah yang dihuni warga asli Papua yang beragama Islam. Sayang karena saya tidak sempat mendatanginya. Padahal tempat ini buat saya sungguh menarik, sudah lama saya ingin bertemu dan berinteraksi langsung dengan orang Papua asli dari ras Melanesia yang juga penganut ajaran Islam. Selama ini kita hanya akrab mendengar orang Papua yang beragama Nasrani.

Terakhir ke Sorong saya hanya sempat menyeberang ke pulau Doom, pulau yang dulunya jadi pusat pemerintahan Belanda yang justru lebih maju dari Sorong di daratan sana. Sampai sekarang pulau itu masih meninggalkan jejak-jejak kolonial yang bisa terlihat jelas.

Tapi dari semua yang indah tentang Sorong, satu yang pasti; pantai dan laut. Sorong katanya punya banyak pantai dan laut yang indah, serta tentu gerbang menuju Raja Ampat yang bisa dijangkau dengan mudah. Siapa yang tak kenal Raja Ampat? Laut dan pantainya adalah salah satu yang terbaik di dunia, yang bagai magnet menarik ribuan orang untuk datang dan menikmatinya.

Sorong adalah liburan impian saya tahun ini, selalu ada harapan untuk bisa kembali lagi ke sana dan mencecap apa yang tidak sempat saya cecap sebelumnya. Perjalanan impian itu tentu akan terasa sangat menyenangkan kalau bisa dinikmati bersama Garuda Indonesia, maskapai terbaik kebanggaan bangsa. Saya masih ingin melintasi Papua dengan Garuda Indonesia! [dG]