Hukum itu seperti sarang laba-laba
Tonde dan daeng Baco hanya bisa terdiam saat diinterogasi
Pagi itu matahari cerah, namun tidak begitu dengan suasana hati Tonde, seorang lelaki berumur 40-an tahun yang berasal dari Kabupaten Bantaeng. Tonde yang sehari-hari bekerja sebagai buruh kasar pada proyek perumahan Bukit Baruga nampak murung. Tubuh kecilnya yang dibalut kulit coklat tua nampak lemas seakan tak bertenaga. Di sekitarnya beberapa orang lelaki tegap berseragam putih biru dengan tulisan Security menatapnya dengan tatapan tajam.
Pagi itu Tonde tertangkap tangan mencuri sekarung penuh besi angkur milik kontraktor perumahan mewah tersebut. Pagi itu saat hendak memasang kusen alumunium, para tukang kebingungan karena tidak bisa menemukan angkur yang seharusnya terpakai untuk merekatkan kusen pada beton kolom. Setelah dicari kesana kemari, akhirnya didapatkan informasi kalau angkur itu ada dirumah daeng Baco, seorang pekerja lainnya yang menetap di bangunan darurat di sekitar lokasi proyek.
Daeng Baco biasanya memang menjadi penadah besi-besi bekas yang dijual para pekerja. Setelah besi tersebut terkumpul cukup banyak, dia akan membawanya ke penadah yang lebih besar. Namun rupanya, pagi itu dia juga bernasib sial. Daeng Baco tak menyangka kalau sekarung besi yang dibawa Tonde-salah satu pelanggannya-adalah besi yang masih terpakai.
Berita penemuan besi angkur ini di rumah daeng Baco segera menjadi berita yang menghebohkan. Satpam segera dihubungi dan dengan cepat Tonde sebagai pelaku dan daeng Baco sebagai penadah segera diamankan di salah sebuah warung yang berada dalam lokasi proyek. Tak butuh waktu lama sebelum para satpam yang sedang bertugas pagi itu segera berkumpul di lokasi kejadian.
Seorang satpam tanpa tanggung-tanggung segera melayangkan bogem mentahnya ke wajah Tonde. Nampaknya dia kesal karena selama ini para satpam memang selalu menjadi pihak yang disalahkan setiap kali ada kejadian pencurian di lokasi perumahan tersebut, dan dengan segera Tonde menjadi pelampiasan kekesalan mereka. Selama ini berita kehilangan barang-barang di lokasi proyek memang bukan barang baru lagi. Beberapa kontraktor yang bekerja di lokasi tersebut mengaku telah sering kehilangan material walaupun sebagian besar memang hanya berupa barang-barang kecil semisal tripleks atau besi-besi beton.
Tonde sendiri sudah bekerja sebagai buruh kasar di perumahan tersebut selama hampir sebelas tahun dan selama ini dia tak pernah kedapatan berbuat yang macam-macam. Semua satpam, pengawas dan pekerja mengenalnya sebagai pribadi yang sederhana dan tak banyak bicara. Makanya mereka juga agak kaget mendapati kenyataan kalau Tonde mencuri.
Dengan terbata-bata campuran antara rasa takut dan rasa sakit di wajahnya Tonde menjelaskan kronologis kejadian tersebut. “ kukana nakke anu tenamo na nipakei, pak..”, katanya dengan nada bergetar. Dalam bahasa Indonesia, kira-kira berarti : saya kira barang itu sudah tidak terpakai lagi pak. Sayangnya jawaban Tonde itu hanya membuat satpam yang menginterogasinya menjadi makin kesal. Sekali lagi tamparan keras mendarat di pipinya, membuat pipi itu kini menjadi merah dan agak bengkak.
Menurut beberapa orang di lokasi proyek, Tonde memang sudah sering mengumpulkan besi-besi bekas, sebagian besar adalah sisa potongan besi beton atau terkadang juga besi beton hasil bongkaran yang memang suda tidak terpakai. Tonde yang bersama rombongannya tinggal di rumah-rumah darurat di pinggiran lokasi proyek mengatakan kalau besi-besi bekas yang terkumpul itu kemudian dibawanya ke penadah yang tak lain adalah temannya sendiri, daeng Baco. Untuk sekilo besi bekas, Tonde mendapatkan bayaran Rp. 1.000-1.500.
Rabu sore ketika para pekerja sudah bubar, sekitar pukul setengah enam sore Tonde membawa pulang sekarung besi angkur yang dikiranya sudah sudah tidak terpakai itu. Salahnya adalah karena sore itu Tonde mengambil sekarung besi angkur itu dalam rumah yang belum selesai. Alasan ini juga yang membuat para satpam makin kesal. Mereka menganggap alasan Tonde tak masuk akal. Barang-barang yang masih berada dalam rumah yang sementara dikerjakan jelas adalah barang-barang yang masih terpakai, berbeda dengan barang-barang yang dibiarkan berserakan di halaman atau di pinggir jalan. Sekali lagi tamparan mendarat di wajah Tonde diiringi bentakan dengan nada kasar dari Satpam yang sedang menginterogasinya.
Siksaan bagi Tonde untungnya tidak berlangsung lama, karena beberapa saat kemudian komandan satpam tiba di lokasi. Lelaki tegap berkumis tebal pensiunan tentara ini dikenal sebagai sosok yang cukup bijaksana. Pak Hammado, sang komandan segera menetralkan suasana. Beberapa orang satpam yang sudah mulai tidak terkontrol emosinya segera diperintahkannya untuk kembali ke pos. Dengan sigap pak Hammado segera mengumpulkan informasi dan memulai interogasi pada kedua pelaku yang duduk mengkerut seperti dua ekor kucing yang baru saja tersiram air.
Setelah mengumpulkan informasi, Pak Hammado mengambil keputusan untuk membawa kedua pelaku beserta barang buktinya ke kantor polisi sektor Manggala. Keputusan ini jelas membuat wajah Tonde dan daeng Baco makin suram. Terbayang di kepala mereka masalah yang lebih besar yang akan menimpanya. Daeng Baco dengan setengah memohon meminta kebijaksanaan dari sang komandan satpam. Dia mengaku tak tahu menahu kalau barang tersebut-yang dihargainya sebesar Rp. 12.500,- adalah barang yang masih terpakai.
“ tenami antu katallassangku pak, punna kieranga ri kantoro polisia “, begitu kata daeng Baco dalam bahasa Makassar logat Bantaeng yang kental. Penghidupan saya akan habis pak kalau sampai saya dibawa ke kantor polisi, artinya kira-kira seperti itu. Jelas sekali terbayang masalah besar yang bakal menghadangnya bila persoalan itu sampai melibatkan polisi. Tonde sendiri nampaknya hanya bisa pasrah, wajahnya pucat pasi dan tubuhnya gemetaran. Tak ada lagi kata-kata yang bisa keluar dari mulutnya.
Berurusan dengan polisi di negeri ini bagi sebagian orang adalah sebuah hal yang paling dihindari. Untuk mengurus surat-surat atau melaporkan sesuatu saja, repotnya bukan main. Belum lagi biaya yang harus dikeluarkan, jadi bisa dibayangkan masalah apa yang akan dihadapi bila berurusan dengan polisi dengan membawa status sebagai tersangka. Dalam diamnya yang penuh kegalauan, Tonde dan daeng Baco pasti sangat menyesali tindakan bodohnya.
Hampir saja kedua orang tersangka pencuri dan penadah itu diangkut ke kantor polisi bila saja tidak dicegah oleh seorang pengawas perumahan Bukit Baruga bernama pak Syarifuddin. Pak Syarif-begitu dia biasa disapa-memberikan pertimbangan perihal masalah dan kerepotan yang lebih besar yang akan menimpa mereka bila masalah itu sampai dibawa ke kantor polisi.
Pak Syarif memberi pertimbangan kalau sampai masalah itu dibawa ke kantor polisi, bukan saja kedua tersangka itu yang akan menginap di kantor polisi, namun besi angkur itu juga pasti harus menginap sebagai barang bukti dalam waktu yang tak sebentar. Padahal besi angkur tersebut adalah bagian yang tak boleh lepas dalam proses pemasangan kusen baja. Menginapnya besi tersebut sebagai barang bukti tentu saja membuat proses pemasangan kusen akan terhambat dan tentu mempengaruhi proses pekerjaan secara keseluruhan, apalagi barang tersebut harus dipesan khusus dari Surabaya.
Pertimbangan lain yang diungkapkan pak Syarif adalah alasan kemanusiaan. Tonde dan daeng Baco yang sudah hampir 11 tahun mencari makan di Bukit Baruga selama ini dikenal sebagai orang-orang yang baik, tak pernah terlibat tindakan kriminal atau tindakan-tindakan merugikan lainnya. Kejadian kali ini dianggap sebagai sebuah tindakan khilaf. Pak Syarif sekaligus menyalahkan pemilik besi angkur tersebut. Seharusnya barang-barang yang masih terpakai disimpan dengan baik di dalam gudang selepas jam kerja agar tidak dicuri orang. Yah, kejahatan memang terjadi bukan hanya karena adanya niat, tapi juga karena adanya kesempatan.
Akhirnya setelah melalui musyawarah antara pengawas, kontraktor dan komandan satpam disepakati kalau kasus ini diselesaikan di tempat saja tanpa harus melibatkan polisi. Komandan satpam membuatkan surat pernyataan untuk ditandatangani oleh kedua pelaku. Kalau sampai mereka berdua tertangkap basah mengulangi perbuatannya, maka tak akan ada ampun lagi buat mereka. Tonde dan daeng Baco yang buta huruf membubuhkan cap jempol di atas surat pernyataan tersebut. Jelas sekali rasa lega tergambar di wajah mereka. Tonde dan daeng Baco menjabat erat tangan pak komandan satpam saat dilepaskan dan disuruh kembali bekerja. Tak henti-hentinya mereka mengucapkan terima kasih.
Kasus-kasus seperti ini terkadang menjadi dilema tersendiri bagi satpam. Di satu sisi mereka adalah petugas-petugas yang dibenani tanggung jawab untuk menjaga keamanan, namun di sisi lain rasa kemanusiaan mereka terusik juga, utamanya bila mereka mengenal baik atau malah akrab dengan pelaku. Ditambah dengan kenyataan bahwa barang yang dicuri itu hanya laku dijual seharga Rp. 12.500,- jumlah yang tentunya sangat kecil bila dibandingkan dengan resiko yang harus diambil.
Begitulah, hukum memang bisa dianalogikan sebagai sarang laba-laba. Sangat rapuh untuk benda-benda besar yang bisa menerobosnya dengan gampang, namun sangat kuat untuk memerangkap benda-benda kecil yang mencoba melewatinya. Terkadang kita dengan gampangnya menangkap, mengadili dan mengeksekusi para pelanggar kriminal rendahan yang sebagian besar melakukan tindakan kriminalnya dengan alasan ekonomi. Sementara para pelaku kriminal kelas kakap, para koruptor, pembalak liar dan semacamnya bisa menikmati hasil jarahan mereka dengan nyaman dan tak tersentuh hukum sama sekali. Ironis memang.
Begitulah daeng hukum di negeri ini,kadang hanya berlaku untuk kalangan tertentu saja
Kamasena tallasaka…
PERTAMAX!!!
hah?
Daeng Baco?
Wow.. bukan ji dg Baco yg blogger makassar toh 😀
Wah…., menyentuh Daeng Tulisan ta.
Dan saya suka istilah ta, “Hukum seperti sarang laba-laba”. 😀
Daeng baco keren!!
sangat ironis,daeng..kadang memang lebih mudah melihat kesalahan dibawah daripada yg diatas.n thanks utk Pak Syarif yg begitu bijaksana memberi solusi..*terharuku* 😀