Tersedot magnet Suharto
Minggu (27/1) siang sekitar jam 14.30 lewat, saya sedang menunggu siaran “One Stop Football “ di Trans7 ketika tiba-tiba Trans 7 menampilkan breaking news. Saya sudah langsung menebak kalau ini pasti berita tentang kondisi Suharto. Selama hampir sepanjang bulan Januari ini, berita tentang Suharto yang sedang dirawat di Rumah Sakit menjadi main menu di setiap acara bertajuk “News” di semua stasiun TV di tanah air.
Dan benar juga, breaking news siang itu menampilkan berita terakhir tentang kondisi Suharto. Kondisi terakhirnya adalah, Wafat.. Suharto akhirnya tutup usia di hari Minggu 27 Januari 2008 pukul 13.10 WIB. Akhirnya…itu kata pertama yang keluar menyusul ucapan Innalillahi Wainna Ilaihi Roji’un. Yah, akhirnya selesai sudah perjuangan Suharto selama hampir sepanjang bulan Januari ini. Alat-alat canggih buatan manusia yang selama ini membantunya memperpanjang umur beberapa hari sudah tak berkutik lagi melawan titah sang Maha Pencipta.
Kepergian Suharto-bahkan sejak sakit sekalipun-meninggalkan banyak cerita dan kerepotan. Ratusan wartawan dalam dan luar negeri mendadak menjadi Bang Toyib yang tak pulang-pulang ke keluarga mereka karena harus stand by 24 jam di RSPP. Para pejabat dan mantan pejabat juga satu persatu menunjukkan simpati dengan datang membesuk atau sekedar mengirim bunga dan do’a untuk kesembuhan Suharto. Polemik sekitar kasus korupsinya juga merebak bak bunga di musim semi. Singkatnya seluruh perhatian media tersedot ke RSPP memonitor perkembangan kesehatan Suharto, dan ujung-ujungnya masyarakat penikmat media mau tak mau ikut larut mengkonsentrasikan energinya ke RSPP, sebagian bahkan lupa kalau pada saat yang hampir bersamaan, harga kedelai melambung tinggi membuat tempe goreng di warung pinggir jalan naik menjadi Rp. 500,- per potongnya.
Puncak daya tarik magnet besar bernama Suharto itu adalah saat beliau menghembuskan nafas terakhirnya. Dari mulai jam 14.00 siang WITA sampai malam hari dan kemudian disambung keesokan harinya (bahkan malam ini saat saya sedang menulis postingan ini) semua stasiun TV berlomba-lomba menayangkan potongan-potongan berita tentang Suharto. Judulnya macam-macam, ada yang “Suharto : in memorian”, “Akhir perjalanan Suharto”, atau apalah namanya..
Senin pagi, mulai jam 7 WITA semua stasiun TV sudah siap-siap untuk stand by menyiarkan proses pemakaman Suharto. Anak saya-Nadaa sempat protes karena kartun kesayangannya (Avatar-the legend of Aang) tidak disiarkan seperti biasa karena Global TV juga ikut-ikutan arus menyiarkan prosesi pemakaman. Oya, mungkin karena seringnya menonton berita di TV, Nadaa yang baru berusia 3 tahun lebih sampai ikut-ikutan berkomentar, “ Bunda..pak Harto meninggal..”, walaupun yakin dia tak kenal dan tak tahu siapa Suharto dan apa itu meninggal.
Tiba di kantor hampir pukul 8 pagi, ternyata di Lobby depan-yang memang ada TV-nya- sudah bersiap beberapa orang karyawan yang terus memantau detik demi detik perkembangan persiapan pemakaman. Saya tidak begitu menghiraukan. Acara ini bagi saya adalah sebuah seremoni biasa yang tidak terlalu menarik. Kematian toh akhirnya akan datang lagi, cepat atau lambat. Hanya saja bedanya karena kali ini yang mati adalah orang yang pernah sangat berkuasa dan kebetulan mati di saat media Indonesia sedang genit-genitnya, maka tak heran segala persiapan pemakamannya yang memang luar biasa itu jadi santapan seragam seluruh media Indonesia.
Lewat pukul delapan dan menjelang pukul sembilan pagi, setelah selesai mengecek imel dan membalas beberapa yang perlu saya melongok ke Lobby, ternyata Lobby sudah makin ramai. Penonton sudah memasuki jumlah 2 digit. Yang membuat suasana makin ramai adalah komentar dari para penonton. Semua tentang Suharto, tentang kenangan-kenangan selama berada di bawah pemerintahan Suharto, tentang proses pemakaman itu sendiri, pokoknya ramai walaupun temanya sama, Suharto.
Saya tidak berlama-lama di Lobby. Siaran televisi yang isinya sama saja dengan siaran kemarin sore dan tadi malam dengan segera membuat saya bosan. Saat meninggalkan lobby dan kembali ke ruangan saya masih bisa menangkap satu-dua komentar dari para penonton. Suasana ini sedikit mengingatkan saya pada acara siaran langsung sepakbola piala dunia 2002, bedanya kali ini tidak disertai dengan teriakan dan sorak sorai penonton.
Kesetiaan para penonton rupanya betul-betul diuji. Perjalanan jenazah Suharto dari Halim Perdana Kusuma ke Adi Sumarmo-Solo memakan waktu yang lumayan lama. Untuk mengisi waktu stasiun TV menayangkan beberapa potongan gambar berisi kenangan bersama Suharto. Cukup lama dan bagi saya membosankan, namun tidak bagi para penonton yang sedari tadi duduk manis depan TV di lobby kantor kami.
Saya sudah beberapa kali bolak-balik ke ruangan kerja, ke smoking room dan ke toilet namun nampaknya para penonton tak surut semangatnya. Makin siang, jumlah penonton makin bertambah.
Menjelang pukul 10 siang, boss kami datang. Beliau hanya ikut bergabung sebentar sebelum akhirnya berlalu entah ke mana. Reaksi para penonton adem ayem saja, agak di luar kebiasaan karena biasanya kerumunan karyawan yang bersantai di jam kerja dipastikan akan langsung terbongkar begitu sang Boss datang mendekat. Menurut analisa saya ada tiga hal yang jadi penyebab ketidakbiasaan ini.
Pertama, karena kematian Suharto adalah sebuah magnet yang sangat kuat sehingga membuat sebagian besar masyarakat Indonesia betah berlama-lama di depan TV menunggu detik-detik jenazah Suharto diturunkan ke liang lahat. Kedua, karena bagi semua karyawan di kantor kami, ini adalah kali pertama menyaksikan prosesi pemakaman seorang mantan presiden. Sebagian dari kami belum lahir saat Sukarno mangkat tahun 1970, sebagian lagi masih terlalu kecil untuk mengingat kejadian itu dan mungkin juga karena waktu itu kecepatan media belum seperti sekarang.
Nah, analisa ketiga saya adalah karena pada saat bersamaan di lobby kantor kami juga ikut serta sang manager personalia. Beliau juga termasuk dalam deretan para penonton setia yang menantikan detik detik pemakaman. Alasan beliau, kan ndak setiap hari ada acara seperti ini.
Dan akhirnya saya sampai pada kesimpulan kalau ketiga alasan saya itu benar dan saling membenarkan.
Namun ternyata, jumlah penonton yang makin bertambah juga membuat sang Boss agak jengkel. Menjelang pukul 12 siang, saat acara pemakaman belum juga digelar, turun titah dari sang Boss melalui sekertarisnya. Acara nonton bareng harus dihentikan..!!!, semua harus kembali ke kerjaan masing-masing. Maka, tanpa menawar lagi para penonton bubar jalan meninggalkan lokasi nonton bareng. TV dimatikan dan kursi-kursi dibereskan. Dalam sekejap lobby kembali sunyi seperti seharusnya.
Apakah para penonton setia itu lantas langsung menyerah ?. Ternyata tidak saudara-saudara..beberapa orang dari mereka membentuk sebuah komplotan. Secara bergerombol mereka menuju ke sebuah warung makan (tepatnya warung kopi) yang ada di Ruko dekat kantor. Mereka semua itu adalah ibu-ibu dan remaja putri yang nampaknya sangat bersemangat ikut mengantar Suharto hingga ke peristirahatannya yang terakhir. Kalau saja jarak Astana Giri Bangun itu tak harus menyeberang lautan saya yakin mereka pasti akan langsung menuju ke sana. Itu setelah melihat antusiasme mereka.
Akhirnya rombongan “penggemar acara pemakaman” itupun memuaskan hasrat mereka di warung kopi dekat kantor. Mungkin sekalian dengan menyantap suguhan minuman ringan dan cemilan-cemilan. Sebuah antusiasme, fanatisme, ato isme-isme lainnya yang saya kira sangat patut untuk dikagumi. Nampaknya tak ada satupun halangan yang mampu menyurutkan niat untuk mengantar Suharto ke peristirahatannya yang terakhir. Diam-diam saya berdecak kagum pada kegigihan kelompok ini.
Pukul dua siang, rombongan itu kembali ke kantor dengan wajah-wajah penuh kepuasan seakan-akan baru saja pulang mengunjungi salah satu keajaiban dunia. Sebagian dari mereka kemudian menceritakan suasana pemakaman kepada teman-teman lain yang tak sampai “segila” mereka.
Dan begitulah, betapa magnet seorang Suharto ternyata sangat besar. Bukan saja pada masa pemerintahannya yang memaksakan dirinya sebagai pusat gravitasi segala hal yang terjadi di Indonesia, namun juga saat kematiannya yang mampu membuat sebagian orang menjadi betul-betul terseret dalam pusaran pemberitaan tentang dirinya.
Ah, selamat jalan pak..semoga dosa-dosa anda diampuni Yang Maha Pengampun..
begitulah, memang…magnet beliau itu rupanya masih punya kekuatan besar..
banyak yang membenci, tapi tidak sedikit yg menjadikan beliau panutan…
[setidaknya bagi media, kematiannya justri bisa jadi tontonan yang menguntungkan]..
mari mengucapkan selamat jalan buat beliau, di alam sana, beliau akan menghadapi Pengadilan Yang Maha Adil oleh Hakim Yang Maha Bijak.
Pemerintah kita gagal mengadili beliau, suatu ironi yg teramat mengecewakan!
Wajar menurut mamie. Dari sejak lahir mamie sudah mengenal nama dan sosok almarhum. Yah di televisi, di buku, di sekolah, bahkan di uang kertas.
Jikalau wafatnya beliau merupakan waktu terakhir dimana kita bisa melihat sosok almarhum secara badaniah, pastilah akan menjadi momen yang tidak ingin mamie lewatkan.
Jadi kalo Amdan juga komplen Narutonya gak ditayangkan, mamie cuman bilang “sabar nak yah, naruto masih bisa amdan nonton besok dan besoknya lagi, tapi ini…. sabar yah”
Sy juga sempat berdebat ma adik. Karena di waktu yg sama, Jak-TV memutar film taiwan langganannya, tak ayal..maka terjadilah perang saudara di depan TV saat itu.
“Belajarlah mengamati sketsa2 yg akan menjadi sejarah seperti itu..!”. Teriakku di depan TV..
Dan alhamdulillah, feodalisme di rumah msh dijunjung tinggi. Sy menang, krn lahir lbh dulu. You’re still young, thats your fault..hehehe
…………………………….
Sy termasuk orang yg g suka ma Suharto, ANTI SUHARTO ka’, sampe2 orang rumah slalu blg “knp mi itu de eh..mentang2 pernah jg mahasiswa, biar renta yg sudah sekarat, msh sj dibenci2..”
Tapi utk pertama kali, di hari itu, sy menitikkan air mata, ketika SBY mengguyur kubur dengan tanah. Bagaimanapun Pak Harto jg manusia, toh ketika kita yg berada di posisinya, saat itu kita berharap.. tak satupun berkata lain selain doa untuk kita.
Smoga tenang di sana dan diampuni sgala salahnya, dan mari selamatkan para keluarga serta kroni2nya untuk tidak mengulangi ataupun mengunyah bekas2 kesuraman lalu.
Bosen sama lika-liku peradilan, faktanya banyak orang yang merasa kalo Pak Harto emang udah hilang dari peredaran untuk selamanya.
Mudah2an Almarhum diampuni dosa-dosanya dan diterima arwahnya di sisi Allah. Maukah sejenak melupakan masa lalu mantan Presiden kharismatik ini, untuk sekadar bisa mengenang jasa-jasanya menghantar negeri besar ini ke dalam kubah pendidikan demokrasi?
kalo bahas ttg soeharto, sy paling sk komennya romo mangun (klo nda slh inget). sy baca wkt di koran tempo hr senin/selasa lalu. wallahhh!!! tuh koran mnerbitkan edisi khusus soeharto scr komprehensif bo’!
*garuk2 kepala
Kalau disurvey dengan objective saya yakin 95 % rakyat indonesia mengenang kenangan manis dengan almarhum, yang 5 % adalah orang-orang macam J Christianto, Amien Rais, Budiman Sujadmiko, Yeny Rosa, mungkin Munir kalau masih hidup dimana mereka-mereka tidak kebagian kue pembangunan atau mau menang sendiri dan sekarang bisa menikmati rupiah dari keberaniaannya ngomong tanpa dasar di media , namun sayang media (TV dan Koran) khususnya mereka yang ingin dicap reformis dan ingin meraup oplah menafikan 95 % rakyat Indonesia yang mengagumi beliau, seolah seluruh rakyat membenci beliau.Dikemanakan suara hati nurani rakyat… ? mereka diam bukan berarti setuju dengan pemberitaan, mereka diam karena tidak mau ribut dan menurut titah Bapak Pembangunan untuk tidak membalas fitnah dengan kekerasan.
Selamat Jalan Bapak Bangsa, Sugeng tindak….
Tuhan memberkati …. Sugeng tindak.