Fight for hunger

hunger.GIF

 

         Makanan adalah kebutuhan paling mendasar untuk seluruh mahluk hidup di dunia ini, tentu saja termasuk manusia. Sudah sering kita dengar orang-orang berucap “ demi sesuap nasi”, atau ungkapan retoris senada lainnya. Hidup untuk makan atau makan untuk hidup, entah mana yang paling tepat.

Tapi, terkadang kita tidak sadar kalau di sekitar kita masih banyak saudara-saudara kita yang betul-betul kesulitan untuk memenuhi kebutuhan perut mereka. Jangankan untuk makan sesuai panduan yang telah kita pelajari sedari kecil, bahwa makan harus tiga kali sehari dengan jumlah gizi yang cukup atau yang kita kenal dengan istilah 4 sehat 5 sempurna, saudara-saudara kita itu untuk bisa makan sekali sehari saja susahnya minta ampun. Pinggirkan dulu soal kecukupan gizi.

Beberapa bulan yang lalu, masyarakat kota Makassar terhenyak oleh berita meninggalnya dg.Basse, seorang ibu yang tengah hamil gara-gara kelaparan dan kekurangan gizi. Ironis karena di Indonesia, Sulawesi Selatan termasuk daerah lumbung pangan. Sehingga kematian dg.Basse bisa diibaratkan seekor tikus kecil yang mati di lumbung padi. Sungguh miris mendengarnya.

Hal yang makin terasa mengiris kemudian adalah kenyataan bahwa para pejabat pemerintah seakan-akan berlomba-lomba membuat penyangkalan atas kasus tersebut. Rata-rata mereka satu suara dengan mengatakan kalau almarhum meninggal karena muntaber yang akut, dan kesalahan ada pada almarhum karena tidak mau memeriksakan diri ke puskesma. Intinya, almarhum meninggal bukan karena gizi buruk, apalagi kelaparan.

Bisa dimaklumi kalau walikota incumbent berusaha membersihkan mukanya dari coreng seperti ini. Masa-masa belakangan ini adalah masa-masa yang hangat oleh perebutan simpati publik dalam rangka pilkada kota Makassar bulan November nanti. Berita warga yang meninggal karena kelaparan tentu menjadi preseden buruk bagi citra sang walikota yang tetap berambisi untuk duduk lebih lama di kursinya itu. Jadi, menyangkal adalah langkah pertama yang bisa diambil.

Kelaparan dan gizi buruk adalah satu paket yang selalu jadi momok bagi negara-negara berkembang. Menurut Kepala Badan Ketahanan Pangen, Kaman Nainggolan, saat ini di Indonesia diperkirakan jumlah penderita gizi buruk mencapai angka 3,8 juta jiwa. Jumlah yang cukup lumayan tentunya, apalagi bila mengingat bahwa Indonesia sebenarnya adalah negeri yang sangat subur. Koes Plus menggambarkan kalau di atas tanah Indonesia, orang cukup menancapkan tongkat kayu yang kemudian akan hadir sebagai tumbuhan.

Sayang, Indonesia yang subur yang digambarkan oleh Koes Plus dan leluhur-leluhur kita telah berganti masa. Keserakahan sebagian orang telah membuat Indonesia menjadi sebuah negeri yang nyaris kehilangan semua sumber dayanya, dan hanya menyisakan sedikit kekayaan alam yang bisa kita nikmati. Akibatnya, bagi mereka yang kurang beruntung dan kurang mendapatkan kesempatan bertarung menikmati sisa-sisa tersebut, maka kelaparan dan gizi buruklah yang akan jadi imbalan buat mereka.

         Persaingan hidup yang semakin keras memang semakin meminggirkan kaum marjinal di negeri ini. Jurang pemisah antara yang kaya dan yang miskin semakin jauh dan dalam membentang. Pergeseran nilai-nilai sosial dalam kehidupan sehari-hari turut menyumbangkan andilnya bagi semakin bertambahnya jumlah penduduk yang kelaparan dan ber-gizi buruk. Rasa kepekaan sosial yang semakin tumpul, dan sifat egosentris yang justru semakin tajam tak pelak membuat kita terkadang lupa untuk sekedar menengok saudara kita yang kelaparan.

Tindakan pemerintah memang bukan tidak ada, hanya saja terkadang terkesan mubazir karena tidak disertai dengan program yang berkesinambungan. Karena pangkal masalah kelaparan dan gizi buruk-utamanya di daerah urban-yang terlalu rumit, maka langkah pemberantasan yang diambil juga tentunya bukan langkah praktis. Pada titik inilah pemerintah terkadang kehilangan arah dan konsistensi untuk menjalankan sebuah program yang berbuah nyata sebagai konsep pemberantasan kelaparan dan gizi buruk.

Pada masa-masa tertentu, para korban kelaparan dan gizi buruk tersebut malah menjadi komoditas politik yang menjanjikan. Tengok saja pada masa-masa kampanye sebuah pemilihan umum. Para pejabat atau calon-calon pejabat pasti berbondong-bondong menyalurkan bantuan demi meraih popularitas yang berujung pada raihan kekuasaan. Sebuah langkah praktis yang sama sekali tidak menyentuh akar permasalahan. Dan sayangnya hal ini selalu berulang hampir setiap waktu ketika musim kampanye tiba.

Agak sulit memang untuk memberantas masalah kelaparan dan gizi buruk ini, apalagi bila memang semuanya hanya didasarkan pada langkah praktis yang sebenarnya hanya kedok untuk sebuah tujuan penuh ambisi.

Keikutsertaan masyarakat luas yang ditunjang oleh komunitas-komunitas tertentu yang bersedia bekerja secara konsisten dan terstruktur tentunya jadi tumpuan harapan untuk mengeliminir jumlah penderita kelaparan dan gizi buruk. Wake up guys, ini adalah masalah kita bersama…

Let’s fight for hunger..!!!