Jakarta Underkompor ; Sebuah Memoar Garing
Senin 14 April yang lalu, sebuah paket tiba di kantor. Isinya sebuah buku, Jakarta Underkompor: Sebuah Memoar Garing,langsung dari tangan sang penulis-Arham-dari kota Kendari.
Sebenarnya saya agak telat juga menerima buku ini karena sebenarnya buku ini pertama kali diterbitkan bulan Februari yang lalu. Tadinya saya hanya ingin meminjam pada teman yang sudah duluan membeli buku ini, Cuman agak sungkan juga pada si penulis karena katanya di bagian terima kasih ada namaku tercantum di sana. Kemudian karena tidak tiap hari ada buku yang terbit dengan namaku tercantum di bagian terima kasih, maka saya kira saya perlu dan semi harus untuk memiliki buku ini. Lagipula bukunya masih terhitung murah meriah, Rp. 25 ribu. Kasian penulisnya kalau semua orang hanya punya niat untuk minjam.
Kesan pertama terhadap buku ini adalah; Lumayan. Ada beberapa bagian di depan dan belakang yang langsung menyentuh saraf geliku. Otomatis saya langsung mengakui kejeniusan dan kreatifitas Arham dalam mencari deretan kata yang mampu mengundang rasa geli.
Selanjutnya, isi buku ini sebagian besar sudah tidak mengagetkan lagi. Karena buku ini diangkat dari blog, maka sebagian besar isinya telah pernah saya baca sebelumnya. Ibaratnya hanya sekedar me-refresh ingatan, tapi tak urung juga saya tetap tersenyum simpul dan tentu saja terhibur membaca deretan-deretan tulisan Arham.
Saya dan istri sepakat kalau tulisan Arham mengingatkan kami pada sosok Hilman Hariwijaya, sang pencipta Lupus yang fenomenal di akhir 80-an dan awal 90-an itu. Joke-jokenya hampir semuanya sesuai dengan pakem yang dipopulerkan Hilman tersebut. Jadinya, buku Jakarta Underkompor ini ibarat sebuah buku nostalgia masa remaja kami.
Sebenarnya saya dan istri lebih menantikan kumpulan karya rekayasa foto dari Arham yang juga banyak menghiasi blognya. Kumpulan-kumpulan rekayasa foto tersebut pasti berangkat dari sebuah ide jenius nan kreatif, dan selalu sukses mengocok perut. Di kantor saya sendiri, Arham mampu menarik minat banyak teman-teman karena kepiawaiannya mencari bahan dan kemudian merekayasa foto hingga menghasilkan formula ampuh untuk mengocok perut.
Akhirnya saya memberikan nilai 3 bintang untuk karya perdana Arham Kendari ini. Sebuah buku yang sebenarnya tidak bisa dibilang ringan karena dibalik kelucuan dan kegokilannya (yang kadang-kadang terasa garing juga) tersimpan satu-dua pesan moral yang cukup mengena. Sebuah karya yang saya kira patut diberi apresiasi lebih dari seorang pemuda yang notabene berasal dari sebuah kota kecil di sebelah tenggara pulau Sulawesi.
Arham bagi saya adalah sebuah inspirasi bahwasanya kreatifitas tak selamanya harus datang dari sebuah kota besar yang berlimpah fasilitas. Arham-seperti jga Mahar, sosok yang diidolakannya-adalah contoh bagaimana kreatifitas bisa muncul dari mana saja dan kapan saja.
Terus berkarya cappo..!!, kami menantikan karya-karyamu berikutnya..
spechless…
tarimakasi maega, Daeng..
tersanjungku, deh..
btw, salam buat empat selir ta’..
hwahaha.. 😀
hmmm..koreksi..
selirnya cuma 3..yg satu permaisuri..hehehe
psst…tp ini rahasia ya..?, jangan di-publish dulu…:)
wah.. ada mi reviewnya. sy ndak sempat review. skrg malah ndak tau di manami itu buku, banyak yang pinjam 😀
hehehe