Dulu Kita Pernah Punya Pancasila

Garuda Pancasila (sumber: Google)
Garuda Pancasila (sumber: Google)

Masihkah generasi sekarang mengerti pentingnya Pancasila? Atau Pancasila hanya tinggal kenangan dan mitos saja?

Bulan Februari kemarin saya mendapat kesempatan menemani 18 orang warga Afghanistan yang sedang belajar menjadi fasilitator di Makassar. Kesempatan ini saya gunakan untuk mengobrol dengan beberapa orang dari mereka. Saya sudah lama penasaran pada negeri di utara Pakistan itu, negeri yang katanya indah meski selalu akrab dengan kata perang, bom dan kekacauan.

?Saya kagum pada Indonesia. Negeri ini punya ratusan suku tapi bisa hidup dama, tidak seperti di negeri kami?. Begitu kata seorang peserta dari Afghanistan.

Afghanistan adalah negara kecil, sangat kecil jika dibandingkan dengan Indonesia. Penduduk mereka hanya sekitar 30 juta orang, bandingkan dengan negeri kita yang penduduknya hampir 250 juta. Afghanistan juga hanya punya beberapa suku, Pashtun, Hazara, Tajik, Uzbek dan beberapa suku kecil lainnya. Tapi apa yang terjadi? Meski hanya beberapa suku mereka bukannya hidup berdampingan malah sering bergesekan.

Etnis Pashtun sebagai etnis terbesar punya rasa superior yang tinggi. Mereka memang unggul dari segi ras, lebih putih, tinggi, hidung mancung, mata biru. Pokoknya lebih unggul dari segi apa saja. Etnis Hazara yang lebih minoritas dengan bentuk fisik yang mirip ras Mongolid dan rata-rata memeluk Syiah selalu jadi korban. Mereka ditindas, dicela, dihina dan bahkan jadi korban? pembantaian massal di jaman ketika Taliban berkuasa.

Orang Pashtun memandang orang Hazara sebagai pembohong yang tidak bisa dipercaya, orang Hazara memandang orang Tajik sebagai pencuri. Dan seterusnya, dan seterusnya. Tak ada yang rela menerima kelebihan suku yang lain, yang ada hanya kecurigaan. Afghanistan hanya diisi sedikit etnis, tapi pertikaiannya jauh lebih banyak dari Indonesia.

Kita Punya Pancasila.

Lalu kenapa negeri kita yang punya ribuan suku ini bisa hidup tenang dan berdampingan? Ya, suku-suku di negeri kita memang tidak selamanya hidup tenang. Negeri kita juga ada gesekan antar suku dan antar agama. Poso, Ambon, Sampit dan apa lagi? Daftarnya akan cukup panjang kalau gesekan-gesekan kecil yang tak terendus media ikut dimasukkan. Tapi percayalah, gesekan itu tidak seberapa dibanding besarnya negeri ini, dibanding beragamnya warna di negeri ini.

Jadi sebenarnya apa yang membuat kita relatif bisa hidup damai meski ada banyak perbedaan?

Karena kita punya Pancasila? Bisa ya bisa tidak. Founding father negeri ini sudah memikirkan kalau negeri kita punya banyak warna yang beraneka ragam. Banyak hal yang berbeda, yang potensial jadi alasan untuk berpecah. Founding father bangsa ini merumuskan sebuah dasar untuk negeri yang punya banyak perbedaan ini. Harapannya satu, agar negeri ini bersatu di bawah satu payung.

Dalam rentang masa yang telah terlewatkan, negeri ini berhasil. Berhasil menyatukan perbedaan di bawah satu payung bernama Indonesia dengan Pancasila sebagai dasarnya. Tidak perlu teori yang berbelit-belit untuk tahu apa itu Pancasila dan gunanya bagi bangsa yang besar ini. Orang Indonesia hanya tahu kalau mereka harus bersatu, soal apakah itu sesuai dengan Pancasila itu bukan urusan mereka. Kita menikmatinya sebagai dasar yang mempersatukan negeri ini tanpa harus paham teorinya yang diberi label sebagai: Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila.

Pancasila Tertiup Angin

Tapi angin bertiup kencang. Pada masa orde baru, Pancasila dikenal luas oleh orang Indonesia. Tapi sebatas teori. Anak-anak sekolah menghapal butir-butir Pancasila dengan baik, tapi mereka melakukannya hanya karena itu adalah tugas dari sekolah. Hanya supaya nilai mereka baik dan bisa lulus. Itu saja. Dasar negara yang sejatinya adalah identitas kita itu berhenti sampai tatanan wacana, tidak mengakar dalam kehidupan sehari-hari.

Kerusuhan Poso (foto: Vivanews)
Kerusuhan Poso (foto: Vivanews)

Akibatnya ketika angin bernama globalisasi bertiup kencang, pohon besar bangsa ini ikut bergoyang. Ranting dan dahannya yang berisi elemen masyarakat ikut bergesekan. Beda suku bisa jadi alasan untuk saling melempari, berbalas serangan dan saling mencabut nyawa. Beda agama jadi alasan untuk menyakiti dan membunuhi kaun minoritas. Lupakan Pancasila, karena itu memang hanya teori yang akarnya tidak kuat.

Kapitalisme, fasisme, fundamentalisme atau isme-isme yang lain jadi istilah baru yang dicetuskan oleh orang-orang pintar. Orang-orang bodoh tidak kenal isme-isme itu, mereka hanya tahu kalau jaman berubah, orang-orang jadi makin serakah dan makin tidak peduli pada sekitar. Kehidupan seolah berpusat pada diri dan golongan mereka saja. Ketika ada yang berbeda maka kekerasan jadi jalan keluarnya.

Orang-orang yang lebih pintar malah memanfaatkan kesempatan dengan mengambil keuntungan bagi diri mereka sendiri. Mereka lupa pada pasal Pancasila yang berbunyi: keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Mereka mengubahnya menjadi: kemakmuran sosial bagi saya dan golongan saya. Maka ucapkanlah selamat datang pada korupsi!

Angin kencang itu membawa hal baru yang kata orang namanya globalisasi. Perlahan kita lupa kalau kita sebenarnya punya identitas sendiri bernama Pancasila. ?Sebuah tatanan baru hadir, menggantikan tatanan lama yang mungkin dirasa sudah usang.

Saatnya Kembali Menyuburkan Pancasila.

Tidak gampang memang menahan derasnya tiupan globalisasi itu. Bangsa kita terlalu beragam isinya, semua punya keinginan untuk tampil mencolok di atas warna-warna yang berbeda. Globalisasi bisa membuat satu warna menguasai warna lainnya. Tapi bukan itu kan yang kita inginkan?

Pancasila mungkin terdengar terlalu kuno di jaman sekarang, jaman di saat produk dari luar lebih terdengar keren dan menggoda. Pancasila mungkin dianggap sama dengan artefak kuno peninggalan jaman kerajaan. Hanya cocok dibingkai dalam kotak kaca untuk dikagumi. Tidak untuk diamalkan.

Akankah mereka mengenal pancasila? (foto: nisabollong.wordpress.com)
Akankah mereka mengenal pancasila? (foto: nisabollong.wordpress.com)

Tapi kita tidak boleh kehilangan harapan bukan? Pancasila harus dihidupkan dalam kemasan yang berbeda. Tak perlu menjelaskannya dalam rumusan penjelasan yang terkesan seperti ajaran orde baru. Di jaman yang sudah terlalu kompleks ini, pencerahan tentang Pancasila dengan kemasan seperti jaman orde baru tentu tidak pas. Anak-anak muda akan malas duluan sebelum mengerti pesan yang dibawa.

Tak perlulah kita tahu semua teori tentang Pancasila sebagai identitas bangsa. Cukup kita mengerti kalau kita punya identitas sendiri yang bisa kita pegang kuat melawan kencangnya arus globalisasi. Biarkan anak muda mengemasnya dengan kemasan yang mereka anggap cocok untuk generasi mereka. Waktu terus berjalan, tidak ada waktu untuk bersantai dan membiarkan kita kehilangan identitas.

Saya hanya berharap bertahun-tahun dari sekarang bangsa kita tidak penuh dengan pertikaian karena suku-suku yang ada sibuk mencari identitasnya sendiri-sendiri. Saya berharap kekaguman teman dari Afghanistan itu tidak luntur. Negeri kita punya terlalu banyak suku yang berbeda, kalau tidak ada yang merasa punya kesamaan maka habislah semua. Kita akan jauh lebih menderita dari Afghanistan yang hanya punya sedikit suku yang berbeda itu.

Jangan sampai suatu saat nanti kita akan berucap: dulu kita pernah punya pancasila.

[dG]