Tentang Buzzing dan Buzzer

Social Media Landscape (foto by: Google)
Social Media Landscape (foto by: Google)

Buzzer, profesi yang 5 atau 10 tahun lalu mungkin tidak pernah terbayangkan oleh kita tapi sekarang hadir di tengah-tengah kita.

Jaman dulu kita cuma tahu promo lewat radio, majalah, televisi dan baliho. Kita sama sekali belum terpikir tentang media alternatif lain yang memungkinkan orang mempromosikan produk atau brandnya. Tapi teknologi memang berkembang pesat ya? Internet kemudian datang dan menawarkan media alternatif lain sebagai media promosi. Jadilah orang kemudian melakukan promosi lewat website, blog dan sekarang lewat media sosial.

Sekarang ada istilah buzzing dan buzzer, buzzing adalah caranya dan buzzer adalah pelakunya. Pengguna twitter pasti pahamlah ketika beberapa teman atau orang yang mereka follow tiba-tiba ngetwit tentang sebuah brand atau sebuah kampanye dari brand tertentu secara bersamaan. Polanya gampang terlihat, biasanya twit buzzing diikuti dengan tagar atau hastag tertentu.

Awalnya kegiatan buzzing ini dianggap biasa saja, namanya juga usaha. Entah usaha dari brandnya untuk berpromosi atau usaha dari pemilik akun twitter untuk mencari tambahan penghasilan atau bahkan penghasilan utama. Masalah baru muncul ketika jumlah buzzer dan aktifitas buzzing makin bertambah. Kenyamanan para pengguna twitter pelan-pelan mulai terusik.

Bayangkan jika di jam bersamaan twit berisi promo suatu produk atau kampanye suatu produk muncul bersamaan, dengan nada yang sama, menggunakan tagar yang sama dari orang-orang yang kita follow. Rasanya seperti mendapatkan selebaran berisi promo suatu usaha di lampu merah dari beberapa orang secara bersamaan.

Nada sinis kemudian muncul dari beberapa pengguna twitter, khususnya kepada para buzzer itu. Saya tahu ada beberapa dari rekan pengguna twitter yang benar-benar tidak nyaman dengan aktifitas buzzing dan memilih mencibirkan bibir kepada para pelakunya. Mereka yang kenal baik secara offline dengan para buzzer biasanya memilih untuk menyimpan rasa tidak nyaman itu dan menganggap buzzing sebagai hal yang biasa, tak perlu dibesar-besarkan. Sebagian mungkin karena merasa lebih tidak enak untuk nyinyir atau sinis pada buzzer yang adalah teman mereka.

Saya sendiri terus terang pernah menjadi buzzer. Ada 3 produk selular yang menawari saya untuk jadi bagian dari promo brand mereka. Tapi memang provider si biru yang paling sering karena setahu saya mereka memang yang paling gencar menggunakan media sosial untuk promo produk atau kampanye tertentu. Jumlah buzzer-nya pastilah paling banyak se dunia maya.

Urutan sebelum kita memulai buzzing adalah sebagai berikut: awalnya pastilah penawaran dulu dari agency yang mewakili brand tersebut. Setelah harga disepakati, maka agency akan mengirimkan brief berisi aturan main, isi buzzing dan tujuan dari buzzing. Di brief ini tertera tujuan dari buzzing yang akan dilakukan, isi twit yang diharapkan dan tentunya waktu pelaksanaan. Waktu yang paling sering adalah waktu yang dianggap sebagai prime time atau waktu di mana para pengguna twitter sedang ramai-ramainya.

Jadi tidak heran jika pada waktu-waktu tertentu para beberapa kawan kita atau orang yang kita follow di twitter tiba-tiba ngetwit dengan kalimat yang hampir sama dan dengan tagar yang sama. Briefnya memang seperti itu.

Sayangnya, beberapa orang sepertinya tidak berbakat untuk jadi buzzer atau setidaknya mereka belum tahu bagaimana menjadi buzzer yang baik. Saya dapat pelajaran penting dari seorang kawan tentang bagaimana jadi buzzer yang baik. Jauh sebelum waktu untuk buzzing datang, alangkah baiknya jika kita sudah memulai dengan twit yang menjurus ke sana tapi dengan gaya kita senatural mungkin. Cara ini membuat para followers kita jadi tidak kaget ketika tiba-tiba kita datang dengan twit berbau promosi. Intinya, jadi buzzer itu memang butuh kreatifitas tinggi agar tidak terkesan hard selling. Hard selling itu mengganggu saudara-saudara, bayangkan jika tiba-tiba anda mendapat telepon dari seseorang yang ktia tidak kenal sebelumnya tapi langsung menyerocos menawarkan asuransi atau kartu kredit. Seperti itulah kira-kira perasaan followers yang tiba-tiba timeline-nya dibanjiri twit penuh promosi tanpa ada awalan sebelumnya.

Buzzing dan buzzer memang jadi pro dan kontra. Ada yang sinis dan nyinyir, ada juga yang menganggapnya hal yang wajar. Namanya juga usaha, wajar dong kalau semua orang boleh memanfaatkan semua media. Lagipula makin hari nilai rupiah dari aktifitas ini makin menggiurkan.

Ada tulisan menarik tentang aktifitas ini di blognya Mbak Dos. Intinya beliau mengkritisi para agency yang menginginkan twit promosi dari para buzzer itu dilakukan di waktu yang sama sehingga hasilnya jadi mengganggu bagi sebagian pengguna twitter. Ada benarnya juga, jika saja para agency itu mau repot sedikit mengatur waktu atau istilahnya shift bagi para buzzer-nya maka mungkin ketidaknyamanan itu akan berkurang.

Ini memang jadi PR berat untuk para agency. Jangan sampai aktifitas ini bukannya mendatangkan simpati dan rasa penasaran dari pengguna twitter malah mendatangkan rasa sebal, sinis dan jengkel. Alih-alih tertarik untuk jadi pengguna produk tertentu yang diiklankan para buzzer, mereka bisa saja malah jadi antipati. Atau mereka bisa menempuh cara yang sama dengan yang dilakukan di beberapa negara maju dimana sebuah twit berisi promosi harus mencantumkan tagar #ADV atau advertising biar orang langsung tahu kalau twit itu memang twit berbayar. Ini [mungkin] bisa membuat para followers jadi lebih maklum dan bisa menerima.

Kalau menurut anda sendiri bagaimana? [dG]