Dipermalukan Oleh Kamera
Sebelum menjadi mahir, biasanya orang akan melalui masa kegagalan. Beberapa di antaranya bahkan sangat memalukan.
Cerita ini terjadi sekitar 12 tahun lalu ketika masih bersama teman-teman kuliah. Waktu itu saya baru saja belajar memegang kamera SLR, tepatnya kamera analog keluaran tahun 70an. Sebuah RICOH yang saya lupa tipenya. Kamera ini sebenarnya punya teman tapi dipinjamkan ke saya. Dengan kamera itu pula saya mulai belajar memasang roll film, mengatur bukaan dan kecepatan rana serta mengatur komposisi dan menggulung kembali roll film untuk dicetak.
Suatu hari teman-teman ?sekelas membuat rencana liburan bersama ke pulau Barrang Lompo. Saat itu Barrang Lompo masih punya satu cottage yang menjorok ke lautan dan benar-benar nyaman untuk dipakai menginap dan menikmati lautan.
Maka berangkatlah kami ke sana. Total rombongan sekitar 10 orang, dan sebagai salah seorang yang mengaku bisa motret saya kebagian tugas membawa kamera. Tahun 1999 kamera belum seperti sekarang. Jangankan kamera SLR, kamera poket saja masih jarang beredar. Jadi tidak heran jika teman-teman begitu bersemangat ketika tahu saya membawa kamera SLR meski masih analog.
Malam sebelum keberangkatan, dengan kamera di tangan saya menggelar sedikit ceramah singkat tentang cara menggunakan kamera SLR. Maklumlah, di antara teman-teman seangkatan rasanya belum ada yang punya kamera sejenis atau minimal tahu cara menggunakannya. Dengan berapi-api saya menjelaskan bagaimana menyelaraskan antara bukaan diafragma dan kecepatan rana kepada beberapa teman yang melongo entah karena kagum atau justruk karena bosan.
Singkat cerita berangkatlah kami ke pulau Barrang Lompo. Sebelum berangkat saya membeli satu roll film dan ketika sang penjaga toko menawarkan diri untuk memasang roll film dengan percaya dirinya saya menolak. Toh sebelum ini saya sudah beberapa kali memasang sendiri roll film di kamera. Hari itu saya juga melakukannya sendiri tentu saja dengan penuh percaya diri.
Dua malam di pulau kami lewati dengan penuh riang canda. Berkumpul dengan teman-teman sealiran tentu saja merupakan hal yang paling menyenangkan. Sepanjang acara saya dengan kamera SLR pinjaman itu juga beraksi merekam keceriaan kami semua. Semua ceria dan semua yakin kalau hasil fotonya akan sangat bagus.
Liburan kemudian harus berakhir, di perjalanan pulang saya melirik ke kamera. Jumlah 36 sudah terlampaui tapi shutter masih bisa tertekan, mungkin bonus kutipan pikir saya. Biasanya bila memasang roll 36 dan cara pasangnya bagus maka ada bonus sekitar 4 kutipan. Saya kembali memotret. Herannya meski perasaan sudah lebih dari 4 kali menekan shutter tapi roll-nya masih bisa diputar. Saya mulai merasa ada yang aneh, hingga akhirnya memutuskan untuk memutar kembali roll film seperti prosedur semestinya setiap habis memotret.
Keesokan harinya saya dengan penuh rasa penasaran saya membawa roll film itu tukang cuci cetak. Rasanya tidak sabar ingin melihat sendiri hasil kutipan saya yang merekam keceriaan selama dua hari di pulau itu. Roll film saya tinggal dan saya janji untuk kembali beberapa jam kemudian.
Ketika saya kembali untuk menjemput hasil cetak foto, kenyataan pahit terpampang di depan mata. Sial !! Rupanya saya salah memasang roll film. Roll film yang seharusnya tertarik rupanya meleset dan sama sekali tidak tertarik ke dalam ruang rekam. Jadi, selama dua hari di pulau sama sekali tidak ada foto yang terekam. Itu jawaban kenapa saya masih tetap bisa mengokang kamera meski penunjuk angkanya sudah lebih dari 36 bahkan 40 kutipan. Roll film yang saya bawa ke tukang cuci masih bersih seperti roll film yang baru karena memang sama sekali tidak terpakai. Lembaran-lembaran negatif film yang dicetak benar-benar kosong, sama sekali tidak bergambar.
Saya langsung lemas ketika itu juga. Terbayang wajah teman-teman yang begitu mengharapkan hadirnya foto-foto indah hasil liburan kami. Terbayang rasa malu yang harus saya tanggung, apalagi karena malam sebelum keberangkatan saya dengan semangatnya memberikan ceramah singkat tentang fotografi. Doh !!
Saya butuh waktu beberapa hari sebelum benar-benar berani ke kampus dan menemui teman-teman yang sudah tidak sabar menunggu hasil jepretan saya. Benar saja, ketika tahu kejadian sebenarnya spontan saya jadi bahan ledekan teman-teman semua, termasuk gaya saya ketika memberikan ceramah soal bukaan diafragma dan kecepatan rana. Benar-benar momen yang memalukan. Saya butuh waktu lama sebelum bisa kembali percaya diri di depan mereka.
Hari ini saya bisa mengenang kejadian itu sebagai kejadian yang lucu dan memalukan. Sekaligus sebagai sebuah pelajaran bahwa sebuah keberhasilan biasanya memang dimulai dengan kegagalan. Semua butuh proses belajar. Ah, saya merindukan teman-teman saya itu. Jika bisa berkumpul lagi dengan mereka saya akan memotret mereka sepuas-puasnya, sebagai ganti momen yang hilang dulu.
12 tahun yang lalu dipermalukan kamera tapi kan sekarang sudah jadi ahlinya..
*applaus*
apa ? ahli..?
hihihi…baru belajar kakakkk..
saya juga mau lho dipotret, kapan ya daeng? 😀
klo saya pernah malu gara2 kamera tapi ga sampai segitunya sih, tapi ya sama2 tetap malu 😀 ceritanya foto2 sama seseorang yang dipentingkan, terus pas dia bilang :”coba saya mau lihat hasil fotonya.”
nah lo? jujur itu kamera pinjaman, jadi mana saya tau gimana cara liat foto yg tadi? saya cuma ngerti njepret, soal liatnya nanti saja. ga nyangka juga bapak itu bilang mo liat hasilnya. dengan enteng pula dia bilang “kamera pinjaman ya?!”
kadung malu ya mengaku sajalah hahaha … akhirnya ya dia sendiri sih yang ngotak atik wat ngeliat hasil fotonya hahaha …
tapi, sampai sekarang saya blom pinter lho motret orang hahaha … beda nasib kita ya daeng 😀
saya mau motret tapi dengan satu syarat : mukanya harus kelihatan 😀
Pengalaman yang menarik mas
gapapa, nanti kalau ketemu lagi, kau boleh potret aku sepuasnya #eh
#bhahak pengalaman tak terlupakan ya daeng 🙂
Jiahhhh… padahal sudah bersemangat.. ternyata endingnya…heu heu heu.
Tapi sekarang sudah tak mungkin terulang kan Daeng? toh, klo ga pasang SD Card pasti dikasih tau.. 😛 | canggih nian sekarang…he he he
Waduh. Untung bukan acara nikahan. Kebayang klo fotografer yg dibayar untuk acara nikahan tapi hasilnya tidak ada, bisa2 dikeroyok.
waha ketika itu saya belum njamani kamera analog
skarang pun belum punya SLR…*urek urek foto daeng*
tapi sekarang udah punya kamera hape 2 mega pecel… dan jadi blog hehe
dan sekarang kebalikannya,,
sekarang semua foto2mu menakjubkan om.. 😀
wahahaha jadi ingat jaman SMP dulu pas touring nyari pinjeman kamera, pas kelar touring saya coba rolling film dengan posisi tutup ruang film terbuka lebar, alhasil pas dicuci gambarnya kosong alias blank alias kobong haha. baru ngeh klo film itu gak boleh kena cahaya wakakakaka…
nyasar ke blog ini gara2 gugling tentang rules of third, sip dpt ilmu banyak sayaaaah 🙂