29 Agustus 2007

Ada apa dengan tanggal 29 Agustus 2007 ?, hmm…sebenarnya sih ndak terlalu istimewa-istimewa amat, tapi saya tertarik untuk menuliskan 2 kejadian yang terjadi pada saya di hari itu, dan saya kira judul di atas cukup mewakili.

Nah, cerita yang akan saya ceritakan itu terbagi atas 2 bagian. Silakan disimak

batagor yang diperkosa.

Ah, sub judulnya mungkin terlalu bombastis. Tapi setidaknya itulah kesan yang saya tangkap atas ekspresi istri saya setelah berusaha menikmati batagor “gadungan” yang saya bawa pulang. Saya dan istri kebetulan memang hobi makan batagor, makanan khas orang Sunda. Biasanya kami sering mampir di derah Jl. Hertasning, agak di ujung dan sudah hampir masuk ke Jl. Hertasning baru. Ibu yang menjual kebetulan memang orag Sunda asli, kelihatan dari logat bicaranya (yang sekilas mengingatkan saya pada Ringgo Agus Rachman di film “Jomblo”). Rasa batagornya pun enak. Hampir menyerupai rasa batagor di daerah asalnya di Bandung sana. Saya bilang hampir karena saya yakin bagaimanapun makanan khas yang telah merantau itu rasanya akan berbeda dengan rasa makanan tersebut di kandangnya.

Entah sudah beberapa kali kami mampir di situ, namun entah kenapa pula, semenjak beberapa minggu yang lalu warung yang numpang di halaman sebuah rumah itu tiba-tiba menghilang. Tidak ada tanda-tanda apapun, termasuk gerobak maupun kain kuning bertuliskan jenis makanan yang biasanya terpasang di depan warung semi permanen itu. Tadinya kami mengira warungnya hanya tutup sementara, atau mungkin saat kami lewat warungnya memang sudah tutup karena dagangannya habis.

Kami sudah mulai melupakan nasib warung tersebut ketika kira-kira seminggu lalu sebuah warung dengan tema sama berdiri tepat disamping bekas warung batagor yang dulu. Warung baru ini juga menawarkan batagor, siomay dan lalapan. Saya langsung mengambil kesimpulan, ini warung yang sama. Sore hari tanggal 29 Agustus 07, sepulang kantor saya pun mampir karena godaan batagor itu. Saya mulai curiga ketika melihat ibu-ibu yang jaga warung ternyata berbeda dengan ibu yang jaga warung batagor kesayangan kami. Kalau langganan kami yang dulu itu asli Sunda, yang ini asli orang lokal, keliatan darilogatnya. “ ah, mungkin anak buahnya..”, pikir saya mencoba menghilangkan kecurigaan.

Rasa curiga di kepala makin menebal tatkala melihat bagaimana ibu itu meracik batagor pesanan saya. Kok aneh ya?, batagor tapi mana bakso gorengnya ?. yang ada malah gorengan yang saya sendiri kurang jelas akan jenisnya. Dari ekspresi si ibu ketika memotong gorengan yang langsung saya tuduh sebagai bakso goreng gadungan menunjukkan kalau si gorengan itu alotnya bukan main. “ wah..wah.kacau nih…”, mau tak mau saya sudah kehilangan pikiran positif. Harapan terakhir saya jatuh kepada bumbu kacang, salah satu titik nikmat dari batagor. Tapi harapan saya akhirnya sirna jua, bumbunya tidak tampak meyakinkan, warnanya terang tidak seperti batagor asli yang saya kenal. Saya tidak mungkin menolak 2 porsi batagor yang telah diracik dan ditaruh rapi di dalam wadah plastik berbentuk kotak. Masih ada sedikit harapan yang tersisa, walaupun terus terang saya sudah terlanjur pesimis.


Setiba di rumah dan selepas sholat maghrib, saya dan istri mulai bersiap-siap mencicipi rasa si batagor gadungan. Sebelumnya saya sudah wanti-wanti ke istri, jangan sampai dia punya ekspektasi yang berlebihan pada batagor yang saya bawa. Semuanya saya ceritakan dengan harapan istri saya punya gambaran umum tentang kenyataan apa yang bakal dia hadapi. Dan betul saja, rasa tak puas segera jadi bumbu utama yang menemani prosesi
makan batagor kami. Rasanya adduhhh mak….bukannya menghina ya, tapi sama sekali ndak bisa disebut batagor. Bumbunya bumbu pecel yang rasanya mirip banget sama bumbu pecel instant yang dijual di pasar-pasar atau supermaket. Itu kenyataan pertama, kenyataan kedua….gorengannya asli alot. Perlu tenaga ekstra untuk melembutkannya menggunakan gigi. Lupakan kaidah umum batagor yang berisi bakso dan tahu goreng. Tahu dan kentangnya memang ada, tapi baksonya…?, entah ada di mana dan digantikan gorengan yang tidak jelas apa namanya.

Dan…..hancurlah makan malam kami. Saya masih punya cukup kekuatan untuk menghabiskan seporsi batagor milik saya, tapi istri saya…?, hanya tahu dan kentangnya yang mampu dia habiskan. Gorengan tak tentu wujudnya itu tersisa. Sayang sekali sebenarnya, tapi apa bolah buat….mulut dan perut tak bisa menerimanya. Kata istri saya, jangan-jangan yang jual ini ndak ngerti apa itu batagor tapi udah berani menngambil langkah berjualan batagor. Sang istri tercinta malah sepertinya tidak tega makanan kesukaannya dirusak seperti itu. Saya hanya tersenyum kecut menanggapi. Ah..sebuah pemerkosaan atas batagor telah terjadi…

inilah tampang Batagor yang telah “diperkosa” itu..


Ketemu tetangga di internet.

Nah, kejadian ini terjadi beberapa jam sebelum tragedi batagor di atas. Siang hari saya menerima imel dari p’Anhar Karateng. Beliau sempat membaca reportase pertandingan sepakbola daster saya yang dimuat di Panyingkul!. Melihat keterangan tempat kejadian dan foto-foto para pelaku, p’Anhar langsung menghubungi saya. Beliau juga ternyata ikut di milis Panyingkul!, sama kayak saya cuman memang beliau jarang nongol. Tapi yang lebih menghebohkan-buat saya-karena ternyata beliau ini dulunya tetanggaan sama saya. Cuma beda 1 blok…beliau tinggal di blok B5 dari tahun 1999-2002, sedangkan saya tinggal di blok B4 dari tahun 1995-2002. berarti selama 3 tahun kami tetanggaan, tapi tidak saling kenal. Kenalnya justru lewat internet. Saya kenal dengan salah seorang keluarga p’Anhar yang juga tinggal di blok yang sama, termasuk beberapa orang tetangganya. Tapi sumpah, saya tidak kenal beliau…

Ah, rasanya malu juga. Sempat tetanggaan selama 3 tahun tapi sama sekali tidak saling kenal. Terus terang, saya memang agak kurang gaul selama tinggal di rumah bapak di blok B4 itu, utamanya setelah penduduk BTN Pao-Pao Permai makin banyak. Di tahun-tahun awal kami sekeluarga tinggal di sana saya masih cukup gaul. Prinsip sebagai orang baru yang harus melebur di lingkungan yang baru membuat saya rajin megakrabkan diri dengan para penghuni yang lebih senior. Tak heran bila saya cukup kenal banyak orang-orang lama. Setelah merasa cukup, apalagi setelah mulai bekerja saya mulai mengurangi pergaulan. Sebagian besar bukan karena disengaja, tapi kesibukan pekerjaanlah yang membuat saya mengurangi kesempata bergaul. Hal ini kemudian ditambah dengan kenyataan saya yang lebih sering tidur di luar, atau saat saya tinggal di Jakarta selama setahun. Jadilah saya makin tak kenal tetangga-tetangga baru di lingkungan saya.

Bapak saya beda, beliau aktif di kepengurusan masjid yang memang hanya beberapa meter dari rumah, makanya beliau pun cukup dikenal di lingkungan rumahnya. Ipar saya (suaminya adek) yang kebetulan memang tinggal di situ juga dan hanya berbeda 3 blok dari rumah rupanya lebih terkenal dari saya. Saat dia dan adek masih numpang di rumah bapak, ada satu kejadian lucu. Saya menumpang ojek dari rumah saya sekarang ke tempat bapak, tukang ojeknya saya kasih arahan menuju ke rumah bapak. Si tukang ojek lantas berkata, “ ooo..rumahnya Sul..?” Sul itu nama ipar saya. Saya hanya mengangguk sambil berkata dalam hati, “ gileee….itu rumah bapakku monyong..!! “, rupanya si tukang ojek lebih kenal Sul yang notabene hanya numpang dibandingkan saya yang sudah lebih lama tinggal di sana. Adek saya malah bilang, “ kalau ada yang ndak kenal bapaknya Syahru (Sul), pasti dia orang baru di sini”…halah….mungkin agak berlebihan, tapi ada benarnya juga. Harus saya akui, ipar saya ini memang lebih gampang dan lebih rajin bergaul. Tidak seperti saya…….

Ah..maafkan saya p’Anhar…