100 tahun kebangkitan nasional ; seabad kontroversi sejarah
Tahun ini genap bilangan ke 100 tahun berdirinya Boedi Oetomo yang diproklamirkan DR. Wahidin Soedirohoesodo. 20 mei 1908 selalu diperingati sebagai patokan hari Kebangkitan Nasional. Boedi Oetomo dicatat sebagai organisasi kebangsaan pertama yang mempengaruhi banyak langkah para nasionalis dan perjuangan kemerdekaan negeri kita.
Tapi, tahukan anda kalau selama ini Boedi Oetomo juga memantik sejumlah kontroversi yang mempertanyakan keabsahan organisasi ini sebagai tonggak Kebangkitan Nasional kita ?.
Boedi Oetomo sebenarnya adalah sebuah organisasi para priyayi kaum Jawa, bahkan dalam sudut yang lebih sempit dari segi sosiaal-culturel hanya memuaskan untuk penduduk Jawa Tengah (A.K. Pringgodigdo: Sejarah Pergerakan Rakyat Indonesia). Boedi Oetomo memang menggunakan bahasa Melayu (Bahasa Indonesia) sebagai bahasa perantara, bukannya bahasa Jawa namun pendukung intinya tetap dari kalangan Jawa dan sedikit dari kalangan Sunda. Rasa keunggulan budaya sebagai orang Jawa sering timbul di permukaan. Boedi Oetomo tidak pernah mendapatkan dukungan nyata dari rakyat kelas bawah dan anggotanya paling banyak 10.000 orang di akhir tahun 1909. Bandingkan dengan Sjarekat Islam yang beranggotakan ½ juta orang di waktu yang sama.
Organisasi ini pada dasarnya merupakan lembaga yang mengutamakan kebudayaan dan pendidikan, serta jarang memainkan peran politik yang aktif. Bahkan bisa dikatakan kalau organisasi ini yang sebagian besar berisi kaum priyayi hanya fokus pada masalah-masalah yang berkaitan dengan status mereka.
Sementara itu pemerintah Hindia Belanda menyambut baik berdirinya organisasi ini, karena menggambarkan keberhasilan politik etis Hindia Belanda. Pada bulan Desember 1909, organisasi ini dinyatakan sebagai organisasi resmi oleh pemerintah. Sepanjang sejarahnya-sebelum dibubarkan tahun 1935-organisasi ini seringkali digambarkan sebagai partai pemerintah yang seakan-akan resmi.
Bandingkan kiprah Boedi Oetomo (BO) dengan Sjarekat Islam (SI). Sejak lahirnya, SI telah dianggap sebagai sebuah “banjir besar”, dalam artian massa dapat dimobilisasi secara besar-besaran baik dari kota maupun dari desa. Pergerakan semacam ini tentunya dianggap sebagai ancaman serius oleh pemerintah kolonial Belanda.
Berbeda dengan gerakan-gerakan lainnya, SI adalah gerakan total yang artinya tidak hanya fokus pada satu orientasi tujuan namun mencakup banyak hal termasuk politik, ekonomi, sosial dan kultural. Tambahan lagi bahwa di dalam organisasi ini ada agama Islam yang menjadi ideologi yang menjadi semacam revivalisme atau kehidupan kembali kepercayaan dengan jiwa dan semangat yang berkobar-kobar.
Sayangnya perkembangan SI yang demikian cepat tidak diikuti oleh cepatnya pengertian dan kesadaran sepenuhnya dari para pengikut pergerakan tentang tujuan dan kegiatannya. Belakangan malah timbul berbagai aksi-aksi yang bersifat lokal dan mengatasnamakan SI yang sesungguhnya menyimpang dari tujuan SI sebenarnya. Menyikapi hal ini, pemerintah kolonial menerapkan ketentuan hanya mengakui SI lokal, sehingga organisasi SI kemudian terisolasi satu sama lain. Dengan demikian SI terpecah belah dan tidak dapat berkembang sebagai sebuah gerakan nasional.
Bila menilik dari sifat organisasinya, SI jelas lebih nasionalis daripada BO. Hal ini juga yang kemudian membuat pemerintah kolonial hanya mengakui BO yang sesuai dengan politik etis mereka di awal abad ke-20 tersebut sedangkan SI yang jelas-jelas berbahaya hanya dianggap bersifat lokal. Pandangan inilah yang kemudian diteruskan oleh pemerintahan Orde Baru, di mana BO dipandang lebih cocok dengan dengan program stabilitas nasional, sedangkan SI dianggap potensial menimbulkan gejolak.
Para penulis buku sejarah jaman Orde Baru memang banyak yang menganggap kalau BO adalah organisasi Nasional yang banyak mempengaruhi perkembangan pola pikir para politisi negeri ini dalam perjuangan kemerdekaan. Meski secara resmi dibubarkan pada tahun 1935, namun BO dianggap masih tetap eksis hingga masa mendekati proklamasi kemerdekaan. Karena itu, para penulis sejarah jaman Orde Baru menganggap kalau hari kelahiran BO memang pantas dijadikan sebagai hari Kebangkitan Nasional.
Berbekal kontroversi tersebut, beberapa ahli sejarah kemudian sepakat bahwa seyogyanya dalam setiap peringatan hari Kebangkitan Nasional, kiprah SI yang lahir tahun 1905 juga seharusnya ikut disebut. Bagaimanapun, SI adalah sebuah organisasi yang lebih nasionalis dari BO meskipun menggunakan nama agama.
Itulah sejarah, sesuatu yang bisa ditelikung dan dibengkokkan sesuai kebutuhan penguasa. Namun meski penuh kontroversi, saat ini yang terpenting adalah bagaimana kita memaknai arti setiap jejak pergerakan nasional yang telah dijejakkan para pendahulu kita. Perpecahan adalah bencana yang harus kita hindarkan, kita jauhkan dari negeri kita yang saat ini mungkin sedang sekarat. Sudah saatnya kita berdiri dan merasa satu dibawah kibaran merah putih.
Indonesia Bisa..!!
[sumber : Seabad Kontroversi Sejarah-Asvi Warman Adam]
sayangnya…peringatan 100 tahun kebangkitan dirayain dengan gede2an yang membuang2 uang menurutku…
sementara diluar sana masih banyak org yang butuh uang buat makan…
sementara di luar sana org2 lagi berdemo kenaikan bbm
bukan sejarah namanya kalau tidak kontroversial, karena semua mahfum bahwa sejarah adalah kronik para pemenang…nah, yang kita baca hari ini adalah sejarah tentang semua hal yang menjadi pegangan para penguasa zaman baheula…bukan kronik para pecundang, yang mungkin pernah dibuat tapi terbenam jauh ke dasar samudera kekalahan..
mana sejarah yang benar? tidak ada, karena sejarah pada dasarnya adalah interpretasi. bahkan para tokohnya pun bisa jadi merupakan hasil interpretasi imajiner. semua subyektif, kecuali dua hal; waktu dan latar.
bagus juga dibaca edisi khusus nya Tempo…memuat 100 literatur klasik ttg sejarah perjalanan Indonesia.
mari kita tersadar dan memperbaiki indonesia ini… dari http://www.kebangkitan.com