Delapan Hari, 2000 Kilometer (1)
Pekan ketiga Juli, dan kembali saya mengukur jalan mengunjungi dua kabupaten utama di Papua. Perjalanan delapan hari dengan total jarak sekitar 2000 kilometer.
Minggu 21 Juli, saya dan tiga orang teman serombongan sudah siap di bandara Sentani. Jadwal kami, pagi pukul 9:20 kami akan berangkat ke Wamena. Ibukota Jayawijaya di pegunungan tengah bagian timur Papua. Wamena hanya jadi kota transit karena setelahnya kami akan menuju Tiom, ibukota Kabupaten Lanny Jaya yang berjarak sekitar 90an km dari Wamena ke arah barat. Wamena dan Tiom adalah dua kota yang jadi tujuan kami di awal perjalanan panjang ini.
Tugas mengharuskan kami menempuh perjalanan jauh, meninggalkan kenyamanan di kota tempat kami tinggal. Ada yang berangkat dari Jakarta, ada yang berangkat dari Makassar dan ada juga yang berangkat dari Jayapura. Tiom hanyalah tujuan awal, karena setelahnya kami akan menyeberang ke bagian barat Papua, menyambangi Paniai dengan Enarotali sebagai ibukotanya.
Kedua kota ini terletak di pegunungan, bukan di pesisir seperti kota Agats yang juga biasa saya sambangi. Kalau Agats bisa dijangkau dengan berlayar, tidak dengan kedua kota yang akan saya datangi ini.
Trigana Air yang membawa kami ke Wamena berangkat sesuai jadwal. Mendarat di kota paling ramai di pegunungan tengah bagian timur Papua itu sekitar 45 menit kemudian. Wamena di hari Minggu adalah kota yang sepi. Ada peraturan daerah yang melarang para pengusaha beraktivitas sebelum jam ibadah selesai. Dahulu, bahkan pintu keluar kota ke arah kabupaten lain di pegunungan pun dibatasi. Tidak boleh ada mobil yang keluar dari kota Wamena sebelum siang saat ibadah selesai. Sekarang sudah jauh lebih longgar, meski kami tetap kesulitan mencari makan di Minggu siang itu.
Kami harus menunggu sampai pukul dua belas terlewati sebelum menepi di sebuah warung Coto Makassar di dekat kantor Polres Jayawijaya. Kami harus mengisi perut karena dalam perjalanan dua jam menuju Tiom tidak ada warung makan.
Sekitar pukul dua siang, mobil Mitsubishi Pajero yang kami sewa akhirnya bergerak meninggalkan Wamena. Melewati jalan menanjak yang dikelilingi padang ilalang dan bukit-bukit hijau yang megah. Sesekali juga bertemu aliran sungai yang deras, termasuk sungai Baliem. Pun dengan hamparan tebing yang mengaga lebar, penuh dengan hijau dari pohon dan rerumputan.
Perjalanan Wamena-Tiom adalah salah satu perjalanan favorit saya. Dua setengah jam perjalanan akan dipenuhi dengan sajian alam Papua yang megah dan agung. Bukit-bukit berdiri tegak, besar dan kokoh. Di kepalanya, awan menggantung serupa mahkota atau kadang seperti kalung putih yang melilit leher. Di bawahnya lembah dan tebing bertemu padang ilalang luas atau sungai yang mengular. Udara sejuk menyapa, masuk lewat jendela mobil yang tidak pernah ditutup. Rasanya sayang melewatkan kesejukan udara pegunungan seperti itu dan menggantinya dengan dingin dari mesin pendingin ruangan. Sama sekali tidak sebanding.
Baca juga: Nyaris Tak Percaya, Akhirnya ke Lanny Jaya
Sepanjang jalan memang tidak selamanya mulus. Selepas perbatasan Jayawijaya dan Lanny Jaya, kita akan sering bertemu jalan yang tidak rata. Lebih banyak berupa kumpulan batu dan tanah daripada hamparan aspal. Beberapa jembatan kecil pun sesekali mengganggu perjalanan. Masih ada jembatan yang masih dikerjakan dan belum jadi.
Jalur Wamena-Tiom juga harus melewati salah satu daerah yang masih dianggap sebagai “daerah merah”, tempat bercokolnya kelompok “tiga huruf” atau pasukan OPM. Meski begitu, kami selalu aman ketika melewati daerah itu. Tidak pernah ada gangguan.
Sesekali juga kami bertemu mama-mama yang baru pulang dari kebun. Berjalan terseok-seok dengan noken di kepalanya yang berisi entah hasil kebun, entah rumput buat makanan ternak. Beberapa pria juga berdiri di tepi jalan, melemparkan tatapan ke arah mobil kami. Sesekali kami juga berpapasan dengan pria yang berjalan menunduk dengan parang terhunus di tangannya. Bukan, mereka bukan hendak berbuat jahat. Mereka hanyalah pria yang baru pulang dari kebun. Hanya saja, orang Papua sepertinya tidak punya kebiasaan menyarungkan parangnya. Mereka membiarkan parang itu telanjang begitu saja di tangannya. Kebiasaan yang kadang membuat pendatang yang baru pertama kali datang akan langsung merasakan jantung berdegup kencang.
Sesekali juga kami melewati beberapa honai yang berdiri di atas tanah lapang. Sebuah pemandangan yang aduhai indahnya. Honai, tanah lapang dengan rumput hijau segar, dan bukit megah di kejauhan.
Tiom Yang Dingin.
Kami tiba di Tiom ketika sore sudah menjelang. Matahari redup ditutupi awan mendung. Udara dingin segera menyambut kami ketika tiba di guest house milik Pemda Lanny Jaya. Obrolan hangat dengan ibu Diana – protokoler Sekda Lanny Jaya – membantu kami merasa lebih nyaman di kota yang sepi dan dingin itu. Hingga malam turun, kami masih asyik mengobrol. Malam itu listrik PLN tidak menyambangi guest house tempat kami menginap. Hanya ada lampu dari panel surya yang membantu kami melewati malam tanpa gulita.
Malam itu Tiom masih seperti Tiom yang saya kenal. Dingin dan memaksa kami merapatkan jaket. Menyentuh air di Tiom adalah sebuah perbuatan yang butuh keberanian. Rasanya seperti menyentuhkan tangan ke balok es. Dingin dan bikin ngilu. Ujung jari seperti ditusuk jarum saking dinginnya. Mungkin bagi mereka itu hal biasa, tapi tidak bagi kami orang kota di pesisir ini.
Kami melewati malam dengan selimut yang menutupi tubuh. Saya bahkan menambahkan selembar kaus kaki untuk menutupi kaki, dan sebuah kupluk untuk menutupi kepala. Dua bantuan yang bisa membuat saya terlelap hingga pagi datang.
Pagi hari Tiom dipeluk kabut tebal. Jarak pandang saya rasa tidak bisa lebih dari 100 meter. Setiap kali mengembuskan napas dari mulut, asap kecil akan ikut terlempar. Seperti orang merokok. Sisa-sisa hujan semalam masih bisa terlihat di atas tanah, rumput dan dedaunan. Sejauh mata memandang hanya ada kabut kelabu, menutup pandangan dan memberi rasa dingin yang berlebih.
Baca juga: 5 Hal Tentang Lanny Jaya
Ketika matahari semakin tinggi, kabut pun menghilang. Mereka seperti dua insan yang saling memusuhi. Ketika satu datang, yang satu pergi. Tapi rasa dingin masih tertinggal. Setidaknya buat kami orang kota pesisir ini. Angin masih berembus pelan, menembus kain yang menutup tubuh sehingga memaksa kami tetap mengenakan jaket.
Jaket baru benar-benar kami lepas ketika matahari sudah berada tepat di atas kepala. Memberi kehangatan, tapi tidak sampai menjadi rasa panas.
Di sore hari, rasa hangat itu pelan-pelan pergi. Ketika matahari beranjak pulang, rasa dingin datang mendekat. Saya masih sempat menikmati sore yang syahdu di halaman samping guest house. Menatap bukit di sebelah utara, rumah-rumah kayu yang tersiram matahari sore, dan bentangan hijau dari rumput dan pepohonan. Dua ekor anjing tidur melingkar di atas rumput. Mungkin kedinginan, atau memang hanya malas.
Dua malam di Tiom, kami bergaul dengan dingin. Mengakrabi jaket dan selimut sebagai teman pengusir dingin. Membiasakan diri menyentuh air yang seperti air es.
Dua pagi di Tiom, saya memaksakan diri membasuh seluruh tubuh dengan air sedingin es itu. Mandi pagi tanpa air hangat meski ibu Diana menawari kami. Saya menantang diri sendiri, mencoba melihat seberapa jauh saya bisa bertahan dengan dinginnya air di Tiom.
Dan saya berhasil.
Mandi pagi tanpa air hangat, meski berat tapi rasanya sepadan. Sepadan dengan rasa segar dan cenderung hangat yang saya rasakan setelahnya. Seperti pelajaran bahwa sesuatu yang dilalui dengan berat, kadang akan berakhir pada sesuatu yang menyenangkan. Meski tidak selalu seperti itu.
Selasa siang ketika matahari sedang cerah, kami meninggalkan Tiom. Wamena tujuan kami, kembali ke kota yang akan menerima kami satu malam sebelum terbang kembali ke Jayapura. Melanjutkan perjalanan ke barat, ke Nabire lalu naik ke Paniai. Di tengah jalan kami bertemu gerimis, lalu didekap udara dingin. Sampai tiba di Wamena, sampai kami melewatkan malam.
Perjalanan masih panjang. [dG]
Membaca tulisan Tiom, berlanjut dengan melihat secara utuh youtube yang daeng sebarkan di facebook membuat orang berdecak kagum potensi di sini. Bagaimana geliat mereka untuk terus maju dan berkembang.
Semoga di daerah lain sana, apa yang dilakukan oleh Tiom diikuti kabupaten-kabupaten yang lainnya.
Amiiin
walaupun sebenarnya berat hihihi
Wuih Daeng sedang ikut rally Dakkar kah? Perjalanan panjang punya keseruan sendiri, melewati banyak tempat.
“Sekitar pukul dua siang, mobil Mitsubishi Fortuner yang kami sewa akhirnya bergerak meninggalkan Wamena.” Saya sedikit gagal paham di Mitsibishi Fortuner, soalnya Fortuner yang saya tahu, Toyota hehehe…
Ditungu seri berikutnya Daeng.
eh iya salah hahaha
Mitsubishi Pajero maksudnya
Membaca ini:
Menyentuh air di Tiom adalah sebuah perbuatan yang butuh keberanian. Rasanya seperti menyentuhkan tangan ke balok es. Dingin dan bikin ngilu. Ujung jari seperti ditusuk jarum saking dinginnya. Mungkin bagi mereka itu hal biasa, tapi tidak bagi kami orang kota di pesisir ini.
Ddeh, saya ikut merasa ngilu, Daeng hahaha. Saya ndak tahan dingin. Untungnya ada tulisan ini, jadi cukup membaca saja tentang Tiom 🙂
hihihi memang nah kak
kalau mau mandi itu perjuangan betul rasanya
Perjalanan jauhnya sepadan dengan keindahan alam yang terbentang ya Daeng ?. Salah satu pesona ujung Timur Indonesia ini kemegahan alamnya itu yang belum terlalu tersentuh teknologi, semoga bisa ke sana juga…
aminnn #AyoKePapua
Deksripsi yang detail, bikin ka serasa di sana juga merasakan dinginnya udara dan kabut di Tiom. Apalagi pas bagian menggigil tersentuh air, Saya langsung ingat rumahnya Kakakku di Kindang. Tapi pastinya masih jauh lebih dingin di Tiom ini.
Btw, menelusuri perjalanan panjang seperti ini, kadang bikin rindu kehangatan dan ramainya Makassar nda?
Hahaha pasti mi iya ada kerinduan
untungnya karena kalau ke kabupaten ya cuma sebentar, nda sampai berhari-hari
bagaimana keadaan papua sekrang daeng..