Terkesima Pada Hiroshima
Hiroshima sudah lama ingin saya datangi, dan beruntung saya akhirnya bisa mengunjungi kota yang namanya tidak bisa kita lepaskan dari sejarah perang dunia kedua ini. Kota yang membuat saya terkesima.
“Oh my God! What have we done?”
Itu ucapan yang terlontar dari mulut Paul Tibbets, pilot pesawat pembom Boeing B-29 yang lebih terkenal dengan nama Enola Gay. Paul baru saja melontarkan bom atom pertama yang dipakai dalam perang. Bom atom itu diberi kode “little boy”, dijatuhkan di kota Hiroshima, 6 Agustus 1945 tepat jam 8:15 pagi waktu setempat. Sesaat setelah bom itu menghantam tanah, ledakan besar terjadi, gelombang panas menyebar, dan debu serupa jamur mengambang di angkasa. Paul sendiri mungkin tidak pernah membayangkan efek bom yang dijatuhkannya akan sebesar itu.
Bom Atom dan Hiroshima
Kita tidak bisa melepaskan nama Hiroshima dari perjalanan sejarah. Bom atom yang dijatuhkan di Hiroshima mengubah atau minimal mempercepat perjalanan sejarah. Jepang tunduk pada sekutu dan dengan demikian perang dunia kedua bisa dikatakan selesai setelah sebelumnya Jerman sudah duluan tunduk.
Bom atom di Hiroshima membunuh setidaknya 150.000 orang pada saat bom dijatuhkan, dan ratusan ribu lainnya akibat radiasi berbulan-bulan setelah bom dijatuhkan. Ini jadi salah satu tragedi perang dengan korban jiwa terbesar dalam sejarah. Kengerian akibat bom atom di Hiroshima itu memang jadi alasan sampai sekarang bom atom tidak boleh digunakan lagi dalam perang.
Hiroshima seperti tumbal untuk memperlihatkan bagaimana merusaknya bom atom itu bagi manusia. Tumbal yang mengorbankan ratusan ribu nyawa orang-orang yang tidak berdosa, yang tidak tahu apa yang terjadi.
Hiroshima yang Tenang
Cerita tentang bom atom itu selalu membuat saya berminat datang ke Hiroshima. Sebagai orang yang – dulu – senang membaca sejarah perang dunia kedua, Hiroshima selalu membuat saya penasaran. Jadi ketika ada kesempatan ke Jepang saya meminta agar Hiroshima jadi salah satu tujuan. Dan dikabulkan.
Dari Tokyo kami menumpang kereta cepat, shinkansen menuju Hiroshima. Sekadar info, tahun ini Shinkansen atau kereta cepat Jepang memasuki usia 50 tahun. Pertama diluncurkan di tahun 1964 untuk jurusan Tokyo-Osaka dan jadi kereta cepat pertama di dunia. Bayangkan, hanya dalam waktu 19 tahun setelah luluh lantak di perang dunia kedua Jepang sudah sudah bisa menciptakan kereta cepat dan jadi yang pertama di dunia. Memang luar biasa orang-orang negeri matahari terbit ini.
Kembali ke perjalanan kami.
Dari Tokyo kami berangkat dari stasiun Tokyo yang sibuk. Kami membeli tiket sekali jalan yang harganya sekitar Rp.1.800.000,- per orang untuk jarak tempuh sekitar 800an km dalam 4 jam. Kereta cepat ini terbagi dua bagian, ada bagian yang kursinya bebas alias tidak ada nomor kursi, ada juga yang kursinya sudah bernomor. Kami mengambil kursi bernomor.
Sebelum naik kami juga sudah membeli dua paket bento yang dijual di stasiun. Katanya ini adalah bagian dari budaya orang Jepang ketika naik kereta jarak jauh. Mereka akan membiasakan diri memakan bento di atas kereta, selain karena memang lapar hehehe.
Perjalanan empat jam melewati 15 stasiun, termasuk Osaka. Kami tiba di stasiun Hiroshima sekitar pukul 4 sore. Stasiun Hiroshima tidak sepadat stasiun Tokyo, orang-orangnya pun rasanya bergerak tidak secepat orang-orang Tokyo yang selalu tergesa-gesa. Saya langsung bisa merasakan suasana berbeda di Hiroshima.
Dari stasiun kami menuju hotel dengan menumpang bus. Inilah keistimewaan kota-kota di Jepang. Semua terhubung dengan kendaraan umum, membuat orang bisa bergerak dengan mudah dari satu tempat ke tempat lain.
Dari atas bus saya sudah bisa merasakan Hiroshima yang memang berbeda dengan Tokyo. Hiroshima terasa jauh lebih tenang, tidak padat, meski tetap rapi dan bersih. Dari pandangan pertama saya sudah jatuh cinta pada Hiroshima.
Menengok Museum Bom Atom
Udara sejuk memeluk di pagi hari yang mendung. Kami meninggalkan hotel menuju area museum bom atom di taman perdamaian yang tidak jauh dari hotel. Kami melewati sungai yang lebar dan bersih, angin semilir sesekali membuat saya harus merapatkan jaket. Suasana yang sangat menyenangkan.
Museum bom atom belum terlalu ramai pagi itu. Ada beberapa rombongan anak-anak sekolah yang sepertinya sedang melakukan study tour beserta beberapa turis asing, termasuk kami berdua tentu saja. Setelah membayar tiket, kami masuk ke museum di lantai dua.
Beberapa bulan lalu saya pernah mengunjungi museum tsunami di Aceh, dan museum ini adalah salah satu museum yang buat saya cukup membuat depresi. Melihat kisah bencana alam terbesar di abad ini yang dikemas dengan cukup baik benar-benar membuat kita larut dalam kengerian dan kesedihan. Hal yang sama saya rasakan di museum bom atom Hiroshima.
Bagian dalam museum dibuat remang-remang dengan beberapa bagian. Dari bagian Hiroshima di masa lalu – bagian ini masih lumayan terang – dilanjutkan dengan bagian ketika bom atom dijatuhkan, lengkap dengan video bagaimana bom jatuh dan menyapu sebagian besar kota Hiroshima.
Setelahnya kita akan masuk ke bagian yang paling menyedihkan. Gambaran tentang bagaimana bom atom itu meluluhlantakkan kota Hiroshima dan merenggut ratusan ribu nyawa. Ada pakaian yang terkoyak, ada batu-batu yang terbakar, ada sepeda yang terbakar, pokoknya ada gambaran bagaimana besarnya efek merusak dari bom itu.
Berbeda dengan museum tsunami yang dilengkapi dengan suara, museum bom atom Hiroshima sepi. Tidak ada latar suara sama sekali, semua pengunjung juga terdiam. Hanya sesekali ada suara isak dari para pengunjung. Beberapa orang memang benar-benar seperti terbawa suasana sampai menangis.
Serius, ini benar-benar pengalaman yang cukup membuat depresi. Butuh mental yang kuat untuk masuk ke dalam meseum, apalagi buat Anda yang gampang terbawa perasaan.
Menengok Atomic Dome
Kami meninggalkan meseum dengan hati campur aduk. Ada perasaan tidak nyaman mengingat bagaimana manusia bisa sekejam itu pada sesama manusia. Di buku pesan, saya menuliskan harapan agar tidak ada lagi pesan tentang perang, termasuk perang dan kekerasan di Palestina.
Dari museum bom atom kami bergerak ke Peace Memorial Park, taman luas yang dibangun untuk merayakan perdamaian dan mengingatkan manusia akan pentingnya perdamaian.
Taman ini benar-benar nyaman. Luas dan bersih. Burung merpati terbang di mana-mana, berbaur dengan burung gagak dan ratusan pengunjung. Ada banyak monumen di sekujur taman ini, semuanya membawa pesan yang sama; pesan perdamaian.
Kami berhenti di tepian sungai tepat di seberang atomic dome, sebuah bangunan sisa pengeboman yang dibiarkan berdiri sebagai pengingat akan bom atom di Hiroshima. Bangunan itu dulunya adalah pusat promosi industri Hiroshima. Sampai sekarang bangunannya masih berdiri tegak meski sebagian besar bagiannya sudah berantakan, termasuk atapnya.
Duduk di tepi sungai dan memandangi bangunan itu dari jauh rasanya sangat berkesan. Hiroshima yang tenang benar-benar terasa menghanyutkan. Meski area taman perdamaian ramai oleh pengunjung, tapi aura ketenangan Hiroshima itu tetap terasa. Pikiran saya melayang-layang pada masa Agustus 1945 itu. Bagaimana pagi berjalan dengan biasa sebelum akhirnya berubah sama sekali. Pagi yang mungkin sibuk tapi tenang, berubah jadi ramai dan ngeri.
Terkesima
Kami hanya menghabiskan dua malam di Hiroshima, tapi rasanya sudah cukup untuk membuat saya menobatkan Hiroshima sebagai kota yang saya suka. Tenang, rapi, dan bersih, jadi alasan kuat buat saya menyukai kota ini. Saya betah duduk berlama-lama di taman menikmati suasana dan melihat orang lalu-lalang. Berpindah-pindah tempat pun rasanya nyaman karena ada bus atau trem yang waktunya selalu tepat.
Kami sempat mengunjungi Hiroshima Castle yang jadi asal muasal kota ini. Kastil yang dibangun pada pada 1589 ini jadi pusat perkembangan daerah yang sekarang kita kenal dengan nama Hiroshima.
Kami juga sempat mengunjungi Book Store, sebuah toko yang menjual barang-barang bekas seperti buku, kaset, sampai pakaian. Book Store yang kami datangi lebih besar dari Book Store yang didatangi di Akihabara di Tokyo, dan saya lumayan beruntung karena bisa membawa pulang sepotong jaket yang cukup keren dengan harga yang sangat murah. Bonus untuk Hiroshima yang membuat saya semakin menyukai kota ini.
Kalau ada umur panjang dan tentu saja ada rezeki, rasanya ingin kembali ke kota ini. Menikmati ketenangan Hiroshima yang orang-orangnya tidak mau menyeberang sebelum lampu penyeberangan berwarna hijau, padahal jalanan kosong. Ingin kembali merasakan suasana tenang di taman-taman kota yang luas dan nyaman.
Mudah-mudahan ya. [dG]