Surga Kecil di Singapura

Merlion di suatu sore

Kunjungan singkat ke Singapura meninggalkan beberapa kesan buat saya. Maklumlah namanya pertama kali ke Singapura.

Sebuah kotak berwarna kuning terpampang jelas di atas paving block. Di dalam kotak itu ada bangunan semi pemanen tanpa atap dengan dinding pembatas dari alumunium. Ada benda bulat besar yang jadi tempat sampah dan asbak. Di dalam kotak kuning itu beberapa orang, pria dan wanita bercengkerama. Sebagian berdiri sendirian, diam dengan pandangan menerawang. Asap mengepul dari mulut semua orang yang berada di dalam kotak kuning itu. Kotak kuning itu saya sebut sebagai surga. Surganya para perokok di Singapura.

Satu hal yang membuat saya cukup kuatir sebelum datang ke Singapura adalah sulitnya mencari tempat merokok. Saya sudah tahu kalau Singapura memang sangat ketat dengan larangan merokok. Tidak boleh merokok di sembarang tempat karena denda 1.000 SGD siap untuk mengganjar para pelanggar.

Setidaknya itu asumsi pertama saya tentang Singapura. Asumsi yang ternyata memang benar. Selain ketatnya aturan merokok ada beberapa hal lain tentang Singapura yang tertinggal di kepala saya.

Rapi dan bersih

Teratur, Rapi, dan Bersih

Ini juga sudah saya tahu sebelumnya. Baik lewat cerita atau lewat foto dan video. Singapura termasuk salah satu negara yang sangat teratur dan rapi. Semua sistim sudah terbentuk, kebiasaan warga pun sudah terbentuk akibat aturan yang ketat.

Tidak ada yang buang sampah sembarangan, antri dengan sangat rapi dan sabar, bahkan elevator pun selalu kosong di sebelah kanan untuk memberi jalan bagi mereka yang terburu-buru. Jalanan pun seperti itu. Tidak ada mobil yang menyerobot dan pindah jalur seenaknya, di perempatan semua mobil berhenti sejenak untuk melihat apakah jalanan lowong atau tidak. Para pengemudi seperti saling memberi jalan, tidak terburu-buru.

Trotoar lebar dan bersih. Tidak ada motor yang terparkir, tidak ada pedagang kaki lima. Benar-benar trotoar yang nyaman bagi pejalan kaki.

Suasana stasiun MRT

Transportasi Umum yang Nyaman

Selama di Singapura saya mendatangi beberapa tempat, utamanya tempat-tempat wisata yang sudah terkenal di Singapura seperti Patung Merlion, Marina Bay, Bugis Junction, Mustafa Center, atau Chinatown. Pokoknya tempat turis yang mainstream di Singapura.

Semua perjalanan itu saya lakukan dengan menggunakan transportasi umum, baik MRT ataupun bis. Dan semua lancar dan mudah. Tinggal mengintip di Google Maps untuk mencari tahu harus pakai apa, turun di mana, dan ganti ke nomor berapa. Sangat mudah. Bahkan estimasi waktu kedatangan pun nyaris tepat.

Peta alur MRT

Suasana transportasi umumnya pun nyaman. Bersih dan meski padat tidak sampai harus berdesak-desakan. Ini tentu pengaruh dari kebiasaan warga yang sudah kedisiplinannya sudah terbentuk dan jumlah warga yang tidak sepadat Indonesia.

Transportasi umum yang sudah rapi dan terhubung itu memang membuat orang memutuskan untuk memilih meninggalkan kendaraan pribadi. Buat apa repot punya kendaraan pribadi yang harus diisi bensin, bayar parkir, bayar pajak yang tidak murah, kalau semua bisa perpindahan bisa dilakukan dengan transportasi publik yang nyaman dan terhubung.

Banyak Mobil Mewah

Karena transportasi publik sudah nyaman dan terhubung, jadi warga kelas menengah ke bawah sudah tidak terpikir untuk membeli kendaraan pribadi. Akibatnya, hanya mereka yang kelas menengah ke atas yang membeli mobil. Dan karena mereka mampu maka tentu saja mobil yang dibeli bukan mobil kelas biasa. “Mumpung, sekalian yang mahal,” mungkin begitu pikiran mereka.

Mercedes Benz terlihat biasa saja

Walhasil, jalanan Singapura seperti showroom mobil mewah. Saya berasa seperti mengalami orgasme mata ketika berdiri di tepi jalan. Baru saja Porsche Boxster lewat, sudah ada Ferrarri yang melintas. Lalu tidak lama Audi TT juga melintas, kemudian disusul dengan BMW X1. Bahkan di parkiran Hotel Grand Hyatt sebuah Bentley dan Maseratti terparkir manis. Benar-benar orgasme mata buat saya.

Orang Jakarta juga banyak yang punya mobil mahal seperti itu, tapi sepertinya tidak banyak yang dijadikan mobil harian yang dipakai setiap hari. Sebagian besar hanya keluar di waktu tertentu. Pun, jumlah mobil mewah di Jakarta kalah jauh dengan jumlah mobil menengah sehingga benar-benar terlihat mencolok. Tidak seperti di Singapura ketika mobil sekelas Porsche pun seperti mobil biasa yang berjalan pelan masuk ke parkiran mall, sama seperti mobil lain.

Suasana di patung Merlion

Dingin

Tidak, saya tidak berbicara tentang cuaca di Singapura karena toh cuacanya mirip dengan Jakarta atau Indonesia. Sama-sama negara yang berada dekat di garis khatulistiwa. Dingin yang saya maksud di sini adalah karakter orangnya. Setidaknya terhadap orang yang tidak dikenal.

Kalau saya bandingkan dengan Indonesia, Singapura kalah jauh dari sisi kehangatan. Di Indonesia kita dengan mudah menemukan orang yang tersenyum atau mengangguk ramah, bahkan kepada orang yang tidak dikenal. Apalagi mereka yang memang bekerja di bidang pelayanan seperti petugas hotel dan rumah makan. Mereka biasanya akan menyambut tamu dengan sangat ramah, senyum lebar dan sedikit membungkuk.

Di Singapura tidak seperti itu. Bahkan mereka yang bekerja sebagai penjaga pintu hotel sekelas Grand Hyatt pun dingin. Hanya membuka pintu dengan wajah datar, bahkan tidak menatap wajah tamunya. Tidak ada sapaan “selamat datang” atau “selamat pagi” seperti yang lazim kita temui di hotel-hotel di Indonesia.

Sepertinya itu memang karakter kota industri. Mereka lebih butuh efisiensi daripada basa-basi yang tidak perlu. Lebih cepat lebih baik, tidak perlu membungkuk atau berbasa-basi yang justru bisa membuang-buang waktu.

Susah Merokok

Seperti yang saya tulis di awal, saya sudah menduga kalau merokok akan jadi sebuah kegiatan yang sulit dilakukan di Singapura. Dan ternyata saya benar. Tidak banyak tempat yang membolehkan orang merokok dengan santai. Sangat berbeda dengan Indonesia. Di banyak tempat, tulisan larangan merokok terpampang jelas, lengkap dengan dendanya.

Surganya para perokok

Para perokok diberi ruang khusus yang disebut designated smoking area. Biasanya ditandai dengan kotak kuning dan satu atau dua asbak di dalamnya. Kotak itulah yang menjadi surga kecil para perokok. Mereka bisa merokok dengan santai tanpa takut didenda. Kotak ini tersebar di beberapa titik, biasanya di depan gedung. Sayangnya, tidak ada atap di atas kotak ini. Jadi kalau sedang hujan, maka jangan harap perokok bisa menikmati surga kecil itu.

Kamar hotel pun begitu. Setahu saya tidak ada hotel yang menyediakan smoking room, semua lengkap dengan larangan merokok dan dendanya. Tidak seperti rata-rata hotel di Indonesia yang menyediakan dua jenis kamar, kamar perokok dan non perokok. Di Singapura, para tamu hotel yang ingin merokok berarti harus rela turun dan keluar hotel mencari designated smoking area. Repot, dan sukses membua saya sangat hemat rokok. Sebungkus rokok isi 12 batang habis dalam waktu tiga hari karena kadang saya malas harus turun jauh mencari tempat merokok.

*****

Saya hanya menikmati Singapura selama empat hari, tentu masih sangat singkat untuk tahu banyak tentang negara itu. Tapi dari kunjungan singkat itu saya harus mengakui kalau dalam beberapa aspek Singapura memang lebih baik dari Indonesia. Kerapihan, keteraturan, dan kedisiplinan warganya patut diacungi jempol. Tapi, saya membayangkan betapa membosankannya hal itu kalau harus dinikmati dalam waktu lama. Kita bisa memprediksi apa yang akan terjadi beberapa menit ke depan saking teraturnya. Apa yang terjadi hari ini bisa jadi akan terjadi juga besok. Buat orang yang suka hal teratur dan rapi seperti saya, ini memang menyenangkan.

Tapi, meski Singapura memang menyenangkan saya tetap merasa Indonesia is the best. Ketidakteraturan dan segala macam drama di republik ini justru membuat hidup terasa lebih hidup, penuh dengan kejutan-kejutan. Indonesia memang perlu berbenah, tapi tidak perlu juga menjadi serapi atau seteratur Singapura karena itu tidak sesuai dengan karakter bangsa kita yang suka membuat kejutan. Ha-ha-ha-ha. [dG]