Seni Tradisional Di Ujung Sepi

Tarian pembuka Topeng Madura
Tarian pembuka Topeng Madura

Seni pertunjukan tradisional di Indonesia sangat banyak, sayangnya perlahan-lahan seni yang diwariskan leluhur kita itu ada di ujung sepi. Sebagian malah perlahan-lahan mati dan tinggal kenangan.

Dua orang pria mulai menggerakkan tubuhnya di atas pentas. Mereka berbusana daerah dengan assesoris di tangan dan lengan. Make up tebal dan sedikit gincu menghiasi wajah mereka, tanpa kumis di atas bibir mungkin mereka akan lebih mirip wanita. Kedua lelaki itu menggerakkan tubuh dengan gemulai tapi tetap terlihat elegan dan lelaki, bukan gemulai seorang wanita.

Mereka berdua adalah tokoh utama dalam tarian pembuka pentas wayang topeng Madura. Mereka adalah anggota sanggar tari Rukun Perawas yang konon usianya sudah 300 tahun. Malam itu mereka tampil di panggung sederhana di tengah sawah, panggung dari rangkaian kayu dan bambu serta triplek dan terpal sebagai pelengkap.

Tapi topeng Madura dari sanggar Rukun Perawas ini sudah selangkah lebih maju dari kawan-kawannya sesama pekerja seni tradisional. Mereka mengerti tentang teknologi dan menyuntikkannya sebagai bagian dari pertunjukan. Tata lampu sederhana jadi bagian pertunjukan, berpadu dengan tata cahaya serupa sinar laser yang ditembakkan dari proyektor sederhana. Mereka bahkan memulai pertunjukan dengan rangkaian presentasi dari Power Point yang dibawakan dengan suara menggelegar dan penuh tekanan dari MC di belakang panggung.

Setahun sebelumnya saya hadir di kota yang berbeda tapi menyaksikan seni tradisional yang hampir sama. Kala itu di Kalasan, Yogyakarta saya ada di belakang panggung Ketoprak Tobong. Pertunjukan seni ketoprak yang kehidupan mereka seperti kaum gypsy karena berpindah-pindah dari satu kota ke kota lainnya.

Ada kesamaan antara Tari Topeng Madura dan Ketoprak Tobong. Dua-duanya hidup dari panggung sederhana yang dibangun dari kayu, bambu, tripleks dan terpal. Bedanya, Ketoprak Tobong tidak menggunakan sinar laser dari proyektor, pun tidak menggunakan tata cahaya sederhana yang dioperasikan dengan memencet-mencet saklar lampu. Perbedaan lainnya, meski Tari Topeng Madura dari Rukun Perawas digelar di tengah sawah tapi penonton berjejal di atas tikar dan terpal di tanah basah sementara Ketoprak Tobong yang juga tampil di tengah sawah malam itu hanya ditonton sedikit manusia yang duduk mencangkung di atas kursi besi berkarat.

Ironisnya, dua pertunjukan tradisional itu saya saksikan justru jauh dari kampung halaman. Tari Topeng Madura dan Ketoprak Tobong, dua-duanya adalah pertunjukan tradisional yang saya tahu akarnya sama: budaya Jawa. Ironis karena justru di kampung halaman sendiri saya belum pernah menyaksikan langsung pertunjukan tradisional dengan akar budaya Makassar. Mungkin pernah, tapi tidak di panggung besar seperti Topeng Madura dan Ketoprak Tobong.

Dalam hati saya mengakui keteguhan mereka, orang-orang yang tetap berjuang menampilkan seni tradisional yang lahir dari perjalanan ratusan tahun budaya mereka, dan diwariskan turun temurun dari para leluhur. Saya yakin di tanah kelahiran sayapun seni seperti ini masih tetap bertahan meski terus goyah oleh modernitas. Mungkin besarannya saja yang beda , tapi setidaknya saya mengenal beberapa orang yang tetap berdedikasi pada seni tradisional.

Ketika kecil hingga remaja, ragam acara seni tradisional dari televisi menjadi acara yang selalu saya hindari. Tarian atau nyanyian tradisional bahkan dari kampung sendiri rasanya sangat membosankan, ketinggalan jaman dan tidak trendy. Tentu kalah menawan dari aksi para penyanyi luar dengan gaya hip-hop yang bling-bling atau gaya rock yang lusuh tapi trendy. Belakangan pertunjukan seni tradisional itu perlahan makin menghilang dari layar televisi, tergantikan oleh seni moderen yang lebih mentereng.

Ada ribuan-atau mungkin lebih-seni tradisional yang ada di negeri kita. Membentang dari Barat di Aceh sampai Timur di Papua. Satu persatu mulai terpinggirkan, tidak ditengok lagi dan bahkan mungkin menghilang. Sebagian ada juga yang diklaim negara tetangga, mungkin karena mereka melihat kehebatan dan kemegahan dari seni tradisional itu yang disia-siakan begitu saja oleh orang Indonesia. Daripada tersia-siakan, lebih baik kita yang jaga – mungkin itu yang ada di kepala mereka.

Di banyak tempat di negeri ini seni tradisional yang sebenarnya punya banyak cerita dan punya magnet menyenangkan itu perlahan terpinggirkan. Kalah dari seni modern yang susah untuk dilawan. Padahal menyenangkan sekali menikmati seni-seni tradisional itu, meski tak harus menikmatinya hingga habis setidaknya carilah filosofi, kekayaan cerita dan budaya di baliknya. Menikmati seni tradisional niscaya akan mendatangkan rasa kekaguman luar biasa pada mereka yang tetap bertahan menjaga kelestariannya. [dG]