Para Passompe di Timur Indonesia
Kisah para perantau Sulawesi Selatan di timur Indonesia
Malam turun seperti biasa di kota Waingapu, Sumba Timur, NTT. Mobil Suzuki APV yang kami kendarai memasuki kawasan pelabuhan lama kota Waingapu. Pelabuhan itu tak seberapa luas, hanya dibatasi sebuah gerbang batu bercat putih yang tinggi. Sebuah tanah lapang menghampar tepat di sisi luar, menghadap ke laut. Hanya ada beberapa kapal nelayan besar bersandar malas diombang-ambing gelombang. Kerlap-kerlip lampu kapal menghiasi kelam malam di lautan.
Di sisi yang berseberangan dengan kapal nelayan itu beberapa bangunan semi permanen berderet menghadap ke laut. Bangunan-bangunan itu bertiang bambu, bagian depannya hanya dibatasi dinding papan setinggi sekira semeter. Atapnya seng, dinding kanan-kirinya juga dari papan dan sebagian dari vinyl bekas spanduk atau baliho. Benar-benar seperti sebuah warung makan sederhana pada umumnya.
Di bagian depan warung-warung makan itu berderet pembakaran ikan setinggi sekira semeter yang terbuat dari batang besi yang dirakit menyerupai meja. Marlin, wanita Sumba yang menjadi supir malam itu memarkir mobil tak jauh dari mulut sebuah warung. Seorang wanita paruh baya berbadan gemuk langsung menyambut kami. Marlin rupanya sudah mengenal si wanita paruh baya itu, dia menyapanya tante.
Meihat wanita tua itu insting saya langsung yakin kalau dia pasti berasal dari Sulawesi Selatan. Sebuah penutup kepala dari benang wol bertengger di kepalanya, orang SulSel menyebutnya cipo’-cipo’. Penutup kepala ini biasanya dipakai wanita yang sudah menunaikan rukun iman kelima di tanah suci.
“Dari Sulawesi ki?” Tanya saya mencoba mengakrabkan diri.
“Iyye pak, dari Sinjai ka.” Jawabnya dengan logat Bugis yang masih kental.
Nah kan? Betul dugaan saya. Cipo’-cipo’ rupanya masih tetap menjadi ciri khas orang Bugis-Makassar. Ciri yang bisa dengan segera membuat orang dapat mengenali asal penggunanya. Wanita itu tak menyebutkan namanya, saya pun lupa menanyakannya. Setelah memilih beberapa ekor ikan buat santapan kami malam itu, saya coba mengobrol dengannya.
“Lama ma di sini, ada mi kapang dua puluh tahun lebih.” Jawabnya ketika saya tanya sudah berapa lama di Waingapu. Dua puluh, bukan waktu yang singkat untuk menjejaki tanah harapan di perantauan.
Kami lalu tenggelam dalam obrolan ringan. Ibu Haji- demikian saya kemudian menyebutnya-mengaku sudah cukup lama tak menengok kampung halamannya di Sinjai. Tidak setiap tahun dia bisa pulang, sebagian karena tak sempat, sebagian lagi mungkin karena memang tak ingin. Dia menyebut beberapa nama orang Sinjai ketika saya bilang saya berkali-kali ke kabupaten asalnya. Mungkin dikiranya saya mengenal nama itu. Saya hanya menggeleng karena benar-benar tak tahu.
“Di sini banyak orang Sulawesi juga?” Tanya saya.
“Iyye banyak. Di sekitar pelabuhan sama pasar.” Jawabnya. Dia lalu menunjuk ke sebuah kapal kayu yang bersandar di pelabuhan, lalu menyambung. “Itu kapal dari Jeneponto. Biasanya orang Jeneponto datang ke sini ambil sapi atau kambing. Mereka datang bawa beras atau bahan makanan lain, terus pulang bawa sapi atau kambing. Murah sapi sama kambing di sini.”
Saya tiba-tiba ingat, bertahun-tahun lalu memang saya pernah mendengar kalau orang Jeneponto yang salah satu kabupaten di SulSel, banyak yang melaut sampai ke Nusa Tenggara. Mereka membawa beras dan bahan makanan lain untuk diperdagangkan, lalu pulang membawa sapi atau kambing. Sapi dan kambing di Nusa Tenggara memang relatif lebih murah dari sapi atau kambing di kampung mereka. Hewan berkaki empat itu diharapkan membawa keberuntungan ketika musim lebaran haji tiba.
*****
Perjalanan orang Bugis-Makassar ke tanah Nusa Tenggara memang sudah berjejak cukup panjang dalam sejarah Nusantara. Sejak dulu orang Bugis-Makassar memang terkenal sebagai bangsa pedagang yang tangguh. Mereka bisa menyeberang lautan jauh hingga ke berbagai pelosok Asia Tenggara bahkan sampai ke Australia dan Afrika untuk membuka jalur-jalur dagang.
Menurut Gene Ammarell dari Ohio University dalam sebuah jurnalnya yang berjudul: Bugis Migration and Modes of Adaptation to Local Situations, orang Bugis yang merantau awalnya cenderung tidak mudah berasimilasi dengan warga asli, bahkan kadang terkesan mengisolasi diri sendiri. Di pihak lain, sifat itu akhirnya malah membuat mereka mampu memengaruhi warga asli dari sisi budaya dan sosial.
Di Lamarela, Nusa Tenggara Timur, jejak orang Bugis sangat kental. Mereka bahkan percaya kalau nenek moyang mereka datang dari tanah Luwu. Di Lamarela ada sebuah syair bernama Lia Asa Usu yang menceritakan kisah kedatangan nenek moyang mereka dari tanah Luwu, berlayar ke arah timur ke daerah yang sekarang bernama Maluku, lalu turun ke selatan ke Nusa Tenggara, menyusuri pantai utara pulau Sumbawa, terus ke Flores sampai kemudian berdiam di Lamarela.[i]
Jejak migrasi orang Bugis-Makassar membesar di era kejayaan kerajaan-kerajaan di Sulawesi Selatan abad keenam belas. Kerajaan-kerajaan besar seperti Gowa, Wajo dan Luwu tumbuh sangat pesat dan sekaligus memperlebar pengaruh mereka ke berbagai daerah di Nusantara. Sebagian alasannya karena enokomi, tapi ada juga dengan alasan politik. Sampai tahun 1724, Flores bagian barat bahkan masih dikuasai oleh kerajaan Gowa[ii].
Selain menguasai secara politik, kerajaan Gowa juga membangun aliansi yang sangat kuat dengan beberapa kerajaan di Lombok dan Sumbawa sekaligus membuka peluang sangat besar di sektor perdagangan. Sampai sekarang pengaruh Bugis-Makassar di dua pulau besar di Nusa Tenggara Barat itu masih sangat mudah ditemukan. Beberapa kata dalam bahasa daerah mereka benar-benar mirip dengan bahasa Bugis atau Makassar.
Migrasi besar-besaran orang Bugis-Makassar berlanjut setelah kerajaan Gowa jatuh ke tangan VOC tahun 1667. Banyak yang merasa tak betah di kampung sendiri, apalagi ketika VOC dan kemudian pemerintah Belanda semakin ketat menjalankan praktik monopoli. Di masa itu migrasi besar-besaran lebih terpusat ke bagian barat Sulawesi. Dari Kalimantan, Sumatera bahkan sampai ke Malaysia.
****
Sedikit berbeda dengan migrasi orang Bugis-Makassar ke daerah Nusa Tenggara, migrasi orang Bugis-Makassar ke daerah Papua lebih banyak terjadi setelah tahun 1950an. Penyebabnya adalah masa pemberontakan DI/TII di bawah komando Kahar Muzakkar. Dalam periode yang oleh orang Bugis-Makassar disebut sebagai masa gerombolan, situasi keamanan memang tidak menentu. Jalur distribusi kebutuhan pokok banyak yang dipotong oleh orang-orang Kahar Muzakkar. Ekonomi menjadi makin sulit.
Orang Sulawesi Selatan perlahan mulai keluar dari daerah mereka, mencari penghidupan yang lebih layak di tanah seberang. Sebagian menyeberang ke Kalimantan, mengikuti jejak pendahulu mereka yang sudah sukses di tanah rantau, sebagian lagi berlayar ke Timor, Maluku dan bahkan ke Papua.
Dari catatan Jurnalisme Tanah Papua terbitan Kompas, 2007 diceritakan bahwa jejak kedatangan orang Sulawesi Selatan di tanah Papua sebenarnya sudah ada sejak tahun 1700an. Para pelaut Bugis-Makassar waktu itu sedang menjalani ekspedisi Marege menuju tanah Australia untuk mencari teripang. Dalam perjalanannya beberapa dari mereka singgah di pesisir Papua dan beberapa di antaranya menetap di sana.
Dari buku Amber dan Komin, Studi Perubahan Ekonomi di Papua (2005) yang ditulis oleh Akhmad Kadir, seorang dosen antropologi di Universitas Cendrawasih disebutkan bahwa kiprah perdagangan orang Bugis-Makassar baru menonjol sekisar tahun 1963. Kedatangan orang-orang Bugis-Makassar ini kemudian mengubah tatanan perekonomian dan pola hidup orang Papua.
Kalau sebelumnya orang Papua hidup dari berburu dan meramu maka perlahan mereka menjadi manusia urban yang bergantung pada komoditas pasar. Dari gunung mereka turun ke kota atau kampung yang lebih ramai untuk mendapatkan komoditi pasar seperti beras, tembakau, garam, gula dan pakaian.
“Satu jejer ini semua punya om saya.” Kata Rustam, seorang pria berdarah Bantaeng, Sulawesi Selatan yang saya temui di Abepura, Papua. Dia menunjuk beberapa deretan ruko di tepi jalan poros Abepura-Jayapura.
Menurut Rustam, omnya sudah lama merantau ke Jayapura, sejak tahun 1980an. Memulai usaha dari warung makan kecil sampai kemudian berhasil memperluas usahanya dan bahkan membangun beberapa ruko yang kemudian disewakan.
*****
Perantau dari Sulawesi Selatan di Papua tidak hanya berasal dari suku Bugis-Makassar tapi juga dari suku Toraja. Di Manokwari saya tercengang ketika melihat nama-nama guru di SD 04, Fanind-Manokwari. Nama-nama yang tertera di papan sebagian adalah nama-nama yang akrab di kuping saya, nama fam orang Toraja.
“Orang Toraja ya pak?” Tanya saya ketika seorang bapak dari dinas pendidikan Manokwari menuliskan namanya di buku catatan saya.
“Kenapa bapak tahu?” Dia balik bertanya dengan pelafalan huruf “E” yang kental seperti huruf “E” di kata ember. Khas orang Toraja.
“Dari namanya pak.” Jawab saya. “Saya dari Makassar.” Sambung saya kemudian.
Bapak Hendrikus Tikupadang namanya, mengaku sudah ada di Manokwari sejak puluhan tahun yang lalu, bahkan sudah beranak pinak dan punya cucu di tanah Papua Barat itu. Dari cerita beliau saya tahu kalau memang orang Toraja banyak yang bermigrasi ke Papua, sebagian besar menjadi guru atau pengajar. Awal migrasi terjadi karena penugasan dari gereja sebagai tenaga pengajar ke beberapa daerah di Papua dan Papua Barat. Kehadiran orang Toraja sebagai pengajar di Papua dan Papua Barat cukup dihargai oleh orang Papua. Mereka termasuk orang-orang yang sangat gampang diterima oleh penduduk asli, tentu karena kedekatan dari sisi agama dan profesi mereka sebagai pengajar.
Di Merauke saya mengernyitkan dahi ketika mendengar nama ikan gabus yang oleh di sana disebut sebagai gator, singkatan dari gabus Toraja. Ketika saya tanya kenapa namanya seperti itu, mereka menggeleng tak tahu. Pertanyaan itu saya lempar ke laman Facebook dan segera dijawab oleh seorang kawan yang orang Toraja dan pernah cukup lama di Merauke.
“Dulu orang Papua tidak makan ikan gabus, pendatang dari Toraja yang pertama makan. Makanya namanya jadi gabus Toraja.” Kata Barak Azis Malinggi, kawan saya itu. Entah jawabannya benar atau tidak, saya belum sempat mencari tahu.
***
Beragam alasan orang untuk merantau. Dari sisi ekonomi, politik sampai agama. Sebagai bangsa yang sudah dikenal lama sebagai pejalan jauh, orang Bugis-Makassar (dan Toraja) memang relatif mudah ditemui di berbagai daerah di Nusantara, utamanya di bagian timur. Jejak-jejak mereka mewarnai kehidupan lokal di daerah yang mereka datangi, kadang juga menimbulkan gesekan dengan warga asli tapi lebih banyak mendorong pertumbuhan ekonomi suatu daerah.
Selalu menarik untuk mendengar cerita-cerita para perantau itu, tentang perjuangan mereka menaklukkan rintangan di tanah rantau sampai kisah jatuh-bangun mereka bertahan hidup. Para passompe (sebutan untuk para perantau dalam bahasa Bugis) rata-rata memang enggan pulang sebelum berhasil. Sekali mereka melangkah meninggalkan kampung halaman, tak ada kamus mereka kembali sebelum berhasil.
Persis seperti pepatah Makassar; kualleangi tallanga na toalia. Lebih baik tenggelam daripada kembali (ke pelabuhan). [dG]
[i] Jacobus Belida Blikololong, FISIP UI, 2010
[ii] Charles E Grimes, dkk. A Guide to the People and Languange of Nusa Tenggara, Artah Wacana Press 1997