Menuju Matahari Terbit
Bagian pertama dari perjalanan ke negeri matahari terbit, Jepang.
Obrolan untuk jalan-jalan ke Jepang sudah muncul sejak beberapa tahun lalu. Mamie memang sangat menyukai Jepang, dan dia meyakinkan saya kalau saya juga akan suka sama Jepang. Dan akhirnya saya terpengaruh juga.
Bulan Maret kemarin saya menemukan diskon tiket ke Jepang yang lumayan murah. Dari Denpasar ke Tokyo hanya sekitar Rp.3 jutaan. Begitu juga dengan tiket baliknya, dari Osaka ke Denpasar harganya sama. Jalurnya; Denpasar – Singapura – Tokyo, sebaliknya: Osaka – Singapura – Denpasar. Harga segitu rasanya masih masuk budget. Soalnya harga normal dari Jakarta ke Tokyo antara Rp.7-8 juta sekali jalan. Jadi, cuss! Mari kita rencanakan ke Jepang.
Urus Visa
Enaknya Jepang karena kita pemegang paspor garuda yang sudah e-paspor tidak perlu mengurus visa yang ribet. Kita hanya mengisi aplikasi visa di website kedutaan besar Jepang dan kalau semua lancar, visa untuk masuk selama 15 hari akan terkirim ke email beberapa hari kemudian. Visa ini berlaku sampai 3 tahun, jadi selama 3 tahun kita bisa bolak-balik Jepang selama maksimal 15 hari tanpa harus mengurus visa baru. Oh iya, pengurusan visa ini juga bisa dilakukan mulai H-90 hari dari keberangkatan.
Makanya saya juga jadi semangat ke Jepang karena visa yang sangat mudah ini. Bukan apa-apa, mengurus visa jadi salah satu hal yang memberatkan setiap kali akan berangkat ke luar negeri. Kadang ribet dan mahal. Nasib punya paspor garuda.
Berangkat
Akhirnya, tujuh bulan setelah membeli tiket kami berangkat juga. Lumayan lama juga menunggu ya, kadang sudah ada momen ketika rasanya sudah tidak sabar untuk berangkat.
Sebagai informasi, semua itinerary perjalanan ke Jepang diatur oleh Mamie. Maklumlah, dia sudah bolak-balik Jepang dan sudah pernah tinggal lama juga di sana. Saya hanya mengikut saja.
Perjalanan dimulai dari Makassar ke Denpasar di Kamis, 25 Oktober dini hari. Kami menunggu beberapa jam di Ngurah Rai sebelum menumpang Scoot ke Singapura. Ini pertama kalinya kami menumpang maskapai low budget dari Singapura ini. Tidak banyak ekspektasi soal maskapai ini, maklumlah tiketnya murah jadi jangan berharap banyak ya.
Tapi ternyata meski murah, Scoot cukup menyenangkan. Memang tidak ada entertainment di atas pesawat mereka, tapi kursinya cukup nyaman dan lega untuk kaki saya yang lumayan panjang. Perjalanan tiga jam dari Denpasar ke Singapura terasa nyaman, begitu juga dari Singapura ke Tokyo. Tidak ada masalah.
Kami meninggalkan Ngurah Rai sekitar pukul 14:25 WITA dan tiba di Changi, Singapura sekitar 3 jam kemudian. Tidak ada pemeriksaan imigrasi atau bea cukai karena kami hanya transit. Kami turun di Terminal 1 yang rasanya berbeda sekali dengan terminal yang dulu saya tempati ketika pertama kali ke Singapura. Saya lupa, dulu terminal berapa tempat saya datang dan berangkat, yang jelas Terminal 1 terasa lebih besar dari terminal yang dulu saya sambangi.
Transit di Changi
Kami harus menunggu sekitar 5 jam di Changi. Tidak masalah karena bandaranya lumayan nyaman. Saya sudah pernah menunggu lebih lama di bandara yang tidak sebesar Changi, jadi menunggu 5 jam di Changi yang nyaman dan besar ini rasanya bukan apa-apa.
Sekitar pukul 23 waktu Singapura, kami mulai masuk ke ruang tunggu. Sebentar lagi Scoot akan mengantar para penumpangnya ke Narita, tempat kami mendarat di Tokyo nanti. Semua berjalan lancar hingga akhirnya kami duduk di dalam Scoot. Seperti perjalanan ke Bogota yang bahkan memakan waktu terbang 10 jam, Antimo juga jadi penolong saya. Sebiji Antimo membantu saya tidur lumayan nyenyak sepanjang perjalanan. Saya terbangun kurang dari 1 jam sebelum mendarat. Di luar matahari sudah mulai terang. Kami sudah masuk ke wilayah Jepang yang waktunya menggunakan GMT +9 atau sama dengan wilayah Indonesia timur.
Sekali lagi, meski tidak ada entertainment di atas pesawat tapi secara umum perjalanan dengan Scoot dari Changi ke Tokyo lumayan nyaman. Apalagi bila dibandingkan dengan harganya yang sangat murah dibandingkan maskapai sekelas JAL, ANA, atau Garuda.
Selamat Datang di Jepang!
Sekitar pukul 7 pagi waktu Jepang, kami akhirnya mendarat di bandara Narita, Tokyo. Tokyo punya dua bandara yang jadi gerbang masuk, satu Narita dan satu lagi Haneda. Narita terletak cukup jauh dari pusat kota, perjalanan dengan kereta saja sekitar 1,5 jam.
Kami tiba di awal musim gugur, udara sejuk menjurus dingin memeluk Tokyo. Suhu di luar sekitar 19-20 ?, cukup dingin untuk kita orang Indonesia. Suhu ini mengingatkan saya akan Bogota yang suhunya juga sama. Bedanya, Tokyo tidak di ketinggian jadi oksigen tidak setipis Bogota yang membuat kita kadang sulit bernapas.
Kami melewati antrean imigrasi dengan lancar, hanya sedikit lama karena antrean orang asing cukup panjang. Sepintas tidak sebanding dengan jumlah konter imigrasi yang terisi petugas. Beberapa konter lain kosong melompong. Untungnya pemeriksaan berjalan lancar. Kami bahkan sudah menyiapkan semua dokumen yang kadang ditanyakan petugas imigrasi seperti visa, tiket balik, dan bookingan hotel, tapi tidak ada satupun yang diminta oleh petugas. Petugas yang adalah anak muda yang masih nampak malas-malasan di pagi hari itu hanya memeriksa paspor, memindainya di mesin, meminta saya berfoto dan memindai sidik jari, lalu selesai. Tidak ada pertanyaan mendalam. Tidak seperti yang saya bayangkan.
Selesai urusan imigrasi dan bea cukai, kami keluar terminal kedatangan. Hal pertama yang saya lakukan adalah merokok karena kebetulan ada tempat merokok yang terpampang jelas di dekat pintu keluar. Di dalam tempat merokok itu saya sempat berkenalan dengan seorang pria Malaysia yang tadi sempat antre bersama kami di depan imigrasi. Dia dan keluarganya bermaksud berlibur ke Tokyo dan Osaka. Kebetulan kami juga menumpang pesawat yang sama dari Singapura.
“Kenapa berangkat dari Singapura? Ada penerbangan dari Kuala Lumpur, kan?” Tanya saya.
“Ada bang, tapi lebih murah dari Singapura,” jawabnya.
Kami berpisah beberapa saat kemudian, dan tanpa disengaja kami bertemu lagi di stasiun Ryugoku beberapa hari kemudian.
Saya juga sempat membeli segelas kopi di sebuah supermarket atau yang di Jepang disebut konbini. Setelahnya saya juga sempat menarik uang di ATM milik Seven Eleven yang ternyata menyediakan menu berbahasa Indonesia. Sebagai informasi, setelah tahu kalau biaya menarik uang di ATM berlogo Visa yang sama dengan milik Bank Mandiri, saya merasa tidak butuh lagi menukar uang di penukaran uang. Rate-nya bersaing dan biaya untuk sekali penarikan hanya Rp.25.000,- jadi saya pikir lebih baik menarik tunai di ATM daripada menukar di penukaran uang.
Menuju Pusat Kota
Setelah urusan internal selesai – buang air dan basuh muka – kami menuju stasiun kereta yang ada di bangunan yang sama dengan bandara Narita. Kami akan menuju pusat kota Tokyo menggunakan kereta, dan biar tidak repot kami membeli kartu Suica, semacam kartu yang khusus dipakai untuk menumpang kereta selama di Jepang.
Dari stasiun Narita kami naik kereta dalam kota dengan bantuan dari Google Maps. Pejalan saat ini tentu sangat terbantu sama teknologi. Cukup dengan menggunakan Google Maps, memasukkan tujuan, dan akan muncul alternatif menuju tempat itu menggunakan beberapa pilihan. Di kota yang transportasinya bagus seperti Tokyo, semua terpampang jelas. Dari pilihan, waktu, sampai tarif. Sangat mudah.
Satu-satunya yang sulit adalah mencari informasi peron, jalur, atau pintu keluar yang kita tuju di stasiun. Meski ada tulisan dalam bahasa Inggris, tapi tetap saja kami sempat kebingungan. Beberapa kali kami harus bertanya ke petugas. Sebenarnya bukan kami, tapi Mamie yang bertanya. Dengan bahasa Jepang sederhana dia lebih mudah berkomunikasi dengan petugas Jepang yang sangat ringan tangan.
Singkat cerita, setelah berganti kereta di sebuah stasiun kecil kami tiba di stasiun kecil lainnya. Sempat bingung mencari pintu keluar stasiun, sebelum akhirnya kami bisa menemukan hotel yang sudah kami pesan. Sebenarnya bukan hotel, tapi apartemen kecil yang disewakan. Di dalamnya ada dapur kecil dan mesin cuci. Sebenarnya cukup nyaman untuk tinggal berhari-hari, asal tahan tinggal di ruangan yang bisa dibilang sempit. Sempit ini jadi salah satu kesan saya akan bangunan di Jepang. Mungkin karena keterbatasan tanah, jadi tempat tinggal di Jepang memang rata-rata kecil dan sempit.
Dan akhirnya saya bisa menginjakkan kaki di Jepang! [dG]